Masyarakat pedesaan di Suriah menanam lebih banyak hasil panen untuk konsumsi sendiri dan sebagai alat pertukaran barang.
Selama enam bulan terakhir, istri dan anak-anak perempuan petani Hisham al-Zeir bangun saat udara masih dingin sebelum matahari terbit setiap hari, untuk membuat roti tradisional tanoor dalam tungku tanah liat berumur satu abad, di rumah mereka di provinsi Idlib di Suriah yang kaya hasil tani.
Daripada menjual seluruh hasil panen gandumnya pada pemerintah daerah seperti yang biasa dilakukannya, Zeir memutuskan untuk menyimpan hampir sepertiganya untuk memastikan istri dan keenam anaknya memiliki cukup makanan untuk bertahan di tengah konflik yang menyebar di negara tersebut.
“Saya menyimpan hasil panen sebagian untuk dimakan sampai Allah meringankan beban umatnya dan keadaan lebih jelas,” ujar Zeir di tanah pertaniannya yang sederhana di pinggiran kota Al Dana di Ildib, daerah perbukitan yang ditanami pohon zaitun yang menyuplai sebagian besar persediaan buah di Suriah.
Zeir adalah salah satu dari banyak petani Suriah yang telah menyesuaikan produksi selama krisis untuk menanam lebih banyak hasil panen untuk konsumsi sendiri dan sebagai alat pertukaran barang.
Delapan puluh persen masyarakat di Idlib tinggal di wilayah pedesaan, dibandingkan dengan 40 persen penduduk Suria yang berjumlah 20 juta. Warga miskin di perdesaan merupakan pendukung besar pemberontakan yang berjalan selama 17 bulan melawan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, dan wilayah-wilayah mereka menanggung beban pertempuran tentara pemerintah untuk menumpas pemberontak, yang paling tidak telah menewaskan 18.000 orang.
Meski ekonomi Suriah hancur karena konflik, dan sebagian besar produksi industri negara tersebut terpukul, ekonomi di daerah pedesaan paling tidak terpengaruh oleh kekacauan tersebut.
“Ekonomi di wilayah pedesaan pada banyak kasus memungkinkan warga untuk memproduksi makanannya sendiri. Kemampuan orang-orang untuk hidup dari tanahnya telah membantu di saat krisis seperti ini, tidak seperti masyarakat di perkotaan,” ujar Samir Seifan, ekonom Suriah yang terkenal.
Dalam periode konflik seperti sekarang ini, usaha masyarakat pedesaan telah memanfaatkan tanah untuk menanam biji-bijian, zaitun dan kapas. Krisis kali ini membalikkan eksodus satu dekade ke kota-kota seperti Damaskus dan Aleppo, yang mempertajam jurang kekayaan, karena banyak yang kabur menghindari kekerasan di kota-kota dan kembali ke desa. Namun konflik tidak pernah pergi.
“Ledakan mortir telah mematikan dua biri-biri saya dan menghancurkan halaman kami,” ujar Omar al-Natour, sehari setelah ledakan granat tentara mengenai rumahnya di kota Al-Sahara, Idlib.
Natour, 45, ayah enam orang anak, tidak lagi dapat bekerja di pabrik semen milik pemerintah karena letaknya ada di daerah tempat tentara menembaki tempat persembunyian pemberontak. Akhirnya ia mencari penghasilan dari beternak.
Bantuan Makanan
Produksi makanan meningkat di Suriah pada tahun-tahun terakhir meski ada fluktuasi hasil panen yang tajam dan musim kering. Hal ini membantu diversifikasi ekonomi, dan dalam konflik saat ini, mencegah kekurangan makanan secara signifikan di daerah pedesaan sejauh ini, menurut warga dan para ekonom di Damaskus.
Hal tersebut berkontradiksi dengan perkiraan badan pangan PBB, FAO dan WFP, bahwa bulan ini ada 1,5 juta orang di Suriah yang memerlukan bantuan makanan segera dan satu dari tiga warga pedesaan memerlukan pertolongan.
Di seluruh negeri, produksi pertanian, yang secara resmi mencapai 20 persen produk domestik bruto Suriah, terus berjalan, meski ada kekurangan tenaga buruh musiman yang bekerja selama masa panen.
Situasi ini mengamankan persediaan yang cukup untuk sayuran, seperti tomat dan ketimun, makanan pokok Suriah, dan biji-bijian, meski biaya bahan bakar traktor yang tinggi dan kurangnya pupuk telah mereduksi jumlah tanah yang dapat ditanami.
Banyak toko dan penjual kelontong yang tetap buka di kota dan desa di Idlib dan di pedesaan sekitar Aleppo, namun sebagian besar penganan, makanan ringan dan jus teronggok berdebu di rak dan telah melewati masa kadaluarsa.
Banyak pemilik toko mengatakan mereka tidak memperbarui stok selama lebih dari setahun.
“Orang-orang bertahan dengan [persediaan makanan] minimum. Jangan lupa, beberapa orang hampir tidak bertahan,” ujar Farouq al-Masous, pemilik toko kelontong dari Hazanoh, daerah yang dikenal sebagai penghasil zaitun.
Sementara pertempuran di Suriah tidak memiliki tanda akan berakhir, populasi di beberapa wilayah pedesaan di Idlib melonjak, termasuk Darat Azah dan Al Dana, karena selamat dari kerusakan luas seperti yang terjadi di Taftanaz dan Atareb, di mana banyak rumah yang hancur karena tembakan tank.
Di daerah pedesaan Suriah, kelompok pedagang baru telah muncul, menyediakan makanan untuk komunitas-komunitas yang terisolasi.
“Warga pedesaan tidak bisa mendapatkan barang dari kota sehingga bergantung pada para pedagang baru yang membeli langsung dari petani dan menjualnya di desa-desa lokal,” ujar Saleh al-Shawaf, mantan tukang listrik. Ia sekarang bekerja sebagai pedagang sayur, dan seringkali harus menghindari pos pemeriksaan tentara untuk pergi ke pasar-pasar yang lebih besar di Aleppo untuk membeli barang yang dapat dijual di desa.
Warga kota telah mengurangi konsumsi makanan lebih banyak dari warga desa, ujar Taher al-Guraibi, mantan kontraktor perumahan yang telah kembali ke kampung halaman keluarganya di daerah pedesaan bernama Binish, setelah kabur dari Aleppo.
“Kami biasanya makan buah setiap hari, namun sekarang dua hari sekali. Konsumsi barang secara umum telah menurun. Jika Anda biasa membeli sekilo daging setiap minggu, sekarang hanya bisa setengah kilogram,” ujarnya, menggambarkan kehidupan di Aleppo.
Harga Lebih Tinggi
Masyarakat telah mengeluh harga-harga yang meningkat di pasaran, bukan kurangnya suplai, ujar para pedagang. Di al-Qah, beberapa toko pakaian buka namun hanya sedikit pelanggan yang datang selama libur Idul Fitri.
Dalam beberapa hal, ekonomi Suriah yang sangat diregulasi – dengan subsidi pemerintah biaya tinggi yang membuat tarif listrik rendah dan adanya restriksi impor – telah membantu mengontrol inflasi dan memotong penurunan standar hidup lebih lanjut dari komunitas petani. Ekonom independen mengatakan bahwa inflasi tidak melebihi 30 persen meski adanya krisis.
“Jumlah makanan menurun namun tidak ada kekurangan makanan di Suriah. Ada orang-orang yang menyediakan makanan. Seperti yang Anda ketahui, dalam setiap krisis, selalu ada yang mendulang keuntungan,” ujar pejabat pemerintah Suriah senior yang bekerja di kantor pengadaan gandum.
Meski kondisi hidup menurun, pihak berwenang terus membayar gaji dan pensiun puluhan ribu warga sipil di daerah-daerah yang tidak lagi ada di bawah kontrol negara, dan mereka enggan memutus persediaan listrik dan air di kota-kota yang dikuasai pemberontak, ujar warga.
Toko roti milik pemerintah terus buka bahkan di daerah pemberontak dan pejabat pemerintah mengatakan tidak ada desa di Suriah yang kekurangan roti.
Di sebuah toko roti milik swasta dekat kota pemberontak Sahara, pembuat roti Abu Adnan dikelilingi puluhan laki-laki dan perempuan yang berdesak-desakan untuk mendapat roti yang baru tiba dari toko roti di kota terdekat yang sekarang melayani beberapa desa.
“Demi Tuhan, setiap orang hanya mendapat satu roti,” teriak Adnan.
Meski antrian panjang, harga roti tidak naik, dijual dengan harga subsidi sebesar 15 pound. Dalam perjanjian diam-diam dengan pemerintah, kelompok pemberontak tidak berusaha mengontrol 36 lumbung gandum milik negara di seluruh negeri yang tetap dikuasai pemerintah.
“Tidak ada yang tertarik, baik tentara pemerintah maupun oposisi. Pada akhirnya, semua orang ingin makan roti,” ujar seorang pejabat pemerintah di Damaskus. (Reuters/Suleiman Al-Khalidi)
Daripada menjual seluruh hasil panen gandumnya pada pemerintah daerah seperti yang biasa dilakukannya, Zeir memutuskan untuk menyimpan hampir sepertiganya untuk memastikan istri dan keenam anaknya memiliki cukup makanan untuk bertahan di tengah konflik yang menyebar di negara tersebut.
“Saya menyimpan hasil panen sebagian untuk dimakan sampai Allah meringankan beban umatnya dan keadaan lebih jelas,” ujar Zeir di tanah pertaniannya yang sederhana di pinggiran kota Al Dana di Ildib, daerah perbukitan yang ditanami pohon zaitun yang menyuplai sebagian besar persediaan buah di Suriah.
Zeir adalah salah satu dari banyak petani Suriah yang telah menyesuaikan produksi selama krisis untuk menanam lebih banyak hasil panen untuk konsumsi sendiri dan sebagai alat pertukaran barang.
Delapan puluh persen masyarakat di Idlib tinggal di wilayah pedesaan, dibandingkan dengan 40 persen penduduk Suria yang berjumlah 20 juta. Warga miskin di perdesaan merupakan pendukung besar pemberontakan yang berjalan selama 17 bulan melawan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, dan wilayah-wilayah mereka menanggung beban pertempuran tentara pemerintah untuk menumpas pemberontak, yang paling tidak telah menewaskan 18.000 orang.
Meski ekonomi Suriah hancur karena konflik, dan sebagian besar produksi industri negara tersebut terpukul, ekonomi di daerah pedesaan paling tidak terpengaruh oleh kekacauan tersebut.
“Ekonomi di wilayah pedesaan pada banyak kasus memungkinkan warga untuk memproduksi makanannya sendiri. Kemampuan orang-orang untuk hidup dari tanahnya telah membantu di saat krisis seperti ini, tidak seperti masyarakat di perkotaan,” ujar Samir Seifan, ekonom Suriah yang terkenal.
Dalam periode konflik seperti sekarang ini, usaha masyarakat pedesaan telah memanfaatkan tanah untuk menanam biji-bijian, zaitun dan kapas. Krisis kali ini membalikkan eksodus satu dekade ke kota-kota seperti Damaskus dan Aleppo, yang mempertajam jurang kekayaan, karena banyak yang kabur menghindari kekerasan di kota-kota dan kembali ke desa. Namun konflik tidak pernah pergi.
“Ledakan mortir telah mematikan dua biri-biri saya dan menghancurkan halaman kami,” ujar Omar al-Natour, sehari setelah ledakan granat tentara mengenai rumahnya di kota Al-Sahara, Idlib.
Natour, 45, ayah enam orang anak, tidak lagi dapat bekerja di pabrik semen milik pemerintah karena letaknya ada di daerah tempat tentara menembaki tempat persembunyian pemberontak. Akhirnya ia mencari penghasilan dari beternak.
Bantuan Makanan
Produksi makanan meningkat di Suriah pada tahun-tahun terakhir meski ada fluktuasi hasil panen yang tajam dan musim kering. Hal ini membantu diversifikasi ekonomi, dan dalam konflik saat ini, mencegah kekurangan makanan secara signifikan di daerah pedesaan sejauh ini, menurut warga dan para ekonom di Damaskus.
Hal tersebut berkontradiksi dengan perkiraan badan pangan PBB, FAO dan WFP, bahwa bulan ini ada 1,5 juta orang di Suriah yang memerlukan bantuan makanan segera dan satu dari tiga warga pedesaan memerlukan pertolongan.
Di seluruh negeri, produksi pertanian, yang secara resmi mencapai 20 persen produk domestik bruto Suriah, terus berjalan, meski ada kekurangan tenaga buruh musiman yang bekerja selama masa panen.
Situasi ini mengamankan persediaan yang cukup untuk sayuran, seperti tomat dan ketimun, makanan pokok Suriah, dan biji-bijian, meski biaya bahan bakar traktor yang tinggi dan kurangnya pupuk telah mereduksi jumlah tanah yang dapat ditanami.
Banyak toko dan penjual kelontong yang tetap buka di kota dan desa di Idlib dan di pedesaan sekitar Aleppo, namun sebagian besar penganan, makanan ringan dan jus teronggok berdebu di rak dan telah melewati masa kadaluarsa.
Banyak pemilik toko mengatakan mereka tidak memperbarui stok selama lebih dari setahun.
“Orang-orang bertahan dengan [persediaan makanan] minimum. Jangan lupa, beberapa orang hampir tidak bertahan,” ujar Farouq al-Masous, pemilik toko kelontong dari Hazanoh, daerah yang dikenal sebagai penghasil zaitun.
Sementara pertempuran di Suriah tidak memiliki tanda akan berakhir, populasi di beberapa wilayah pedesaan di Idlib melonjak, termasuk Darat Azah dan Al Dana, karena selamat dari kerusakan luas seperti yang terjadi di Taftanaz dan Atareb, di mana banyak rumah yang hancur karena tembakan tank.
Di daerah pedesaan Suriah, kelompok pedagang baru telah muncul, menyediakan makanan untuk komunitas-komunitas yang terisolasi.
“Warga pedesaan tidak bisa mendapatkan barang dari kota sehingga bergantung pada para pedagang baru yang membeli langsung dari petani dan menjualnya di desa-desa lokal,” ujar Saleh al-Shawaf, mantan tukang listrik. Ia sekarang bekerja sebagai pedagang sayur, dan seringkali harus menghindari pos pemeriksaan tentara untuk pergi ke pasar-pasar yang lebih besar di Aleppo untuk membeli barang yang dapat dijual di desa.
Warga kota telah mengurangi konsumsi makanan lebih banyak dari warga desa, ujar Taher al-Guraibi, mantan kontraktor perumahan yang telah kembali ke kampung halaman keluarganya di daerah pedesaan bernama Binish, setelah kabur dari Aleppo.
“Kami biasanya makan buah setiap hari, namun sekarang dua hari sekali. Konsumsi barang secara umum telah menurun. Jika Anda biasa membeli sekilo daging setiap minggu, sekarang hanya bisa setengah kilogram,” ujarnya, menggambarkan kehidupan di Aleppo.
Harga Lebih Tinggi
Masyarakat telah mengeluh harga-harga yang meningkat di pasaran, bukan kurangnya suplai, ujar para pedagang. Di al-Qah, beberapa toko pakaian buka namun hanya sedikit pelanggan yang datang selama libur Idul Fitri.
Dalam beberapa hal, ekonomi Suriah yang sangat diregulasi – dengan subsidi pemerintah biaya tinggi yang membuat tarif listrik rendah dan adanya restriksi impor – telah membantu mengontrol inflasi dan memotong penurunan standar hidup lebih lanjut dari komunitas petani. Ekonom independen mengatakan bahwa inflasi tidak melebihi 30 persen meski adanya krisis.
“Jumlah makanan menurun namun tidak ada kekurangan makanan di Suriah. Ada orang-orang yang menyediakan makanan. Seperti yang Anda ketahui, dalam setiap krisis, selalu ada yang mendulang keuntungan,” ujar pejabat pemerintah Suriah senior yang bekerja di kantor pengadaan gandum.
Meski kondisi hidup menurun, pihak berwenang terus membayar gaji dan pensiun puluhan ribu warga sipil di daerah-daerah yang tidak lagi ada di bawah kontrol negara, dan mereka enggan memutus persediaan listrik dan air di kota-kota yang dikuasai pemberontak, ujar warga.
Toko roti milik pemerintah terus buka bahkan di daerah pemberontak dan pejabat pemerintah mengatakan tidak ada desa di Suriah yang kekurangan roti.
Di sebuah toko roti milik swasta dekat kota pemberontak Sahara, pembuat roti Abu Adnan dikelilingi puluhan laki-laki dan perempuan yang berdesak-desakan untuk mendapat roti yang baru tiba dari toko roti di kota terdekat yang sekarang melayani beberapa desa.
“Demi Tuhan, setiap orang hanya mendapat satu roti,” teriak Adnan.
Meski antrian panjang, harga roti tidak naik, dijual dengan harga subsidi sebesar 15 pound. Dalam perjanjian diam-diam dengan pemerintah, kelompok pemberontak tidak berusaha mengontrol 36 lumbung gandum milik negara di seluruh negeri yang tetap dikuasai pemerintah.
“Tidak ada yang tertarik, baik tentara pemerintah maupun oposisi. Pada akhirnya, semua orang ingin makan roti,” ujar seorang pejabat pemerintah di Damaskus. (Reuters/Suleiman Al-Khalidi)