DPR menolak relokasi terhadap kelompok Muslim Syiah Sampang, Madura, karena tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan.
JAKARTA —
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki Ali mengatakan, DPR menolak adanya relokasi terhadap kelompok muslim Syiah Sampang Madura karena penyelesaian konflik sosial bukan dengan melakukan relokasi. Relokasi dapat dilakukan hanya jika ada permintaan dari masyarakatnya, ujarnya.
Marzuki menyatakan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil Gubernur Jawa Timur, Bupati Sampang dan juga DPRD untuk menanyakan kasus ini.
“Harusnya sebagai kepala daerah melakukan langkah-langkah untuk melakukan rekonsiliasi yah terhadap masyarakat yang berbeda pemahaman itu, bukan dengan memindahkan. Nanti tempat baru apakah diyakini akan cocok dan daerah-daerah lain juga akan melakukan hal yang sama. Nah negara kesatuan ini akan bubar jika kita melakukan hal seperti itu,” ujarnya Selasa (14/5) setelah pertemuan dengan para ulama Syiah.
Ulama Syiah dari berbagai daerah di Indonesia meminta DPR mencegah rencana relokasi yang akan dilakukan oleh Bupati Sampang terhadap kelompok Muslim Syiah yang saat ini masih mengungsi di Gedung Olahraga Sampang.
Para Muslim Syiah ini rencananya akan direlokasi ke Sidoarjo, Jawa Timur.
Kepada Marzuki dan Komisi Hukum dan Agama DPR, para ulama Syiah yang tergabung dalam organisasi Ahlul Bait Indonesia ini mengatakan relokasi terhadap kelompok Muslim Syiah itu tidak sesuai dengan konstitusi negara dan juga tidak manusiawi.
Ketua Dewan Syuro Ahlul Bait Indonesia, Habib Umar Shahab mengatakan,
kelompok Muslim Syiah di Sampang seharusnya dilindungi karena mereka merupakan korban kekerasan dari kelompok intoleran.
Pemerintah daerah, lanjut Umar, seharusnya melakukan rekonsiliasi dan reintegrasi sosial dengan mengembalikan seluruh korban kekerasan tersebut ke kampung halaman mereka dan bukan malah melakukan relokasi. Pemerintah daerah terutama Bupati Sampang, tambahnya, jangan justru tunduk kepada kelompok tertentu.
“Sebetulnya usaha rekonsiliasi, penyelesaian masalah ini sangat mudah kalau Pemda punya niat baik untuk melakukannya, ada keinginan untuk menyelesaikan masalah ini maka persoalan itu akan selesai. Tetapi yang kita lihat tidak ada keinginan maupun upaya dari Pemda Jawa Timur maupun Pemda Kabupaten Sampang untuk menyelesaikan persoalan. Untuk itu kita menuntut kedua Pemda ini secara khusus danj juga pimpinan pusat serta Presiden Susilo Bambang Yudhono untuk bertindak lebih aktif lagi,” ujar Umar.
Di pengungsian, kelompok muslim Syiah, Sampang yang berjumlah 116 orang itu hidupnya sangat memprihatinkan. Sejak 1 Mei lalu, pemerintah daerah Sampang sudah tidak memberikan bantuan dalam bentuk apapun, baik itu makanan, air untuk minum maupun untuk mandi.
Apabila kasus Syiah Sampang ini tidak diselesaikan, Umar mengatakan, hal ini akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi eksistensi kebhinekaan dan kedaulatan Indonesia, ujarnya. Ahlul Bait Indonesia juga menyayangkan adanya kriminalisasi terhadap korban yakni pemimpin Syiah Sampang Tajul Muluk.
Ia divonis 2 tahun penjara karena dinilai melakukan penodaan agama dan ketika banding ke Pengadilan Tinggi, Tajul Muluk malah divonis empat tahun penjara, sedangkan pelaku kekerasan tidak ada yang dinyatakan bersalah alias bebas.
Janji pemerintah untuk membangun kembali rumah Muslim Syiah yang dibakar juga belum diberikan.
“Janji yang diberikan pemerintah untuk membangunkan kembali rumah-rumah mereka termasuk penguasaan hak-hak properti mereka, itu sampai sekarang tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah sehingga sudah ada upaya-upaya sekelompok orang untuk merebut property mereka. Itu menurut saya sangat bertentangan dengan UUD 45 dan juga hak asasi manusia,” ujar Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia Ahmad Hidayat.
Sebelum bertemu dengan Ketua DPR, Ulama Syiah bersama jemaahnya melakukan unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR Senayan.
Penyerangan terhadap kelompok Syiah di Dusun Nangkernan, Desa Karang gayam, kecamatan Omben pada 26 Agustus 2012 lalu mengakibatkan setidaknya 46 rumah hangus terbakar, satu orang meninggal dan puluhan lainnya terluka.
Marzuki menyatakan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil Gubernur Jawa Timur, Bupati Sampang dan juga DPRD untuk menanyakan kasus ini.
“Harusnya sebagai kepala daerah melakukan langkah-langkah untuk melakukan rekonsiliasi yah terhadap masyarakat yang berbeda pemahaman itu, bukan dengan memindahkan. Nanti tempat baru apakah diyakini akan cocok dan daerah-daerah lain juga akan melakukan hal yang sama. Nah negara kesatuan ini akan bubar jika kita melakukan hal seperti itu,” ujarnya Selasa (14/5) setelah pertemuan dengan para ulama Syiah.
Ulama Syiah dari berbagai daerah di Indonesia meminta DPR mencegah rencana relokasi yang akan dilakukan oleh Bupati Sampang terhadap kelompok Muslim Syiah yang saat ini masih mengungsi di Gedung Olahraga Sampang.
Para Muslim Syiah ini rencananya akan direlokasi ke Sidoarjo, Jawa Timur.
Kepada Marzuki dan Komisi Hukum dan Agama DPR, para ulama Syiah yang tergabung dalam organisasi Ahlul Bait Indonesia ini mengatakan relokasi terhadap kelompok Muslim Syiah itu tidak sesuai dengan konstitusi negara dan juga tidak manusiawi.
Ketua Dewan Syuro Ahlul Bait Indonesia, Habib Umar Shahab mengatakan,
kelompok Muslim Syiah di Sampang seharusnya dilindungi karena mereka merupakan korban kekerasan dari kelompok intoleran.
Pemerintah daerah, lanjut Umar, seharusnya melakukan rekonsiliasi dan reintegrasi sosial dengan mengembalikan seluruh korban kekerasan tersebut ke kampung halaman mereka dan bukan malah melakukan relokasi. Pemerintah daerah terutama Bupati Sampang, tambahnya, jangan justru tunduk kepada kelompok tertentu.
“Sebetulnya usaha rekonsiliasi, penyelesaian masalah ini sangat mudah kalau Pemda punya niat baik untuk melakukannya, ada keinginan untuk menyelesaikan masalah ini maka persoalan itu akan selesai. Tetapi yang kita lihat tidak ada keinginan maupun upaya dari Pemda Jawa Timur maupun Pemda Kabupaten Sampang untuk menyelesaikan persoalan. Untuk itu kita menuntut kedua Pemda ini secara khusus danj juga pimpinan pusat serta Presiden Susilo Bambang Yudhono untuk bertindak lebih aktif lagi,” ujar Umar.
Di pengungsian, kelompok muslim Syiah, Sampang yang berjumlah 116 orang itu hidupnya sangat memprihatinkan. Sejak 1 Mei lalu, pemerintah daerah Sampang sudah tidak memberikan bantuan dalam bentuk apapun, baik itu makanan, air untuk minum maupun untuk mandi.
Apabila kasus Syiah Sampang ini tidak diselesaikan, Umar mengatakan, hal ini akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi eksistensi kebhinekaan dan kedaulatan Indonesia, ujarnya. Ahlul Bait Indonesia juga menyayangkan adanya kriminalisasi terhadap korban yakni pemimpin Syiah Sampang Tajul Muluk.
Ia divonis 2 tahun penjara karena dinilai melakukan penodaan agama dan ketika banding ke Pengadilan Tinggi, Tajul Muluk malah divonis empat tahun penjara, sedangkan pelaku kekerasan tidak ada yang dinyatakan bersalah alias bebas.
Janji pemerintah untuk membangun kembali rumah Muslim Syiah yang dibakar juga belum diberikan.
“Janji yang diberikan pemerintah untuk membangunkan kembali rumah-rumah mereka termasuk penguasaan hak-hak properti mereka, itu sampai sekarang tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah sehingga sudah ada upaya-upaya sekelompok orang untuk merebut property mereka. Itu menurut saya sangat bertentangan dengan UUD 45 dan juga hak asasi manusia,” ujar Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia Ahmad Hidayat.
Sebelum bertemu dengan Ketua DPR, Ulama Syiah bersama jemaahnya melakukan unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR Senayan.
Penyerangan terhadap kelompok Syiah di Dusun Nangkernan, Desa Karang gayam, kecamatan Omben pada 26 Agustus 2012 lalu mengakibatkan setidaknya 46 rumah hangus terbakar, satu orang meninggal dan puluhan lainnya terluka.