Empat mahasiswa Indonesia belum lama ini berhasil memenangkan kompetisi video “2017 UNESCO Youth Multimedia Contest” untuk kategori usia 20-24 tahun yang diselenggarakan oleh organisasi U.S. Federation of UNESCO Clubs and Association, yang mencakup bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan di bawah naungan PBB. Mereka adalah Anggi Nurqonita, Bimo Arief Wicaksana, Fitri Aulia Ikhsani, dan Irene Angela, yang semuanya adalah mahasiswa Universitas Indonesia.
Kompetisi tahunan ini diikuti oleh remaja dari 76 negara yang menyuarakan pendapat mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dunia, yang kali ini mengangkat isu mengenai pengungsi dan solusi yang diperlukan lewat penggarapan video pendek. Tiga dari 600 proyek video berhasil tepilih menang di kontes kali ini. Dari Indonesia sendiri ada tiga proyek video yang masuk. Pendaftaran dan pengiriman video dilakukan secara online melalui situs Web UNESCO.
“Memang lagi hot banget kan belakangan ini masalah pengungsi yang ditolak dimana-mana dan sebagainya. Nah, kita sendiri mengambil temanya dari satu sekolah untuk pengungsi yang ada di daerah Puncak di Cisarua. Nah kita bahas disitu, gimana caranya (memberdayakan) para refugee ini tanpa menyusahkan negaralah, istilahnya begitu, dan kebetulan menang,” papar Irene Angela kepada VOA belum lama ini.
Ide awal dari video ini bermula dari pengalaman Irene dan teman-teman menjadi relawan di Cisarua Refugee Learning Center di Cisarua, Bogor, yang kini menjadi tempat belajar anak-anak pengungsi yang berasal dari berbagai Pakistan, Afganistan, Arab Saudi dan masih banyak lagi.
“Kebetulan kita tahu soal si refugee center ini, jadi kita merasa kayak cocok banget, ‘wah ini bagus nih untuk dibawa,' apalagi dipresentasikannya ke dunia mungkin bisa diikuti juga jejaknya sama orang-orang yang lihat nanti,” kata Irene.
Mereka kemudian mengangkat cerita mengenai para pengungsi tersebut ke dalam video berdurasi kurang dari lima menit yang diberi judul “Alternative-to-Detention: Where Youth and Children Refugees Can Still Dream High.”
“Pengungsi-pengungsi anak-anak menurut kami tidak sebaiknya diberikan detention atau seperti dikekang dalam dipenjara, karena mereka anak-anak dan remaja. Seharusnya mereka bisa tetap mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Samalah seperti anak-anak yg non-refugees lainnya,” ujar Anggi Nurqonita.
Anggi bisa merasakan semangat hidup dari para pengungsi yang ia temui, walaupun telah melalui masa-masa yang berat.
“Mereka diberikan kesempatan untuk tetap hidup, untuk tetap mendapatkan pendidikan. Mereka itu sebenarnya sama saja seperti kita. Mereka bisa berkreasi, ada yg memenangkan lomba biola, memenangkan lomba matematika. Jadi ketika kita memberikan harapan kepada refugees, refugees itu pun bisa memberikan manfaat bagi sekitarnya,” tambah Anggi.
Penggarapan video ini membutuhkan waktu sekitar dua setengah bulan, dimulai dari proses pembuatan konsep, pengambilan gambar, hingga penyuntingan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Tantangannya sih mungkin harus ke sananya ya karena kan enggak dekat ke Cisaruanya. Tapi untungnya sih orang-orang sana sangat kooperatif dan mau banget disyuting gitu. Mereka ingin menyuarakan juga kalau mereka itu bikin refugee center ini,” kata Irene.
Pengalaman membuat video ini menjadi sangat berharga ketika mereka dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan para pengungsi yang memiliki beragam latar belakang.
“Mayoritas masyarakat menganggap refugees itu negatif, ternyata ketika kami berinteraksi secara langsung dengan mereka, ternyata mereka juga sama kok seperti kita,” ujar Anggi.
Para pemenang kontes ini dianugerahi piagam penghargaan di Amerika. Anggi dan Irene mewakili timnya untuk menerima penghargaan tersebut. Selain itu para pemenang mendapatkan beasiswa untuk mengikuti program kepemimpinan selama dua minggu di Hood College di Frederick, Maryland. Melalui program ini para peserta mendapatkan pelatihan dan diikutsertakan dalam sidang simulasi PBB sebagai delegasi dari Indonesia.
Untuk ke depannya mereka berencana untuk melanjutkan proyeknya yang juga fokus untuk memberikan bantuan dalam bentuk pendidikan kepada para pengungsi yang khususnya berada di Indonesia.
“Isinya sebenarnya simple banget kita menggagas apa yg dilakukan sama Cisarua (Refugee) Learning Center ke seluruh dunia, dengan melalui video kita itu salah satunya. Nanti kita inginnya sih kayak bikin website,” pungkas Irene.
Situs Web itu akan berfungsi tidak hanya sebagai penyedia bantuan bagi yang membutuhkan, namun juga bisa menerima berbagai bantuan dari berbagai pihak. [di/ra]