Organisasi lingkungan 'Greenpeace' mengatakan eksplorasi batubara di Kalimantan merupakan sumber suplai emisi gas karbon terbesar di Indonesia.
JAKARTA —
Laporan terbaru dari lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, Greenpeace, berjudul “Point of No Return” (Tiada Titik Balik) menyebut dunia saat ini tidak memiliki pilihan lain kecuali segera mengganti penggunaan sumber energi fosil seperti batubara, minyak dan gas dengan energi terbarukan atau menghadapi masa depan yang amat kacau akibat perubahan iklim.
Laporan yang dirilis serentak pekan ini menyoroti 14 proyek besar energi kotor dan intensif karbon yang meliputi eksplorasi batubara, minyak dan gas di sejumlah negara di dunia. Keberadaan 14 proyek besar tersebut, menurut Greenpeace, mengancam kelangsungan Bumi karena akan menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 6 gigaton per tahun pada 2020.
Padahal menurut perhitungan Badan Energi Internasional (IEA), dengan komitmen pengurangan emisi oleh negara-negara di dunia saja, emisi karbon dunia pada 2020 sudah cukup tinggi mencapai 31,6 gigaton. Karenanya ke-14 proyek itu dipastikan akan memicu bencana pemanasan global yang lebih buruk.
Satu dari ke-14 proyek yang disoroti itu ada di Indonesia, yaitu proyek eksplorasi besar-besaran batubara di Kalimantan. Kalimantan saat ini memasok lebih dari 90 persen produksi batubara nasional.
Greenpeace menyebut eksplorasi batubara yang dilakukan oleh perusahaan tambang batubara di Kalimantan terutama Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, menjadi sumber suplai emisi gas karbon terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace eksplorasi batu bara masif di Kalimantan dengan sendirinya mengancam komitmen pengurangan emisi karbon Indonesia.
“Jadi ekspansi batubara ini di Kalimantan ini jelas sangat kontradiktif dengan komitmen-komitmen yang pernah disampaikan pemerintah misalnya komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, atau 41 persen jika ada dukungan internasional,” ujar Arif.
“Nah dengan ekspansi Batubara pertambangan batubara yang luar biasa di Kalimantan ini mustahil bisa tercapai. Alih-alih tercapai malah emisi gas rumah kaca dari Indonesia malah meningkat.”
Greenpeace meminta pemerintah untuk menghentikan penerbitan ijin eksplorasi tambang batubara di tanah air terutama di pulau Kalimantan.
Pemerintah juga diminta menghentikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil batubara dan mengalihkannya ke sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Jika tidak, maka pemerintah sama saja dengan mengesampingkan seluruh upaya pencegahan dampak perubahan iklim yang sudah dan tengah dilakukan selama ini, ujar Arif.
“Kita mendesak pemerintah Indonesia agar bisa mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil batubara ini karena bukan hanya dampak batubara yang luar biasa merusak lingkungan tetapi juga manusia,” ujar Arif.
Sementara itu, ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rahmat Witoelar, mengatakan penggunaan batubara memang harus dikurangi, namun sejauh ini pengembangan industri batubara di dalam negeri masih dalam tahap wajar.
Dewan Nasional Perubahan Iklim juga optimistis Indonesia tetap akan mampu mencapai target komitmen pengurangan emisi karbon pada 2020, ujar Rahmat.
“Saya setuju kita mesti mengurangi penggunaan batubara itu. Yang paling utama itu bukan industri batubara tetapi pembakaran hutan dan alih fungsi lahan, itu adalah kurang lebih 64 persen itu yang harus dikurangi,” ujar Rahmat.
Terkait dampak perubahan iklim global, forum ekonomi dunia dalam laporan terakhirnya menyebut saat ini suhu global telah meningkat sebesar 3,6 derajat sampai 4 derajat Celsius, bahkan berpotensi terus naik hingga 6 derajat. Peningkatan ini melampaui janji pemerintah diseluruh dunia untuk menjaga pemanasan global di bawah kenaikan 2 derajat.
Laporan yang dirilis serentak pekan ini menyoroti 14 proyek besar energi kotor dan intensif karbon yang meliputi eksplorasi batubara, minyak dan gas di sejumlah negara di dunia. Keberadaan 14 proyek besar tersebut, menurut Greenpeace, mengancam kelangsungan Bumi karena akan menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 6 gigaton per tahun pada 2020.
Padahal menurut perhitungan Badan Energi Internasional (IEA), dengan komitmen pengurangan emisi oleh negara-negara di dunia saja, emisi karbon dunia pada 2020 sudah cukup tinggi mencapai 31,6 gigaton. Karenanya ke-14 proyek itu dipastikan akan memicu bencana pemanasan global yang lebih buruk.
Satu dari ke-14 proyek yang disoroti itu ada di Indonesia, yaitu proyek eksplorasi besar-besaran batubara di Kalimantan. Kalimantan saat ini memasok lebih dari 90 persen produksi batubara nasional.
Greenpeace menyebut eksplorasi batubara yang dilakukan oleh perusahaan tambang batubara di Kalimantan terutama Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, menjadi sumber suplai emisi gas karbon terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace eksplorasi batu bara masif di Kalimantan dengan sendirinya mengancam komitmen pengurangan emisi karbon Indonesia.
“Jadi ekspansi batubara ini di Kalimantan ini jelas sangat kontradiktif dengan komitmen-komitmen yang pernah disampaikan pemerintah misalnya komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, atau 41 persen jika ada dukungan internasional,” ujar Arif.
“Nah dengan ekspansi Batubara pertambangan batubara yang luar biasa di Kalimantan ini mustahil bisa tercapai. Alih-alih tercapai malah emisi gas rumah kaca dari Indonesia malah meningkat.”
Greenpeace meminta pemerintah untuk menghentikan penerbitan ijin eksplorasi tambang batubara di tanah air terutama di pulau Kalimantan.
Pemerintah juga diminta menghentikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil batubara dan mengalihkannya ke sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Jika tidak, maka pemerintah sama saja dengan mengesampingkan seluruh upaya pencegahan dampak perubahan iklim yang sudah dan tengah dilakukan selama ini, ujar Arif.
“Kita mendesak pemerintah Indonesia agar bisa mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil batubara ini karena bukan hanya dampak batubara yang luar biasa merusak lingkungan tetapi juga manusia,” ujar Arif.
Sementara itu, ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rahmat Witoelar, mengatakan penggunaan batubara memang harus dikurangi, namun sejauh ini pengembangan industri batubara di dalam negeri masih dalam tahap wajar.
Dewan Nasional Perubahan Iklim juga optimistis Indonesia tetap akan mampu mencapai target komitmen pengurangan emisi karbon pada 2020, ujar Rahmat.
“Saya setuju kita mesti mengurangi penggunaan batubara itu. Yang paling utama itu bukan industri batubara tetapi pembakaran hutan dan alih fungsi lahan, itu adalah kurang lebih 64 persen itu yang harus dikurangi,” ujar Rahmat.
Terkait dampak perubahan iklim global, forum ekonomi dunia dalam laporan terakhirnya menyebut saat ini suhu global telah meningkat sebesar 3,6 derajat sampai 4 derajat Celsius, bahkan berpotensi terus naik hingga 6 derajat. Peningkatan ini melampaui janji pemerintah diseluruh dunia untuk menjaga pemanasan global di bawah kenaikan 2 derajat.