Beberapa ekonom memprediksi ekonomi Indonesia pada tahun 2021 bakal mengalami krisis. Ada beberapa faktor yang memengaruhinya, seperti besarnya akumulasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rapuhnya ketahanan fiskal, hingga daya beli masyarakat yang rendah. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap optimis seiring dimulainya program vaksinasi massal dan upaya mencegah meluasnya perebakan Covid-19.
Ekonom senior, Rizal Ramli memprediksi pada 2021 ekonomi Indonesia akan mengalami krisis yang jauh lebih serius dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu dikatakannya dalam sarasehan secara daring bertema “National Economic Outlook 2021”, Kamis (14/1).
“Pemerintah memang menjanjikan angin surga, tahun 2021 ini (ekonomi) akan balik lagi ke 5,5 persen. Mohon maaf, janji surga itu tidak ada basisnya, sebelum Covid-19 (pandemi) tumbuhnya saja cuma 5,1 persen. Ini Covid-19 masih banyak kok bisa tumbuh 5,5 persen,” katanya.
Menurut mantan Menko Perekonomian di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini, terpuruknya ekonomi Indonesia di tahun 2021 karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan lantaran pandemi Covid-19 sehingga membuat daya beli hancur. Lalu, makin banyaknya utang pemerintah juga menjadi penyebab ekonomi Indonesia di 2021 bakal terpuruk.
“Tapi yang paling penting adalah likuiditas yang ada di masyarakat disedot karena pemerintah berutang sudah terlalu banyak sehingga keseimbangan primer negatif selama enam tahun makin besar. Artinya apa? Hanya untuk membayar bunga utang saja harus meminjam. Karena harus meminjam, dia harus menerbitkan surat utang negara (SUN) terus, makin lama makin besar,” ungkap Rizal.
Masih kata Rizal, hal tersebut membuat uang yang beredar di lembaga keuangan dan masyarakat tersedot hanya untuk membeli SUN.
“Itu yang menjelaskan banyak uang dan likuiditas tersedot untuk membeli SUN. Boro-boro menambahi uang yang beredar dalam ekonomi. Yang ada aja disedot kok bisa mengharapkan ekonomi dan daya beli akan bangkit. No way,” ujarnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan ekonomi Indonesia di 2021 bakal suram. Hal tersebut terjadi lantaran besarnya akumulasi defisit APBN dan rapuhnya ketahanan fiskal.
“Pendapatan negara itu turun terus dan rasio beban bunga malah naik. Defisit meningkat tajam. Akhirnya rasio utang meningkat tajam,” katanya.
Lanjutnya, permasalahan ekonomi bisa menjadi sangat serius lantaran keuangan Indonesia masih terjebak di suku bunga acuan dan kredit yang tinggi. “Dan likuiditas yang diperlukan Bank Indonesia malah diminta untuk membeli SUN di pasar primer,” ungkap Anthony.
Sementara, pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai pemerintah begitu gagap dalam menerjemahkan situasi perkembangan ekonomi global di saat pandemi Covid-19."
Your browser doesn’t support HTML5
"Pemerintah tidak dapat membuat suatu kebijakan yang memberikan satu kepastian bagi jalannya ekonomi di saat pandemi Covid-19. Ini membawa akibat kepada semakin buruknya tata kelola keuangan negara dan BUMN karena sebelum Covid-19 (pandemi) kita sudah lihat bagaimana ambisiusnya pemerintah dalam menjalankan mega proyek infrastruktur dan itu membebani keuangan negara. Sehingga Covid-19 datang banyak sekali BUMN yang menjadi korban akibat ekonomi dan tata kelola keuangan negara yang sangat kacau,” ucapnya.
Covid-19 Terkendali, Menkeu Optimis Ekonomi Membaik
Dalam suatu webinar lain pada minggu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap optimis pertumbuhan ekonomi tahun ini akan positif. Ia memproyeksikan pertumbuhan pada bulan Maret-April akan mencapai 4,5 – 5,5 persen, begitu pula pada Mei-Juni.
Namun ia mengakui bahwa hal ini masih sangat bergantung pada perkembangan Covid-19 dan proses vaksinasi. Jika perebakan bisa ditekan dan vaksinasi berhasil menciptakan kekebalan berkelompok atau herd immunity maka akan berdampak positif pada ekonomi.
“Tentu saja jika kita lihat seperti yang terjadi pada April-Mei 2020 waktu terjadi PSBB sangat ketat, ekonomi menurun. Juga waktu September 2020, DKI Jakarta pengetatan saat kasus naik, kita juga lihat konsumsi melambat,” ujarnya dalam konferensi pers APBN 2021.
Ia memaklumi hal ini karena kebijakan PSBB memang perlu diambil untuk mengelola perebakan Covid-19. “Konsekuensinya ke pertumbuhan ekonomi kita lihat nanti. Kuartal pertama 2021 ini baru bisa kita lihat dalam perkembangan dua minggu ke depan, mulai 11 Januari nanti,” ujarnya.
Ia mendorong masyarakat untuk disiplin mematuhi protokol kesehatan sehingga virus corona bisa dikendalikan, perebakan berkurang dan aktivitas masyarakat pulih kembali.
“Kita ini sudah lebih dari 10-12 bulan, hampir setahun. Kita mungkin agak lena, lelah; tapi tidak boleh lena dan lelah. Kita harus berusaha menjaga dan memperingatkan satu sama lain sehingga Covid-19 terkendali dan dampak ekonomi tidak terlalu dalam,” tegasnya. [aa/em]