Majelis Umum PBB akan melangsungkan pemungutan suara minggu ini atas resolusi yang menggarisbawahi urgensi menemukan perdamaian abadi di Ukraina, satu tahun setelah invasi Rusia pada 24 Februari 2022.
Pemungutan suara atas rancangan resolusi yang disusun oleh Ukraina setelah berkonsultasi dengan sekutu-sekutunya dan didiskusikan dengan negara-negara yang berkepentingan itu akan dilakukan pada akhir sesi darurat khusus majelis pada Rabu (22/2) dan Kamis (23/2).
BACA JUGA: Rusia Berdagang Senjata di Pameran Abu Dhabi di tengah Invasi ke UkrainaHal tersebut menggarisbawahi urgensi menemukan “perdamaian yang komprehensif, adil dan abadi sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB” dan meminta anggota-anggota PBB dan organisasi internasional lainnya untuk mendukung upaya itu.
"Saya pikir akan sangat mengejutkan ketika resolusi itu berisi lebih banyak bahasa tentang perlunya perdamaian dibanding resolusi-resolusi sebelumnya," ungkap Direktur International Crisis Group Untuk PBB Richard Gowan kepada VOA. "Saya kira sebenarnya hal ini mencerminkan semacam dorongan yang muncul dari negara-negara di selatan, seperti Brazil dan Afrika Selatan, yang menilai harus ada semacam upaya perdamaian."
Resolusi itu juga menuntut penghentian permusuhan dan penarikan pasukan militer Rusia dari wilayah Ukraina “dalam perbatasan yang diakui secara internasional,” atau dekat kata lain termasuk wilayah yang diklaim telah dianeksasi Rusia.
Seorang diplomat Eropa yang mengetahui tentang perundingan tersebut mengatakan majelis itu tampaknya sengaja memilih kata “penghentian permusuhan” dan bukan “gencatan senjata.”
“Kami merasa istilah itu lebih kuat,” ujar sang diplomat seraya menambahkan “gencatan senjata bisa menjadi jeda dalam permusuhan yang memungkinkan satu pihak mengatur ulang dirinya sendiri dan mempersiapkan diri menghadapi serangan lain.”
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara “penghentian permusuhan” mengacu pada pengaturan yang lebih permanen, yang bukan sekadar tindakan untuk tidak menggunakan senjata. Hal ini pada akhirnya, tambah diplomat itu, akan menjadi dasar bagi solusi diplomatik.
Lebih dari 60 negara telah menandatangani untuk menjadi co-sponsor resolusi tersebut, yang tidak mengikat secara hukum tetapi memiliki bobot moral masyarakat internasional. Ukraina dan sekutu-sekutunya berharap akan mendapatkan suara mayoritas dari 193 negara anggota, meskipun hanya 191 negara yang berhak memilih. Lebanon dan Venezuela untuk sementara waktu kehilangan hak pilih mereka karena menunggak kewajiban pada organisasi dunia itu. [em/jm]