Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo Selasa (14/1) menegaskan Pemprov DKI Jakarta akan terus berupaya menertibkan rumah-rumah yang berada di bantaran sungai.
JAKARTA —
Banjir yang terjadi di berbagai wilayah di Jakarta pada Senin (13 Januari) membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja keras agar banjir tidak meluas dan tidak berlangsung lama.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menegaskan, selain berupaya mengalirkan air ke laut, Pemprov DKI Jakarta juga akan terus berupaya menertibkan rumah-rumah yang berada di bantaran sungai.
Sementara menurut warga, Boy Wahyu dan Sabrani, mereka siap dipindahkan asalkan mendapat tempat tinggal sebagai pengganti yang disediakan pemerintah.
Meski banjir di beberapa wilayah di Jakarta mulai surut, masyarakat terkena dampak banjir yang berada di pengungsian belum seluruhnya dapat kembali kerumah masing-masing.
Selain kondisi belum aman sepenuhnya karena air berasal dari Pintu Air Katulampa, Bogor, Jawa Barat masih berpotensi mengalir deras ke arah sungai-sungai di Jakarta, kondisi rumah juga masih kotor dan tidak baik untuk kesehatan terutama bagi anak-anak.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat sekitar 46 ribu orang mengungsi akibat banjir di wilayah Jakarta.
Kepada pers di Jakarta hari Selasa (14/1), Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan berbagai pihak diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum terus berupaya mempercepat proses proyek pembuatan tanggul pembatas antara sungai dan ruas jalan, pengerukan waduk dan pengerukan sungai.
“Kita manage agar air yang ada ini bisa masuk ke tempat-tempat yang segera kebuang ke laut, baik yang ada di pompa di Ancol, maupun yang ada pompa di Pluit, tetapi kalau air terus membesar dan nanti pompanya sudah tidak mampu ya memang itu kekuatan hujan dan alam yang memang penanganannya ini butuh waktu dan proses yang agak panjang,” papar Jokowi.
Diakui Gubernur Jokowi, pekerjaan tersulit adalah pengerukan sungai agar kedalaman sungai bertambah.
Ia menambahkan, “yang paling berat adalah alat berat itu tidak bisa masuk ke sungai, kanan kirinya dihuni oleh masyarakat, dikeruk mau dibuang kemana, kalau yang menghuni hanya seribu, dua ribu bisalah satu tahun kita pindahkan sebagai contoh di Kali Ciliwung yang menghuni kanan kiri itu 34.000 kepala keluarga, contoh ini baru satu sungai, kemudian waduk, contoh di Waduk Pluit yang menghuni sekitar waduk itu 7.000 kepala keluarga, bisa dibayangkan, artinya ini tidak hanya penyiapan masalah keruk mengeruk tetapi menyiapkan rusun (rumah susun), kalau kita mau menyiapkan rusun berarti kita harus siap lahan, artinya harus pembebasan lahan, memang masalah banjir ini kan harus bersama-sama, pemerintah pusat ikut, kemudian Pemerintah Provinsi DKI, kemudian Pemerintah Kabupaten Kota di sekitar DKI, kemudian masyarakat sendiri juga harus ikut berperan.”
Seorang warga yang tinggal dibantaran Sungai Ciliwung di kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, Boy Wahyu mengatakan bersedia dipindahkan jika ia beserta isteri dan kedua anaknya mendapat pengganti tempat tinggal layak dari pemerintah.
Menurutnya, sebagai pemulung sangat sulit untuk memiliki rumah di Jakarta sehingga terpaksa mendirikan bangunan di bantaran sungai sejak 5 tahun lalu. Namun menurutnya, hunian di bantaran sungai bukan satu-satunya penyebab terjadi banjir akibat penyempitan ruas sungai, karena penyebab paling parah ditambahkannya adalah tidak disiplinnya masyarakat membuang sampah.
“Kalau itu memang lebih baik ya nggak apa-apa, bagus, istilahnya untuk kepentingan bersama sih, ya mungkin dari pihak atas aja harus ada kesadaran juga ibaratnya kalau kami digusur atau apa ya harus ada istilahnya tempat untuk kita-kita juga, kan otomatis kan di sini istilahnya orang semacam kayak kita-kita gembel gitu pengen punya tempat tinggal ataupun tempat teduh," ujarnya.
Boy Wahyu menambahkan, "Saya rasa masalah pembangunan atau pun rumah-rumah (di bantaran sungai) nggak begitu ini sih, yang jelas dari pihak masyarakatnya sendiri yang nggak pernah mau peduli sama pembuangan sampah, dari segi kebersihan, tapi berhubung saya lihat sendiri cara buang sampah ataupun apa juga kayaknya asal-asal saja, yang jelas mah harus ada yang atur, boleh membuat bangunan atau apa yang penting kan harus ada batasnya, harus ada penertiban dari pihak setempat.”
Hal senada disampaika Sabrani, pengemudi angkutan kota. Ia bersama isteri dan tiga anak serta 4 cucu, sudah lima tahun tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Ia mengakui pada awalnya rumah yang ia huni berukuran kecil, namun ia perlebar dengan menyangganya di atas aliran sungai. Meski demikian ia dan keluarganya siap dipindahkan demi keselamatan.
“Masuk akal juga namanya wilayah pinggir kali gitu, ya itu sih tergantung pemerintah, ya kalau misalnya harus ada ganti-ganti ya ganti, pergi mah pergi orang saya mah nggak apa-apa, ya memang terbaik juga karena ini lingkungan pinggir kali, jadi seharusnya memang kalau kita pengen aman ya pindah,” ujar Sabrani.
Sebelumnya, BNPB mengatakan siap berupaya menanggulangi bencana banjir di wilayah Jakarta dengan alokasi anggaran sekitar Rp 50 milyar. Anggaran tersebut untuk pengendalian cuaca yaitu rekayasa pengalihan hujan ke arah laut yang dilakukan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT, serta untuk logistik.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menegaskan, selain berupaya mengalirkan air ke laut, Pemprov DKI Jakarta juga akan terus berupaya menertibkan rumah-rumah yang berada di bantaran sungai.
Sementara menurut warga, Boy Wahyu dan Sabrani, mereka siap dipindahkan asalkan mendapat tempat tinggal sebagai pengganti yang disediakan pemerintah.
Meski banjir di beberapa wilayah di Jakarta mulai surut, masyarakat terkena dampak banjir yang berada di pengungsian belum seluruhnya dapat kembali kerumah masing-masing.
Selain kondisi belum aman sepenuhnya karena air berasal dari Pintu Air Katulampa, Bogor, Jawa Barat masih berpotensi mengalir deras ke arah sungai-sungai di Jakarta, kondisi rumah juga masih kotor dan tidak baik untuk kesehatan terutama bagi anak-anak.
Kepada pers di Jakarta hari Selasa (14/1), Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan berbagai pihak diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum terus berupaya mempercepat proses proyek pembuatan tanggul pembatas antara sungai dan ruas jalan, pengerukan waduk dan pengerukan sungai.
“Kita manage agar air yang ada ini bisa masuk ke tempat-tempat yang segera kebuang ke laut, baik yang ada di pompa di Ancol, maupun yang ada pompa di Pluit, tetapi kalau air terus membesar dan nanti pompanya sudah tidak mampu ya memang itu kekuatan hujan dan alam yang memang penanganannya ini butuh waktu dan proses yang agak panjang,” papar Jokowi.
Diakui Gubernur Jokowi, pekerjaan tersulit adalah pengerukan sungai agar kedalaman sungai bertambah.
Ia menambahkan, “yang paling berat adalah alat berat itu tidak bisa masuk ke sungai, kanan kirinya dihuni oleh masyarakat, dikeruk mau dibuang kemana, kalau yang menghuni hanya seribu, dua ribu bisalah satu tahun kita pindahkan sebagai contoh di Kali Ciliwung yang menghuni kanan kiri itu 34.000 kepala keluarga, contoh ini baru satu sungai, kemudian waduk, contoh di Waduk Pluit yang menghuni sekitar waduk itu 7.000 kepala keluarga, bisa dibayangkan, artinya ini tidak hanya penyiapan masalah keruk mengeruk tetapi menyiapkan rusun (rumah susun), kalau kita mau menyiapkan rusun berarti kita harus siap lahan, artinya harus pembebasan lahan, memang masalah banjir ini kan harus bersama-sama, pemerintah pusat ikut, kemudian Pemerintah Provinsi DKI, kemudian Pemerintah Kabupaten Kota di sekitar DKI, kemudian masyarakat sendiri juga harus ikut berperan.”
Seorang warga yang tinggal dibantaran Sungai Ciliwung di kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, Boy Wahyu mengatakan bersedia dipindahkan jika ia beserta isteri dan kedua anaknya mendapat pengganti tempat tinggal layak dari pemerintah.
Menurutnya, sebagai pemulung sangat sulit untuk memiliki rumah di Jakarta sehingga terpaksa mendirikan bangunan di bantaran sungai sejak 5 tahun lalu. Namun menurutnya, hunian di bantaran sungai bukan satu-satunya penyebab terjadi banjir akibat penyempitan ruas sungai, karena penyebab paling parah ditambahkannya adalah tidak disiplinnya masyarakat membuang sampah.
“Kalau itu memang lebih baik ya nggak apa-apa, bagus, istilahnya untuk kepentingan bersama sih, ya mungkin dari pihak atas aja harus ada kesadaran juga ibaratnya kalau kami digusur atau apa ya harus ada istilahnya tempat untuk kita-kita juga, kan otomatis kan di sini istilahnya orang semacam kayak kita-kita gembel gitu pengen punya tempat tinggal ataupun tempat teduh," ujarnya.
Boy Wahyu menambahkan, "Saya rasa masalah pembangunan atau pun rumah-rumah (di bantaran sungai) nggak begitu ini sih, yang jelas dari pihak masyarakatnya sendiri yang nggak pernah mau peduli sama pembuangan sampah, dari segi kebersihan, tapi berhubung saya lihat sendiri cara buang sampah ataupun apa juga kayaknya asal-asal saja, yang jelas mah harus ada yang atur, boleh membuat bangunan atau apa yang penting kan harus ada batasnya, harus ada penertiban dari pihak setempat.”
Hal senada disampaika Sabrani, pengemudi angkutan kota. Ia bersama isteri dan tiga anak serta 4 cucu, sudah lima tahun tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Ia mengakui pada awalnya rumah yang ia huni berukuran kecil, namun ia perlebar dengan menyangganya di atas aliran sungai. Meski demikian ia dan keluarganya siap dipindahkan demi keselamatan.
“Masuk akal juga namanya wilayah pinggir kali gitu, ya itu sih tergantung pemerintah, ya kalau misalnya harus ada ganti-ganti ya ganti, pergi mah pergi orang saya mah nggak apa-apa, ya memang terbaik juga karena ini lingkungan pinggir kali, jadi seharusnya memang kalau kita pengen aman ya pindah,” ujar Sabrani.
Sebelumnya, BNPB mengatakan siap berupaya menanggulangi bencana banjir di wilayah Jakarta dengan alokasi anggaran sekitar Rp 50 milyar. Anggaran tersebut untuk pengendalian cuaca yaitu rekayasa pengalihan hujan ke arah laut yang dilakukan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT, serta untuk logistik.