Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) dan Pusat Pembuatan Vaksin Malaria “Sanaria” di Amerika siap melakukan uji klinik malaria pada sedikitnya 400 personel TNI Angkatan Darat yang akan dikirim ke Papua pada pertengahan 2022. Papua adalah salah satu daerah endemik malaria.
Tim PRBM Eijkman, EOCRU dan Sanaria pekan lalu melangsungkan pertemuan di Maryland, Amerika, untuk membahas persiapan uji klinik pertama di dunia itu.
Diwawancarai di sela-sela pertemuan tersebut Direktur Eijkman Prof. Dr. dr. Amin Soebandrio mengatakan “pertemuan ini merupakan follow up untuk persiapan pengujian kandidat vaksin malaria yang dikembangkan Sanaria. Ini merupakan uji klinik pertama di dunia pada pasukan yang akan dikirim ke daerah endemik malaria, yaitu di Papua. Kami akan pantau sejak mereka berangkat dan bertugas selama 6-9 bulan, hingga mereka kembali ke daerah semula yang hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali malaria, semua akan kami pantau. Ini membutuhkan persiapan yang luar biasa.”
Perencanaan studi telah dilakukan sejak 2018, dan mendapat persetujuan etik dari Komite Etik FKUI pada 2019. Persetujuan penggunaan vaksin untuk uji klinik tahap dua pada personel TNI Angkatan Darat juga telah diberikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun perebakan luas pandemi virus corona sempat menunda kajian ini. Tak surut langkah tim PRBM Eijkman, EOCRU dan Sanaria kembali melanjutkan penelitian mereka pada Juni 2021.
Awal Oktober lalu Badan Kesehatan Dunia *WHO) merekomendasikan vaksin pertama untuk menangkal malaria yang disebut RTS, S, atau Mosquirix. Vaksin yang telah dikembangkan selama 30 tahun dan menyelesaikan uji klinik skala besar ini dinilai signifikan untuk mengurangi malaria dan memperkuat sistem kekebalan terhadap Plasmodium falciparum, parasit malaria paling mematikan dan paling umum di Afrika. Namun menurut sejumlah pakar, vaksin ini kurang tepat untuk wilayah dengan keunikan geografis tertentu dan yang memiliki jenis parasit penyebab malaria yang berbeda.
Sanaria Yakin Kemanjuran Vaksin 95-100%
Stephen L. Hoffman, Chief Executive and Scientific Officer Sanaria menjelaskan hal ini pada VOA. “Kami berdiskusi dengan perwakilan TNI yang memiliki masalah besar ketika pasukan mereka berangkat dari daerah-daerah seperti Sumatera, Jawa atau Bali yang tingkat penyakit malaria-nya rendah, ke Papua di mana penyakit malaria tinggi. Personel yang dikirim ini tidak kebal," katanya.
BACA JUGA: Program Pencegahan Malaria AS Luncurkan Rencana Lima Tahun dengan Bertumpu pada Vaksin"Mereka bisa jatuh sakit dan tidak dapat melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan di tempat itu. Indonesia juga berbeda dengan Afrika di mana parasit penyebab 95% malaria di sana adalah plasmodium falciparum. Parasit di Indonesia adalah jenis plasmodium vivax, jenis parasit penyebab malaria terpenting kedua di dunia. Kami kira vaksin kami, yang memiliki kemanjuran hingga 95-100 persen, dapat mencegah hal ini,” lanjut Hoffman.
Dua vaksin yang akan diuji klinik pada TNI Angkatan Darat ini adalah PfSPZ Vaccine and PfSPZ-CVac. Vaksin PfSPZ memiliki keunggulan sebagai anti-infeksi parasit malaria, sehingga diklaim lebih unggul dibanding vaksin RTS, S, yang penggunaanya terbatas pada anak-anak untuk mencegah malaria berat. Vaksin PfSPZ ini memiliki perlindungan 100% terhadap parasit penyebab malaria yang dikenal sebagai plasmodium falciparum sehingga dapat mencegah infeksi, transmisi dan penyakit. Vaksin PfSPZ ini juga dapat digunakan pada semua kelompok umur di atas usia 2 tahun dan kajian awal menunjukkan tidak ada reaksi sistemik akibat vaksinasi.
Indonesia Butuh Vaksin Malaria Untuk Orang Tak Bergejala
Kevin Baird PhD, Kepala Tim Peneliti yang juga Direktur Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menjelaskan keunggulan vaksin PfSPZ and PfSPZ-CVac ini.
“Vaksin RTS, S yang sekarang ada melindungi orang yang bergejala, tetapi tidak melindungi dari penularan. Lalu bagaimana orang yang tertular tetapi tidak jatuh sakit, tidak menunjukkan gejala? Nah di Indonesia ini menjadi persoalan sangat besar karena jika orang tidak jatuh sakit, mereka tidak mencari pertolongan, tidak memeriksakan kesehatannya, sementara mereka tetap bisa menularkan. Jika kita ingin memberantas malaria, menemukan pembawa virus yang tidak bergejala ini merupakan persoalan besar. Jadi vaksin RTS, S mungkin malah menyulitkan (bagi Indonesia.red) untuk memberantas malaria. Kita belum tahu pasti dan karenanya uji klinik harus dilakukan.”
Pemantauan Komprehensif
Uji klinik akan dilakukan pada sedikitnya 400 personel TNI Angkatan Darat yang akan berangkat ke Keerom, Papua, pada Juni 2022, dan diperkirakan kembali ke daerah asal mereka atau homebase di Pekanbaru, Riau, pada Maret 2023. Vaksinasi akan dilakukan di Riau sebelum keberangkatan.
Tim peneliti akan mengamati personil yang telah divaksinasi ini selama penugasan di Papua dan setelah kembali ke Pekanbaru. Pengamatan juga dilakukan untuk melihat kemampuan vaksin PfSPZ menghasilkan proteksi silang terhadap spesies parasit lain, seperti plasmodium vivax. Kedua jenis parasit ini merupakan penyebab utama malaria di Papua.
“Mengapa uji klinik dilakukan pada militer? Ini dikarenakan kita membutuhkan populasi yang berisiko tinggi terjangkit malaria, dan tentara (yang ditempatkan ke Papua.red) sangat berisiko tinggi dan mereka akan diberi vaksin dengan tingkat kemanjuran yang tinggi. Dengan subyek kajian yang jumlahnya kecil ini maka uji klinik tidak akan menjadi sangat mahal. Maksud saya, kita bisa saja melakukannya pada warga biasa, tetapi kemungkinan mereka terjangkit malaria sangat kecil sehingga kita akan membutuhkan subyek populasi 10 kali lebih besar dengan biaya yang juga 10 kali lebih besar," demikian papar Baird yang telah sejak lama menekuni studi tentang malaria di Indonesia.
BACA JUGA: Di Tengah Covid, Papua dan Papua Barat Tetap Dibayangi AIDSLebih jauh Hoffman mengatakan “sangat merasa terhormat dapat bekerjasama dengan militer Indonesia” yang akan menjadi subjek kajian. “Kami sudah bekerjasama sejak lama dengan Eijkman Institute di Indonesia dan EOCRU, tetapi baru pertama kali ini kami bekerja sama dan bertemu dengan wakil-wakil militer Indonesia secara langsung.”
Your browser doesn’t support HTML5
Menteri Kesehatan Dukung Penuh Uji Klinik
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada VOA mengatakan mendukung penuh uji klinik ini. “Kita dukung penuh uji klinik di Papua ini. Memang uji klinik untuk penyakit seperti ini biasanya paling sedikit satu tahun, baru ketahuan hasilnya. Tetapi belajar dari COVID-19 kemarin, vaksin-vaksin seperti Moderna atau Pfizer atau Sinovac sudah bisa dipakai setelah preliminary report uji klinik enam bulan. Jadi mungkin bisa begitu juga dengan uji klinik malaria. Yang pasti kita support, dukung penuh, karena pastinya akan sangat mengurangi penyakit malaria di negara kita.”
Wilayah Timur Indonesia Rentan Malaria
Malaria adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit dan sulit untuk benar-benar berantas. Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia WHO dalam “World Malaria Report 2020,” Indonesia memiliki jumlah kasus malaria tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah India. Meskipun sempat mengalami penurunan kasus pada tahun 2010-2014, tetapi tren penyakit yang terutama ditularkan lewat gigitan nyamuk ini cenderung stagnan dan menunjukkan konsentrasi di bagian timur Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sekitar 86% kasus malaria pada tahun 2019 terjadi di provinsi Papua, yaitu 216.380 kasus. Disusul provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat. Namun wilayah endemis tinggi juga terdapat di Indonesia bagian tengah, yaitu di Kabupaten Penajaman Paser Utara, di Kalimantan Timur.
Upaya untuk memperoleh vaksin yang efektif telah dilakukan sejak lama, tetapi sebagian tidak benar-benar menunjukkan kemanjuran.
Kerja Sama Uji Klinik Hingga Alih Teknologi
Kerja sama penelitian dan uji klinik vaksin malaria pertama di Indonesia dan dunia antara Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) dan Pusat Pembuatan Vaksin Malaria “Sanaria” di Amerika diharapkan akan berlangsung dalam jangka panjang. Tidak saja untuk mendapatkan hasil yang kelak dapat digunakan secara luas, tetapi juga untuk alih teknologi pada peneliti malaria di Indonesia.[(em/ah]