6.000 Migran Rohingya, Bangladesh Terdampar di Laut

  • Associated Press

Para migran yang diyakini merupakan pengungsi Rohingya beristirahat di dalam tempat penampungan setelah diselamatkan dari kapal-kapal di Lhoksukon, Aceh (11/5). (Reuters/Roni Bintang)

Diperkirakan sekitar 6.000 warga Bangladesh dan Muslim Rohingya dari Myanmar masih terperangkap dalam kapal-kapal kayu yang padat, tanpa persediaan makanan dan air bersih yang cukup.

Ratusan migran yang diabaikan di laut oleh para penyelundup di Asia Tenggara telah mencapai daratan dan relatif selamat dalam dua hari terakhir.

Namun diperkirakan sekitar 6.000 warga Bangladesh dan Muslim Rohingya dari Myanmar masih terperangkap dalam kapal-kapal kayu yang padat, menurut pihak berwenang dan aktivis. Tanpa persediaan makanan dan air bersih yang cukup, beberapa dapat menghadapi bahaya besar.

Sebuah kapal yang mencapai perairan Aceh, Senin pagi (11/5), dihentikan oleh Angkatan Laut dan diberi makanan, air dan arahan ke Malaysia.

Khawatir bahwa kapal-kapal akan mencapai daratan dengan berisikan mayat-mayat, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, Amerika Serikat dan beberapa pemerintah asing dan organisasi internasional lainnya telah mengadakan pertemuan darurat, namun para peserta mengatakan belum ada rencana segera untuk mencari kapal-kapal di Selat Malaka yang ramai.

Salah satu kekhawatirannya adalah apa yang akan dilakukan terhadap orang-orang Rohingya jika operasi penyelamatan diluncurkan. Kelompok minoritas ini tidak diberikan kewarganegaraan di Myanmar, dan negara-negara lain telah lama khawatir bahwa membuka pintu mereka pada beberapa orang akan mengakibatkan aliran migran miskin dan tak berpendidikan.

"Ini orang-orang yang putus asa," ujar Phil Robertson dari Human Rights Watch di Bangkok, yang menyerukan pada pamerintah-pemerintah untuk bersatu menolong mereka yang terdampar di laut, beberapa diantaranya selama dua bulan atau lebih.

"Waktu tidak berpihak pada mereka."

Kelompok Rohingya yang beragama Islam selama puluhan tahun menderita diskriminasi yang disetujui negara di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang menganggap mereka penduduk ilegal dari Bangladesh. Serangan terhadap Rohingya oleh preman Buddhis pada tiga tahun terakhir telah memicu salah satu eksodus terbesar orang kapal sejak Perang Vietnam.​

Chris Lewa, direktur lembaga nirlaba Proyek Arakan, yang telah memantau pergerakan orang Rohingya selama lebih dari 10 tahun, memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak telah naik kapal sejak pertengahan 2012. Sebagian besar mencoba mencapai Malaysia.

Juru bicara Angkatan Laut Indonesia, Laksamana Pertama Manahan Simorangkir mengatakan, mereka mencoba mencapai Malaysia namun tidak berhasil.

"Kami tidak berniat mencegah mereka memasuki wilayah ini, tapi karena negara tujuan mereka bukanlah Indonesia, kami meminta mereka untuk melanjutkan ke negara yang memang mereka ingin tuju," ujarnya.