Nama Rini Sugianto dan Yorie Kumalasari kerap kali terlihat di bagian akhir film-film Box Office Hollywood, seperti Moana, Ready Player One, dan How to Train Your Dragon: the Hidden World.
Mereka adalah dua perempuan Indonesia yang tidak hanya berhasil menembus industri film-film Hollywood, namun juga berprofesi sebagai seniman multimedia dan animator seperti mereka di Amerika Serikat.
Seniman multimedia dan animator atau biasa juga disebut sebagai CG (Computer Graphic) artist mencakup orang-orang yang memiliki kemampuan dalam memanipulasi cahaya, efek, warna, tekstur, dan menghidupkan karakter.
Data tahun 2017 dari badan pusat statistik tenaga kerja AS mengatakan bahwa pekerjaan sebagai seniman multimedia dan animator diperkirakan akan meningkat 8 persen hingga tahun 2026, karena banyaknya permintaan akan animasi dan efek visual dalam video games, film dan televisi.
Saat ini Rini Sugianto bekerja di perusahaan Blizzard Entertainment di California sebagai animator, sedangkan Yorie Kumalasari bekerja sebagai seniman multimedia, tepatnya effects artist untuk DreamWorks Animation, di California.
Seperti yang dilansir situs PayScale.com, jumlah perempuan yang bekerja sebagai seniman multimedia dan animator jauh lebih sedikit, yaitu sekitar 23 persen, dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 77 persen.
Hal ini diakui kebenarannya oleh Rini.
Your browser doesn’t support HTML5
“Memang jumlah perempuan yang bekerja di industri animasi ini masih lebih sedikit dibanding (laki-laki). Tapi kalau misalnya dilihat dari pas awal saya mulai karir saya di tahun 2005, bisa dibandingin dulu di departemen animasinya itu cuma sendirian, satu-satunya perempuan,” ujar Rini Sugianto kepada VOA Indonesia belum lama ini.
Rini masih ingat saat mengerjakan film “Ready Player One” arahan sutradara kenamaan Steven Spielberg, dimana pada waktu itu hanya ada sekitar 5 perempuan termasuk dirinya, diantara 20 animator dalam tim yang pada waktu itu ikut menggarap film ini di San Francisco, California.
BACA JUGA: Dua Animator Indonesia Ikut Garap Film-film Oscars 2019Sebagai seorang effects artist atau seniman multimedia yang bertanggung jawab menciptakan efek dalam film seperti kobaran api, hujan, asap, dan air untuk film, Yorie pun juga merasakan tantangan besar sebagai perempuan di bidang yang didominasi oleh laki-laki ini.
Saat ikut menggarap film Moana dimana waktu itu Yorie bekerja untuk Disney animation, ia bercerita hanya ada 5 perempuan diantara 60 effects artist yang terlibat. Begitu pula ketika mengerjakan film "How to Train Your Dragon: the Hidden World," dimana hanya ada sekitar 4 perempuan dari sekitar 40 effects artist yang ikut dalam penggarapannya.
Your browser doesn’t support HTML5
Yorie yang berasal dari Surabaya memulai karirnya setelah lulus S2 dari New York University jurusan digital imaging and design. Salah satu kendala yang ia hadapi ketika baru memulai karirnya adalah bahasa Inggris.
“Bahasa Inggrisnya pertama enggak seberapa bagus, jadi komunikasinya susah, terus perempuan, jadi enggak dianggap serius gitu. Apalagi saya di bidang effects, itu sangat technical sekali, biasanya kalau anak perempuan jarang yang mau mengerjakan technical stuff,” jelas peraih gelar S1 jurusan teknik informatika dari Universitas Surabaya ini.
Sama halnya di bagian animasi, Rini mengatakan memang tidak terlalu banyak perempuan yang memiliki spesialiasi di bidang ini.
“Enggak tahu kenapa untuk yang (spesialisasi) di animasi biasanya enggak terlalu banyak untuk perempuan. Di tempat pekerjaan saya sekarang mungkin sekitar 30 orang, kayaknya (yang perempuan) hanya ada lima orang,” katanya.
Meskipun Rini mengaku tidak pernah ada yang meragukan kemampuannya, ia tetap harus menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan tempat ia bekerja.
“Sekarang sih kebanyakan perusahan lebih toleran dengan culture di perusahaannya sendiri. Dulu kadang memang di perusahaan yang dominannya laki-laki, culture-nya agak beda. Jadi sebagai perempuan kita mesti adjust,” jelas lulusan S2 dari Academy of Art University di San Francisco ini.
Berdasarkan pengalaman Rini, dari segi pekerjaan memang biasanya animator perempuan lebih sering diberi tanggung jawab untuk menggerakkan karakter yang lebih feminin. Namun, semua kembali lagi kepada film yang dikerjakan.
“Karena saya lebih banyak bekerja di bidang (visual effects) ya, jadi biasanya gerakannya kan lebih ke arah action. Lebih fight scene. Ada kecenderungan untuk animator yang female itu kita dikasih yang lebih subtle, jadi yang lebih feminin gerakkannya dibanding yang action,” papar animator yang juga pernah terlibat dalam penggarapan film Hobbit 1 dan 2, Hunger Games: Catching Fire, Iron Man 3, Teenage Mutant Ninja Turtles, dan The Avengers 1 dan 2 ini.
“Jadi dari kita sendiri sebagai female, kita harus (menunjukkan) kalau kita bisa juga ngerjain animasi action,” tambahnya.
Untungnya, perusahaan-perusahaan tempat Rini pernah bekerja selalu menawarkan pilihan adegan yang ia inginkan.
“Mereka selalu tanya, kamu mau dapat shot yang seperti apa?” ceritanya.
Awalnya memang Rini selalu memilih gerakan yang tidak terlalu besar. Namun, ia berusaha untuk terbuka.
“Karena saya enggak mau stuck di sini juga, saya biasanya minta, 'oh, mau dong shot yang action juga',” ujarnya.
Yorie pun juga berusaha terbuka atau lebih proaktif dalam bekerja. Ia berusaha membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dengan effects artist lain, khususnya yang laki-laki.
“Pertama kali datang ke sini, mereka memberikan saya shot-shot yang gampang ya, simple-simple gitu, tapi saya bilang ke mereka, beri saya adegan yang keren, yang besar. Mereka mendengar dan memberinya kepada saya. Saya buktikan bahwa saya bisa. Sejak itu mereka selalu memberikan saya adegan-adegan yang lebih besar," kenang Yorie yang juga pernah ikut terlibat dalam penggarapan film "Power Rangers," "The Fate of the Furious," "Hotel Artemis," "All I See is You," dan "Snow White and the Huntsman."
Kedua perempuan ini berhasil membuktikan kemampuan mereka dalam bersaing di industri yang masih didominasi oleh laki-laki. Gerakan #MeToo yang mendukung pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender diakui Rini telah membantu menciptakan dunia kerja yang lebih ‘netral gender.’
Bagi perempuan yang ingin berkiprah di industri film, khususnya sebagai seniman multimedia dan animator, Rini berpesan agar tidak malu atau ragu dengan kemampuan yang dimiliki.
“Percaya dengan kemampuan kamu sendiri, terutama kalau kamu sudah belajar dan kerja keras gitu ya, percaya kalau itu bakal ada hasilnya. Jangan takut untuk (mencoba) dan kalau gagal coba lagi. Tapi jangan takut, jangan (menyerah) duluan,” ujarnya.
Portfolio yang bagus tentunya juga menjadi kunci keberhasilan dalam mencari pekerjaan di industri ini, khususnya jika ingin menembus studio-studio kenamaan seperti DreamWorks Animation.
“Buat portfolio online, situs pribadi, setelah itu buat profile di LinkedIn. Di LinkedIn kamu bisa berteman dengan siapa saja. Banyak profesional-profesional di luar Indonesia atau di dalam Indonesia yang kamu bisa add. Kamu bisa bertanya kepada mereka, bisa mencari recruiter, kamu bisa memajang portfolio, mendaftar ke berbagai perusahaan, promosikan namamu di sana," pesan Yorie.
Sebentar lagi penonton di seluruh dunia dapat menonton hasil karya Rini dalam film animasi "Missing Link" yang rencananya akan dirilis April mendatang. Sedangkan film "How to Train Your Dragon: the Hidden World" dimana Yorie ikut terlibat baru saja dirilis. Yorie kini juga tengah ikut mengerjakan efek untuk film animasi produksi DreamWorks yang berjudul “Abominable,” yang rencananya akan dirilis September mendatang.