Tekanan supaya Edy mundur sudah muncul sejak enam bulan lalu setelah ia terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara. Dengan rangkap jabatan itu, Edy dinilai “tidak fokus” dan “berpotensi memiliki konflik kepentingan”. Kini mundurnya Edy diapresiasi oleh kelompok masyarakat sipil dan dianggap sebagai kesempatan melakukan reformasi di tubuh PSSI.
Kesempatan itu, ujar aktivis anti-korupsi Emerson Yuntho, harus dibarengi dengan penuntasan kasus pengaturan skor. Da menyerukan agar Satgas Anti-Mafia Sepakbola yang sedang bekerja tidak tebang pilih.
“Bersikap objektif ya untuk memeriksa siapapun yang punya indikasi terlibat. Kemudian mereka-mereka yang menjadi saksi untuk menggali sedalam mungkin soal indikasi keterlibatan yang mungkin melibatkan internal PSSI,” terangnya usai konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/1/2019) siang.
Emerson yang juga menggagas petisi “Edy Harus Mundur” di laman change.orgini mengatakan, pembersihan oknum itu akan mendorong reformasi PSSI.
“Salah satu bentuk reformasi di PSSI adalah bersihkan oknum-oknum PSSI yang terlibat mafia tersebut, Agak mustahil dan riskan proses reformasi di PSSI kalau masih ada mafia-mafia yang bercokol di PSSI,” terangnya yang petisinya telah didukung 135 ribu orang.
Di saat yang sama, Satgas Antimafia Sepakbola telah menetapkan 11 tersangka kasus pengaturan skor. Daftar tersangka itu memuat 3 orang dari PSSI termasuk Plt Ketua PSSI Joko Triyono. Joko otomatis mengisi posisi itu ketika Edy mundur.
Reformasi Harus Tetap dalam Koridor Hukum
PSSI memiliki banyak pekerjaan rumah lama. Antara lain integritas para pejabat dan pegawainya, pembinaan pemain, kompetisi, pengaturan skor (match fixing), pembentukan timnas, dan konflik antar-supporter.
Sejumlah pihak mengajukan diri untuk menjadi Ketua Umum PSSI dan membenahi lembaga itu. Nama-nama ini misalnya Erick Tohir dan Muhaimin Iskandar. Namun peneliti hukum olahraga, Eko Noer Kristyanto, menilai reformasi harus tetap dilakukan sesuai koridor aturan yang berlaku. Posisi ketua umum harus dipilih melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB) tidak bisa asal tunjuk,
“Mungkin sudah menyimak banyak di media sosial banyak sekali tokoh-tokoh yang diajukan. Tapi itu nggak bisa jadi jaminan. Tetap yang memiliki kewenangan untuk memilih orang sebagai pucuk pimpinan nanti adalah para pemilik suara alias voters,” jelasnya kepada wartawan dalam kesempatan yang sama.
Para pemilik suara berjumlah 85 orang yang berasal dari seluruh klub Liga 1, Liga 2, dan Liga 3, ditambah asosiasi provinsi se-Indonesia. Eko mengatakan, aspirasi publik bisa dilayangkan kepada klub dan asosiasi di daerah masing-masing. Dia mengingatkan, jangan sampai ada yang campur tangan ke dalam PSSI, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
“Seburuk apapun PSSI sekarang, intervensi yang dilakukan tetap harus dalam bentuk turun tangan bukan campur tangan. Karena kalau misalnya ini diganggu nanti yang terjadi adalah ban dari FIFA. Kita harus hati-hati. Jadi cara-cara yang keliru walaupun niatnya bagus itu akan berujung pembekuan seperti tahun 2015,” tambahnya.
Supporter Akan Susun Rekomendasi kepada PSSI
Sementara itu Paguyuban Supporter Timnas Indonesia (PSTI) berencana menggelar kongres pada Mei atau Juni tahun ini. Ketua PSTI, Ignatius Indro, mengatakan ingin memberikan masukan dalam bentuk rekomendasi kepada PSSI.
“Kita ingin mengakomodir apa sih yang diinginkan supporter di masing-masing klub, Misalnya untuk perkembangan PSSI sendiri," jelasnya kepada wartawan.
Belum ada hukum yang mengakui suara supporter sepakbola di Indonesia. Namun paguyuban berisi 5.000 anggota se-Indonesia ini tetap akan menyerahkan usulannya, terutama dalam membersihkan PSSI dari praktik korup.
“Pertama, mungkin perubahan di aturan pemilihan ketua umum sendiri. Bagaimana mencegah orang-orang yang jadi bagian masalah itu untuk berkuasa kembali. Itu yang harus diperhatikan. Aturan-aturannya lalu kriteria itu sendiri,” pungkasnya
Paguyuban supporter berencana menyerahkan rekomendasi segera, meski PSSI belum menyatakan akan menggelar KLB dalam waktu dekat. (rt/em)