Sudah dua minggu 139 pengungsi Rohingya berada di Kota Sabang, Aceh. Kelompok pengungsi yang tiba dengan kapal reyot itu ditampung di sebuah lokasi di kawasan Dermaga CT-1 milik Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), di Kota Sabang, Aceh. Pihak berwenang setempat mendirikan empat tenda berwarna putih untuk tempat para pengungsi tinggal sementara dan melindungi mereka dari terik matahari dan hujan. Ada pula terpal untuk alas duduk atau tidur.
Sesekali sebagian warga secara sembunyi-sembunyi memberikan mereka makanan ala kadarnya. Walhasil sebagian pengungsi, terutama anak-anak, mulai jatuh sakit. Yang paling umum adalah gatal-gatal di kulit dan kepala, tetapi tidak sedikit yang diare.
Beberapa pengungsi yang ditemui VOA mengatakan mereka menyadari bahwa warga lokal menolak kehadiran mereka sejak kapal reyot yang membawa rombongan pengungsi itu berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Sabang, tanggal 2 Desember lalu. Tetapi sebagaimana Dilwar Sha, salah seorang pengungsi Rohingya berusia sekitar 30-an, yang berbicara dengan bantuan penerjemah, mereka tidak punya pilihan lain.
“Kami ingin pergi ke sini karena mendengar Aceh banyak menyelamatkan Rohingya seperti kami. Itulah sebabnya kami ingin pergi ke Aceh,” ujarnya saat ditemui VOA hari Kamis (14/12).
Terlantar
Sayangnya harapan tak sesuai kenyataan. Setelah tiba di Indonesia, nasib para pengungsi Rohingya malah kian terlantar. Organisasi PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) hanya sesaat memedulikan mereka.
“Setelah kami ke Indonesia, UNHCR datang. UNHCR memberikan ini (gelang). Setelah memberikan ini, mereka tidak datang (lagi). Jadi kami semua menunggu UNHCR. Kami semua dengan senang hati menunggu mereka,” ungkap Dilwar.
Lebih jauh Dilwar mengungkapkan bahwa ia dan para pengungsi Rohingya lainnya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada kapten kapal agar bisa keluar dari kamp-kamp di Bangladesh. Namun dia tak merinci jumlah uang yang diberikannya itu.
“Mereka (awak kapal) mengambil uang dari setiap orang secara individu,” ungkap Dilwar.
Dilwar, yang melarikan diri dari Myanmar pada tahun 2017 karena aksi kekerasan dan pembantaian etnis, sempat berpindah-pindah tinggal di kamp pengungsi di Cox’s Bazaar, Bangladesh. Namun kemudian ia dan kelompok yang bersamanya memutuskan pergi ke Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
“Kami memutuskan untuk pergi ke Indonesia agar kami bisa menyelamatkan hidup. Kami tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke sekolah dan tidak punya apa-apa. Kami tidak punya apa-apa, itulah sebabnya kita tidak bisa belajar dengan baik dan akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Indonesia,” pungkasnya.
Hingga laporan ini disampaikan upaya VOA untuk mendapatkan keterangan dari Pejabat Walikota Sabang Reza Pahlevi dan Kapolres Sabang AKBP Erwan masih belum membuahkan hasil.
Atas Dasar Kemanusiaan, Warga Lokal Beri Bantuan Secara Sembunyi-Sembunyi
Namun berdasarkan penelusuran VOA di lapangan, otoritas berwenang telah berupaya menjembatani kedatangan pengungsi dan penolak warga lokal. Semula para pengungsi ditampung di Balohan, tetapi setelah muncul penolakan warga, mereka untuk sementara waktu ditempatkan di Dermaga CT-1 BPKS. Meskipun menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaan pada para pengungsi Rohingya ini, sebagian warga lokal atas dasar kemanusiaan masih memberikan bantuan dengan menyediakan makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan.
Sejauh ini tidak ada ada petugas kesehatan atau petugas pendataan lokal atau pusat yang membantu mereka. Belum terlihat pula petugas badan PBB urusan pengungsi, UNHCR, atau badan PBB urusan migrasi IOM di lokasi penampungan ini. Pejabat kedua badan internasional itu dikabarkan masih terus melakukan koordinasi dengan Kemenko Polhukam dan memohon diberi waktu.
Beberapa warga di sekitar lokasi penampungan pengungsi itu mengatakan kepada VOA bahwa mereka memberikan tenggat waktu hingga hari Jumat (15/12) bagi para pengungsi Rohingya ini untuk meninggalkan Pulau Weh atau menghadapi pengusiran. [aa/em]