Duta Besar AS untuk Thailand membantah Amerika ikut campur dalam pemilihan baru-baru ini di Thailand, dengan mengatakan pada Selasa (27/6) bahwa Washington tidak mendukung kandidat individu atau partai politik mana pun.
Klaim campur tangan AS dalam pemungutan suara 14 Mei telah beredar sejak oposisi Partai Bergerak Maju (MFP) muncul sebagai peraih suara teratas dan partai oposisi lain berada di urutan kedua, meningkatkan kemungkinan pemerintahan koalisi baru yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Perdana Menteri Prayuth Chan- ocha.
MFP dipandang secara nominal lebih pro-Amerika daripada Prayuth, mantan jenderal yang awalnya berkuasa dalam kudeta militer sembilan tahun lalu, dan klaim campur tangan Amerika dalam pemilu secara luas dipandang berasal dari para pendukung status quo saat ini.
Sekelompok kecil pengunjuk rasa bahkan berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar AS pada bulan April, menuduh Washington mencampuri urusan politik Thailand.
Dalam pertemuan dengan puluhan jurnalis Thailand, Duta Besar Robert Godec ketika ditanya tentang rumor dan teori konspirasi mengatakan bahwa hal itu “merupakan tindakan merugikan bagi puluhan juta orang yang berpartisipasi dalam proses politik sebagai pemilih, sebagai petugas pemilu, sebagai pengawas pemilu.”
“Mengingat teori konspirasi yang terus menerus dan merusak, izinkan saya menjelaskannya,” kata Godec. “Kami dengan tegas menolak desas-desus palsu bahwa Amerika Serikat ikut campur dalam pemilu Thailand.”
MFP telah menandatangani kesepakatan dengan tujuh partai lainnya pada platform bersama yang mereka harapkan akan mengarah pada pembentukan pemerintahan koalisi pada bulan Juli. Dalam kesepakatan itu tidak disebutkan seruan kontroversial MFP untuk mengubah undang-undang yang secara keras menentang kritik terhadap keluarga kerajaan, sebuah posisi yang telah memicu kemarahan para konservatif di Thailand.
Namun, kesepakatan itu mencakup beberapa kebijakan inti MFP, seperti menyusun konstitusi baru yang lebih demokratis, mengesahkan undang-undang pernikahan sesama jenis, mendesentralisasikan kekuasaan administratif, dan beralih dari wajib militer ke pendaftaran sukarela "kecuali ketika negara sedang berperang".
BACA JUGA: Kandidat Terdepan PM Thailand Klaim Cukup Dukungan dari SenatKesepakatan itu juga menyerukan reformasi polisi, militer, layanan sipil dan proses peradilan, penghapusan monopoli bisnis, dan pemulihan kontrol atas produksi dan penjualan ganja setelah dekriminalisasi de facto yang dilakukan dengan buruk tahun lalu.
Namun, belum jelas apakah koalisi akan dapat mengambil alih kekuasaan. Koalisi ini mengendalikan mayoritas kuat di majelis rendah negara, tetapi di bawah rancangan konstitusi militer, perdana menteri dipilih melalui pemungutan suara bersama majelis rendah dan Senat, yang anggotanya ditunjuk oleh pemerintah militer pascakudeta.
Godec menekankan bahwa AS telah bekerja sama dengan pemerintah saat ini selama bertahun-tahun dan bahwa Prayuth mengunjungi Gedung Putih tahun lalu bersama dengan para pemimpin ASEAN lainnya. Ia juga mengatakan Washington akan terus bekerja sama dengan pemerintah Thailand, siapa pun yang berkuasa.
“Amerika Serikat tidak berpihak pada kandidat manapun, atau partai politik manapun di Thailand,” katanya. “Yang kami lakukan adalah mendukung proses demokrasi. Rakyat Thailand sendiri yang harus memilih pemerintah mereka.” [ab/uh]