Doctors Without Borders Ingatkan Potensi “Bencana Kesehatan” Wabah Kolera di Kongo

Sejumlah anggota pasukan bersenjata Kongo terlihat berada di wilayah pemeriksaan di utara Goma, Kongo, pada 25 November 2022. Mereka bersiaga mengamankan wilayah tersebut dari kelompok pemberontak M23. (Foto: AP/Jerome Delay)

Para petugas bantuan di bagian timur Republik Demokratik Kongo, pada Kamis (8/12), memperingatkan potensi terjadinya “bencana kesehatan” karena lonjakan kasus kolera yang mengkhawatirkan yang melanda kamp-kamp sementara bagi pengungsi.

Organisasi Doctors Without Borders, yang dikenal dengan akronim bahasa Prancis MSF, mengatakan antara tanggal 26 November hingga 7 Desember ini saja terdapat 256 pasien yang dirawat di pusat perawatan kolera di Munigi, di timur kota Goma. Sepertiga di antara mereka adalah balita.

BACA JUGA: Tentara Kongo: Kelompok Pemberontak Membantai 50 Warga Sipil

“Hanya dalam sepuluh hari, jumlah orang yang diduga menderita kolera meningkat secara mengkhawatirkan,” tambah MSF dalam sebuah pernyataan.

Dalam beberapa pekan terakhir ini, lebih dari 177.000 orang “kini terjebak dalam kondisi yang mengerikan” di bagian utara Nyirangongo setelah melarikan diri dari serangan kelompok pemberontak M23. Dan saat hujan deras turun selama musim hujan, para pengungsi ini terpaksa tinggal di tempat penampungan yang hanya terbuat dari ranting-ranting dan terpal.

“Kami tidak punya kamar mandi atau toilet,” ujar Nyira Safari, ibu seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang memiliki gejala kolera, kepada MSF. Ia membawa putrinya yang “berada dalam kondisi sangat lemah dan hampir tidak dapat berdiri,” ke pusat kesehatan yang didukung MSF untuk perawatan.

Puluhan ribu orang hidup berdesak-desakan tanpa akses sanitasi.

Kepala Penanggulangan Kolera MSF di Goma, Simplice Ngar-One mengatakan “mengingat kekurangan makanan, tempat tinggal, jamban dan kamar mandi, maka semua ini berpotensi menimbulkan bencana kesehatan.”

“Meskipun kami telah berulangkali menyampaikan hal ini, respon kemanusiaan saat ini sangat jauh dari memadai. Hal ini dapat dimengerti karena orang-orang ini hanya berjarak beberapa kilometer dari Goma, dimana terdapat banyak organisasi kemanusiaan,” tambahnya.

BACA JUGA: Warga Kongo Sambut Hati-hati Gencatan Senjata dengan Pemberontak

Kelompok M23, yang sebagian besar terdiri dari etnis Tutsi, kembali bertempur pada akhir tahun 2021 setelah bertahun-tahun tidak aktif. Kelompok tersebut telah merebut sebagian besar wilayah di utara Goma.

Kongo menuduh Rwanda memberikan dukungan pada M23. Tuduhan yang sama juga disampaikan oleh para pakar PBB dan pejabat Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir ini. Namun Rwanda menuduh Kongo berkolusi dengan FDLR, mantan kelompok pemberontak Hutu yang didirikan di Kongo setelah berlangsungnya genosida komunitas Tutsi di Rwanda pada 1994. [em/jm]