Hampir semua saham di Wall Street jatuh pada Senin (5/8) akibat adanya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi AS yang semakin memburuk dan memicu aksi jual di pasar keuangan di seluruh dunia.
Indeks Nasdaq Composite New York yang didominasi perusahaan teknologi anjlok lebih dari 6% pada awal perdagangan, namun mengalami penurunan kerugian menjadi 3,43% pada penutupan pasar. Indeks S&P 500 merosot 3%, sementara Dow Jones turun 2,6%.
Indeks S&P 500 dan Dow juga merosot lebih dari dua persen.
Penurunan tersebut merupakan yang terbaru dalam aksi jual global yang dimulai minggu lalu. Pada perdagangan Senin, saham Nikkei 225 Jepang anjlok sebesar 12,4 persen, yang merupakan hari terburuknya sejak krisis “Black Monday” pada tahun 1987.
Penurunan itu merupakan reaksi pertama para trader di Tokyo terhadap laporan hari Jumat (2/8) lalu, yang menunjukkan bahwa perlambatan perekrutan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat bulan lalu lebih tinggi daripada perkiraan para ekonom.
Laporan itu memperlihatkan data ekonomi Amerika Serikat terbaru yang lebih lemah dari perkiraan, dan itu semua meningkatkan kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), telah mengurangi laju pertumbuhan ekonomi Amerika secara signifikan dan dalam waktu yang terlalu lama melalui penetapan suku bunga yang tinggi, dengan harapan dapat menahan inflasi.
Para investor profesional memperingatkan bahwa beberapa faktor teknis dapat memperkuat reaksi pasar, namun penurunannya masih sangat besar. Indeks Kospi Korea Selatan merosot 8,8 persen, pasar saham di seluruh Eropa melemah lebih dari dua persen, dan bitcoin turun dari level sebelumnya, lebih dari $61.000, menjadi di bawah $55.000 pada Jumat (2/8).
Salah satu penyebab kemerosotan tersebut adalah karena para trader mulai bertanya-tanya apakah kondisinya sudah sedemikian parah sehingga The Fed harus memangkas suku bunga dalam sebuah rapat darurat, sementara keputusannya masih dijadwalkan pada 18 September mendatang.
“The Fed bisa menyelamatkan keadaan dengan memangkas suku bunga yang tinggi, tetapi keputusan untuk menurunkan suku bunga sebelum rapat resmi terkesan tidak jelas,” kata Brian Jacobsen, kepala ekonom di Annex Wealth Management. “(Keputusan) itu biasanya diambil untuk keadaan darurat, misalnya COVID, dan tingkat pengangguran sebesar 4,3 persen tidak tampak seperti keadaan darurat.”
Ekonomi AS masih terus tumbuh, dan resesi masih tidak pasti. The Fed telah memperjelas soal tantangan yang mereka hadapi dalam pengambilan keputusan mereka ketika mulai menaikkan suku bunga secara tajam pada Maret 2022: terlalu agresif akan mencekik ekonomi, tapi terlalu lunak pun akan memicu kenaikan inflasi dan merugikan semua orang.
Sementara itu, ekonom Goldman Sachs, David Mericle, melihat potensi resesi yang lebih besar dalam 12 bulan ke depan setelah terbitnya laporan ketenagakerjaan AS pada Jumat lalu. Namun, ia menilai kemungkinannya hanya 25 persen, naik dari sebelumnya sebesar 15 persen, sebagian “karena data terlihat baik-baik saja secara keseluruhan” dan ia tidak “melihat adanya ketidakseimbangan finansial yang besar.” [br/jm]