Keuskupan di Kentucky Sabtu sore (19/1) minta maaf setelah beredar luas video yang memperlihatkan sejumlah siswa sekolah menengah atas putra Katholik mengejek seorang penduduk asli atau native-American di luar Lincoln Memorial setelah unjuk rasa di Washington DC.
Unjuk rasa yang dilakukan The Indigenous People March di Washington DC hari Jumat (18/1) bertepatan dengan “March for Life” yang diikuti ribuan demonstran anti-aborsi, termasuk kelompok siswa SMA Katolik Covington di Park Hills.
Video yang beredar luas di dunia maya menunjukkan seorang pemuda yang mengenakan topi berwarna merah menatap tajam dan berdiri sangat dekat dengan Nathan Phillips, seorang penduduk asli Amerika berusia 64 tahun yang sedang bernyanyi sambil membunyikan tetabuhan.
Sejumlah siswa lain, sebagian mengenakan seragam SMA Covington dan banyak yang mengenakan topi dan baju hangat bertuliskan “Make America Great Again” MAGA mengelilingi Phillips sambil bernyanyi, tertawa-tawa dan mengejeknya.
Keuskupan Gereja Katolik di Covington Minta Maaf
Dalam sebuah pernyataan bersama, Keuskupan Covington dan SMA Katolik Covington minta maaf kepada Phillips. Para pejabat itu mengatakan sedang menyelidiki dan akan “mengambil tindakan yang sesuai, termasuk mengeluarkan pelaku dari sekolah itu.”
“Kami menyampaikan permintaan maaf terdalam kepada Nathan Phillips,” demikian petikan pernyataan itu. “Perilaku ini bertentangan dengan ajaran gereja tentang martabat dan rasa hormat pada manusia.”
Nathan Phillips, Tetua Omaha & Veteran Perang Vietnam yang Disegani
Menurut situs “Indian Country Today,” Nathan Phillips adalah seorang tetua Omaha dan veteran Perang Vietnam yang selalu mengadakan upacara tahunan untuk menghormati veteran penduduk asli Amerika di Arlington National Cemetery.
Marcus Frejo, anggota suku Pawnee dan Seminole yang juga dikenal sebagai Chief Quese Imc, mengatakan ia ikut serta dalam unjuk rasa itu dan merupakan sekelompok kecil orang yang masih berada di lokasi Jumat sore ketika sejumlah siswa mulai meneriakkan slogan-slogan “Make America Great” dengan riuh rendah dan kemudian mulai melakukan “haka,” tarian tradisional Maori.
Dalam wawacara melalui telpon, Frejo mengatakan kepada Associated Press bahwa ia merasa mereka mengejek tarian itu dan juga beberapa laki-laki berkulit hitam yang berada di dekat mereka.
Video berdurasi 11 menit menunjukkan para siswa SMA Covington melakukan tarian “haka” dan sebagian lainnya berteriak-teriak sebelum Phillips dan Frejo mendekati mereka. Video itu tidak menunjukkan keberadaan laki-laki berkulit hitam yang disebut Frejo, tetapi seorang laki-laki berkulit hitam dengan kamera tampak tersenyum ketika merekam aksi kelompok siswa tersebut.
Frejo mengatakan ia bersama Phillips berupaya meredakan situasi, menyanyikan lagu kebangsaan Gerakan India-Amerika sambil membunyikan tetabuhan seperti drum kecil.
Meskipun ia khawatir dengan memburuknya sikap kelompok massa itu, Frejo mengatakan ia tetap bernyanyi dengan damai meski dicemooh. Ia bahkan merasakan ada sesuatu yang istimewa ketika menyanyikan lagu itu berulangkali.
“Dari mengejek dan mentertawai kami, kelompok itu kemudian bernyanyi bersama kami. Saya mendengar itu tiga kali,” ujar Frejo. “Ada ruh yang seakan bergerak melalui kami, melalui tetabuhan dan perlahan-lahan merasuki sebagian siswa itu,” tambahnya.
Akhirnya kelompok itu tenang dan mereka bergerak pergi.
Melihat Siswa-siswa Teriakkan “Bangun Tembok,” Phillips Tak Kuasa Menahan Tangis
“Ketika saya berada di sana dan bernyanyi, saya mendengar mereka mengatakan bangun tembok itu, bangun tembok itu,” ujar Phillips kepada AP. Dalam video yang dipasang di Instagram itu, Phillips tampak menyeka airmatanya. “Ini tanah adat. Kita seharusnya tidak membangun tembok disini. Kami pun tidak pernah melakukannya,” tegas Phillips.
Philips mengatakan kepada suratkabar The Washington Post bahwa ketika membunyikan tetabuhan itu, ia teringat istrinya – Soshana – yang meninggal karena kanker hampir empat tahun lalu, dan ancaman yang masih dihadapi komunitas suku asli di seluruh dunia. “Saya merasa seperti ada ruh yang berbicara melalui saya,” ujarnya lirih.
Anggota DPR Sedih Melihat Siswa Tak Hormati Tetua Adat & Veteran Perang
Anggota DPR dari negara bagian North Dakota yang juga anggota Mandan-Hidatsa-Arikara Nation, Ruth Buffalo, mengatakan ia sangat sedih melihat siswa-siswa SMA itu menunjukkan rasa tidak hormat kepada seorang tetua yang juga veteran militer Amerika, pada acara yang sedianya merupakan perayaan bagi semua budaya.
“Perilaku yang ditunjukkan dalam video itu hanya potret terhadap apa yang telah dihadapi dan akan terus dihadapi warga asli,” ujar Buffalo. Ia berharap insiden ini akan mendorong diadakannya semacam pertemuan dengan para siswa, untuk mendidik mereka tentang isu-isu yang dialami penduduk asli Amerika.
Video “MAGA Youth” Picu Kemarah Luas di Dunia Maya
Video itu memicu kemarahan luas di dunia maya. Aktris dan aktivis Alyssa Milano mencuit petikan video itu “membuat saya menangis.”
“Inilah Amerika ala Trump. Ini membuat saya menangis. Apa yang kita ajarkan pada anak-anak muda ini? Mengapa hal ini OK? Bagaimana hal ini dinilai OK? Bantu saya memahaminya. Karena saat ini saya merasa jiwa saya berada di luar tubuh saya.”
Sementara aktor Chris Evans mengatakan tindakan para siswa itu “mengerikan.”
“Ini mengerikan. Ketidakpedulian. Rasa tidak hormat. Sangat memalukan. Dan sayangnya ketika hal ini tidak lagi mengejutkan, ini bukti bahwa negara kita sedang dalam siklus menciptakan babak yang lebih kelam. Penduduk asli Amerika ini menunjukkan kekuatan dan martabat yang luar biasa,’’ cuitnya.
Deb Haaland Nilai Siswa-siswa Mencontoh Perilaku Presiden Trump
Anggota DPR dari negara bagian New Mexico yang juga anggota suku Pueblo di Laguna dan ikut serta dalam unjukrasa Jumat pagi, Deb Haaland, menggunakan Twitter untuk mengecam keras apa yang disebutnya sebagai tampilan “memilukan” dan “kebencian yang terang-terangan, rasa tidak hormat dan intoleransi.”
Haaland, yang juga seorang penganut Katholik, mengatakan kepada AP bahwa ia sangat sedih melihat siswa-siswa itu mengejek seorang tetua yang sangat dihormati dalam budaya penduduk asli Amerika. Ia menyalahkan Presiden Donald Trump yang menggunakan nama-nama Indian seperti “Pocahontas” sebagai penghinaan.
“Sangat menyedihkan bahwa kita memiliki seorang presiden yang menggunakan nama-nama tokoh perempuan, penduduk asli Amerika, sebagai ejekan rasial, dan melihat fakta bahwa mereka mengunakan topi “Make America Great Again” maka itu merupakan contoh jelas yang diikuti siswa-siswa ini, ujar Haaland. “Ia (Trump.red) membuat orang-orang menunjukkan sikap terburuk mereka.” (em)