Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan berbagai perwakilan masyarakat sipil akan menggelar aksi mogok makan di depan Gedung DPR, Jakarta, pada Senin (14/8). Aksi juga akan dilakukan di depan gedung DPRD di sejumlah wilayah lainnya. Menurut Lita, aksi mogok makan dilakukan untuk mendesak DPR agar mempercepat pembahasan RUU PPRT tersebut.
"Kami mengajak rekan-rekan masyarakat sipil, mari kita mogok makan atau berpuasa sesuai dengan kekuatan masing-masing. Paling tidak kalau tidak makan rasanya seperti apa," ujar Lita Anggraini saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Lita menyampaikan penundaan terhadap pembahasan dan pengesahan RUU PRT dapat berdampak pada pembiaran terhadap segala bentuk kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT.
Ditambah lagi, RUU PPRT sudah diajukan ke DPR sejak 2004 silam atau sekitar 19 tahun lalu.
Jala PRT mencatat setidaknya terdapat 1.635 kasus kekerasan berlapis terhadap PRT selama 2017-2022. Lita menyebut, data tersebut hanya sebuah fenomena puncak gunung es karena masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Pekerja Rumah Tangga Korban Kasus Perdagangan Orang
Hingga tahun 2023, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi permasalahan utama yang mesti dituntaskan oleh pemerintah. Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri) dalam lima tahun terakhir (tahun 2015-2019), sebanyak 2.648 orang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022.
PRT juga termasuk sebagai bagian dari korban-korban TPPO. Hal ini sesuai data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus. Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang terbesar, yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).
Kertas Laporan Investigasi yang dikeluarkan oleh SBMI ”Jeratan Perdagangan Orang dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran” pada 30 Juli 2020 lalu menemukan rantai pasok, cara, proses, dan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan orang yang dialami oleh pekerja/buruh migran yang umumnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Ironisnya, di tengah begitu masifnya laporan kasus kekerasan dan TPPO di Indonesia, DPR justru menyandera pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) selama hampir dua dekade. Hal ini justru memunculkan indikasi bahwa Indonesia masih mengamini praktik perbudakan modern dengan membiarkan jutaan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum.
BACA JUGA: Perbudakan Modern di Indonesia, Jutaan Pekerja Rumah Tangga Bekerja Tanpa Perlindungan HukumSetelah melakukan beragam cara untuk mendorong keseriusan para wakil rakyat meloloskan RUU PPRT, sejumlah perwakilan masyarakat sipil yang dimotori Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) akan melakukan mogok akan atau berpuasa hingga disahkan RUU itu menjadi undang-undang.
Mogok Makan Serentak Mulai 14 Agustus
Aksi Mogok Makan tersebut akan dilakukan mulai tanggal 14 Agustus 2023 di depan Gedung DPR/MPR RI. Aksi Mogok Makan itu dipilih sebagai simbolisasi keprihatinan dan solidaritas kepada para pekerja rumah tangga yang menjadi korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sama artinya dengan pembiaran praktik penyanderaan terhadap PRT.
Seorang PRT di Yogyakarta, Jumiyem menambahkan, akan mengikuti mogok makan bersama keluarga dan jaringan masyarakat sipil di depan kantor DPRD Yogyakarta. Menurutnya, mogok makan juga akan dilakukan oleh PRT lainnya di tempat kerja atau rumah majikan.
"Kami berharap dan meminta pimpinan dan anggota DPR agar mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang," tutur Jumiyem.
Tak Berkomitmen Loloskan RUU PPRT, YLBHI Kecam DPR
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritisi DPR yang tidak memiliki komitmen dalam pembahasan RUU PPRT. Ia beralasan pengesahan sejumlah RUU lainnya hanya membutuhkan waktu yang tidak lama atau hitungan hari hingga bulan. Sebagai contoh RUU KPK, RUU Cipta Kerja, dan RUU Mahkamah Konstitusi.
"Jadi sebenarnya tidak lagi ada alasan DPR untuk menunda-nunda. Ini masalahnya DPR tidak punya komitmen," jelas Isnur di Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Isnur menambahkan belum ada payung hukum yang dapat melindungi pekerja rumah tangga. Sebab, Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada tidak mengatur tentang PRT. Sehingga PRT tidak dapat maju ke pengadilan hubungan industrial ketika mengalami sengketa ketenagakerjaan dengan majikan. Ia menyebut belasan kantor LBH yang berada di jaringan YLBHI juga akan turut serta dalam aksi mogok makan untuk mendukung perjuangan PRT.
Hingga awal Agustus ini belum ada perkembangan informasi tentang pembahasan RUU PPRT di DPR. Namun, pada Selasa (16/5), Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan RUU PPRT masih dibahas di Badan Legislasi (Baleg) dan sedang menunggu hasil dari pembahasan tersebut.
“Komitmennya ya kami akan selesaikan dengan sebaik-baiknya bermanfaat, tidak kemudian ada menimbulkan kontroversi dan tumpang tindih dengan undang – undang lain,” ujar Puan seperti dikutip dari laman dpr.go.id pada Selasa (16/5/2023).
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah telah merampungkan 367 Daftar Inventarisasi Masalah RUU PPRT. DIM RUU tersebut ditandatangani Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Hukum dan Hak Asasi dan Manusia serta Menteri Dalam Negeri.
Setelah ditandatangani lima menteri, DIM yang terdiri dari batang tubuh (239 DIM) dan penjelasan (128 DIM) lalu dikirim ke DPR. Targetnya, akhir Mei 2023, proses legislasi RUU PPRT masuk tahap pembahasan di DPR. [sm/em]