Empat ledakan bom mobil menggetarkan beberapa bagian Irak hari Jumat (8/2), menewaskan paling sedikit 26 orang.
Peningkatan baru-baru ini dalam pemboman mobil dan ledakan mencerminkan bertambahnya ketegangan Sunni-Syiah yang menurut sebagian analis adalah karena memburuknya konflik di Suriah.
Para pekerja menyapu pecahan kaca dan puing-puing lainnya setelah sebuah bom mobil memporak-porandakan pasar loak yang menjual burung dan hewan di sebuah distrik Syiah di Baghdad. Satu lagi ledakan bom mobil di ibukota itu dan dua di Hilla, kota Syiah, menewaskan lebih dari dua puluh orang.
Ini adalah keempat kalinya dalam waktu kurang lebih tiga minggu ledakan dahsyat menghantam sasaran-sasaran pro pemerintah atau Syiah di negara itu. Pemboman itu terjadi sementara ketegangan sektarian meningkat antara pihak Sunni yang beroposisi dan Perdana Menteri Nouri al-Maliki, seorang Syiah.
Di kota utara Mosul, ribuan demonstran Sunni meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah, sementara para pemimpin keagamaan mengimbau Maliki untuk memenuhi tuntutan mereka.
Seorang syeik Sunni berpidato di depan massa itu mengatakan kaum Sunni mempunyai hak-hak mereka dan pemerintah harus membebaskan para tahanan yang menurutnya ditangkap secara "sewenang-wenang." Dia juga menuntut agar parlemen dibubarkan dan peraturan anti-partai Ba'ath dicabut.
Ketegangan di Irak kini meningkat, antara lain karena pemilu-pemilu tingkat provinsi yang akan dilaksanakan pada bulan April. Banyak pemimpin Sunni mengeluh bahwa Maliki "berperilaku seperti seorang diktator" dan "menolak untuk berbagi wewenang."
Berminggu-minggu protes anti-pemerintah dan demonstrasi terjadi di sebagian besar kota-kota Sunni, yaitu Fallujah, Ramadi, Samarra, Mosul dan Baquba.
Analis Timur Tengah James Denselow dari King’s College London memberitahu VOA bahwa ia melihat beberapa katalisator atas peningkatan kekerasan sektarian baru-baru ini di Irak.
"Pertama umumnya adalah tidak adanya rekonsiliasi dan keharmonisan sektarian di Irak yang menyebabkan konflik abadi berdasarkan garis sektarian, dan merebaknya kekerasan di seluruh pelosok Irak dalam berbagai waktu yang berbeda-beda sepanjang tahun.Isu kedua adalah pergolakan reformasi di dunia Arab (Arab Spring) yang agak terlambat sampai di Irak, dengan caranya yang tersendiri, dengan berbagai demonstrasi besar di bagian barat negara itu. Dan yang ketiga adalah konflik Suriah, seperti dikatakan Kofi Annan tahun lalu, bahwa Suriah, berbeda dengan Libya, tidak akan berkobar di dalam negeri saja melainkan kemungkinan berkobar ke luar negara itu dan mempunyai konsekuensi regional,” papar James Denselow.
Kekerasan telah berkurang dari puncak pergolakan yang menewaskan puluhan ribu orang pada tahun 2006-2007, tetapi pemberontak terus melancarkan setidaknya satu serangan yang tinggi jumlah korbannya setiap bulan sejak penarikan mundur tentara Amerika pada Desember 2011.
Para pekerja menyapu pecahan kaca dan puing-puing lainnya setelah sebuah bom mobil memporak-porandakan pasar loak yang menjual burung dan hewan di sebuah distrik Syiah di Baghdad. Satu lagi ledakan bom mobil di ibukota itu dan dua di Hilla, kota Syiah, menewaskan lebih dari dua puluh orang.
Ini adalah keempat kalinya dalam waktu kurang lebih tiga minggu ledakan dahsyat menghantam sasaran-sasaran pro pemerintah atau Syiah di negara itu. Pemboman itu terjadi sementara ketegangan sektarian meningkat antara pihak Sunni yang beroposisi dan Perdana Menteri Nouri al-Maliki, seorang Syiah.
Di kota utara Mosul, ribuan demonstran Sunni meneriakkan slogan-slogan anti pemerintah, sementara para pemimpin keagamaan mengimbau Maliki untuk memenuhi tuntutan mereka.
Seorang syeik Sunni berpidato di depan massa itu mengatakan kaum Sunni mempunyai hak-hak mereka dan pemerintah harus membebaskan para tahanan yang menurutnya ditangkap secara "sewenang-wenang." Dia juga menuntut agar parlemen dibubarkan dan peraturan anti-partai Ba'ath dicabut.
Ketegangan di Irak kini meningkat, antara lain karena pemilu-pemilu tingkat provinsi yang akan dilaksanakan pada bulan April. Banyak pemimpin Sunni mengeluh bahwa Maliki "berperilaku seperti seorang diktator" dan "menolak untuk berbagi wewenang."
Berminggu-minggu protes anti-pemerintah dan demonstrasi terjadi di sebagian besar kota-kota Sunni, yaitu Fallujah, Ramadi, Samarra, Mosul dan Baquba.
Analis Timur Tengah James Denselow dari King’s College London memberitahu VOA bahwa ia melihat beberapa katalisator atas peningkatan kekerasan sektarian baru-baru ini di Irak.
"Pertama umumnya adalah tidak adanya rekonsiliasi dan keharmonisan sektarian di Irak yang menyebabkan konflik abadi berdasarkan garis sektarian, dan merebaknya kekerasan di seluruh pelosok Irak dalam berbagai waktu yang berbeda-beda sepanjang tahun.Isu kedua adalah pergolakan reformasi di dunia Arab (Arab Spring) yang agak terlambat sampai di Irak, dengan caranya yang tersendiri, dengan berbagai demonstrasi besar di bagian barat negara itu. Dan yang ketiga adalah konflik Suriah, seperti dikatakan Kofi Annan tahun lalu, bahwa Suriah, berbeda dengan Libya, tidak akan berkobar di dalam negeri saja melainkan kemungkinan berkobar ke luar negara itu dan mempunyai konsekuensi regional,” papar James Denselow.
Kekerasan telah berkurang dari puncak pergolakan yang menewaskan puluhan ribu orang pada tahun 2006-2007, tetapi pemberontak terus melancarkan setidaknya satu serangan yang tinggi jumlah korbannya setiap bulan sejak penarikan mundur tentara Amerika pada Desember 2011.