Direktur Riset bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto atau yang akrab dipanggil Akbar memprediksi utang Indonesia akan semakin melebar di pemerintahan yang baru di bawah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Beberapa faktor penyebabnya adalah lambatnya pertumbuhan penerimaan pajak yang mencerminkan normalisasi harga komoditas dan pelemahan aktivitas ekonomi.
Berdasarkan data dari CORE Indonesia, pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPNDN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan yang berkontribusi 42,1 persen terhadap penerimaan negara malah mengalami kontraksi signifikan masing-masing sebesar 9,1 persen dan 35,7 persen.
BACA JUGA: Program Makan Gratis Prabowo Buat Investor Khawatirkan Stabilitas Keuangan RISementara itu belanja pemerintah secara agregat meningkat sebesar 17 persen dengan pertumbuhan tinggi seperti belanja barang 25 persen, belanja modal 18,5 persen, dan belanja pegawai 16,6 persen.
“Sebagai konsekuensi dari defisit belanja pemerintah tentu saja adalah pelebaran utang. Ketika mengalami defisit, maka pendanaan untuk belanja-belanja pemerintah sebagian besar itu dari utang,” kata Akbar dalam diskusi daring bertajuk Mitigasi Risiko Ekonomi Jelang Pemerintahan Baru, Selasa (23/7).
Utang Pemerintah Indonesia per 31 Mei 2024 mencapai Rp8.353 triliun atau setara dengan 300 persen dari realisasi pendapatan negara pada 2023.
Akbar mengatakan utang pemerintah masuk dalam kategori tidak aman lantaran angka itu jauh melampaui rekomendasi dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
“Jadi kalau dilihat dari indikator-indikator itu kita sudah tidak aman sebenarnya. Posisi utang pemerintah terhadap pendapatan cenderung tidak aman karena melebihi batas yang ditetapkan oleh IMF misalnya dalam range 90-150 persen. Nah, kita sudah sampai 300 persen,” ujarnya.
BACA JUGA: AS Hapus Utang $35 Juta untuk Perbaiki Terumbu Karang IndonesiaAkbar pun menilai pertumbuhan utang yang tidak terkendali berpotensi mempersempit ruang fiskal dan membebani pemerintahan mendatang. Apalagi pemerintahan yang baru akan dihadapkan dengan utang jatuh tempo yang mencapai 800 triliun rupiah pada 2025-2027.
“Itu adalah situasi 2025-2027 di mana profil jatuh tempo utang pemerintah sangat tinggi. Utang pemerintah berbeda-beda jangka waktunya. Ada utang pemerintah yang sifatnya jangka panjang dan pendek. Tapi kombinasi itu semua perlu diperhatikan karena akan meningkat cukup besar pada tiga tahun ke depan,” jelas Akbar.
Akbar menyarankan agar pemerintah segera melakukan mitigasi risiko fiskal menjelang rezim yang baru seperti pengendalian belanja, peningkatan penerimaan negara, hingga pembiayaan dan pengelolaan utang.
“Pentingnya kita untuk mengendalikan defisit dan utang. Kalau tidak hati-hati maka akan menjadi beban pemerintah yang serius di masa depan, baik untuk membayar pokoknya maupun bunga dari utang,” tandasnya.
Sementara itu akademisi dan pengamat ekonomi dari Binus University, Moch. Doddy Ariefianto, mengatakan Indonesia tak bisa lepas dari defisit neraca berjalan bahkan sejak 2010.
Seperti diketahui, defisit neraca berjalan membuat sektor keuangan berjalan lambat sehingga pertumbuhan ekonomi sulit untuk berkembang.
“Indonesia itu mengekspor lebih kecil daripada impor (barang dan jasa) sehingga mengalami defisit neraca berjalan. Besarnya antara 2-3 persen produk domestik bruto (PDB), bisa mencapai USD20-30 miliar,” kata Doddy.
Doddy menjelaskan defisit neraca berjalan membutuhkan pendanaan. Selama ini Indonesia mendapatkan pendanaannya dari FDI (foreign direct investment/investasi asing langsung) dan FPI (foreign portfolio investment/investasi portfolio asing).
“Indonesia belum jadi destinasi investasi yang real secara solid. Untungnya, FPI itu dari segi persentase defisit neraca berjalan sudah mencapai 60-70 persen, yang penting kita bisa menjaga paritas,” pungkasnya. [aa/uh]