Eastman School of Music (ESM) Universitas Rochester, New York adalah salah satu lembaga pendidikan musik swasta paling bergengsi di AS yang mengajarkan seni musik dari berbagai belahan dunia, termasuk gamelan Bali. Baru-baru ini seorang mahasiswa senior sekolah ini menampilkan karya akhirnya dalam bentuk gamelan gong kebyar berjudul “Entikan Gumi,” yang mendapat sambutan hangat saat dipertunjukkan di Kodak Theater, Rochester, New York.
Seperti judulnya, komposisi “Entikan Gumi” menyiratkan cuplikan bagaimana beragam tumbuhan muncul mewarnai kehidupan di bumi. Ada nuansa awal mula kehidupan, kegembiraan, keriangan, semangat, tantangan, bahkan kegigihan dalam karya musik gong kebyar berdurasi 15 menit ini. Komposernya adalah seorang mahasiswa Eastman School of Music, yang jatuh hati pada gamelan setelah setahun lebih diperkenalkan pada berbagai instrumen gamelan. Padahal ia belum pernah berkunjung ke Indonesia dan Bali.
“Sangat berarti bagi saya karena dibandingkan dengan membuat komposisi dengan alat-alat musik barat, gamelan mengandung makna spiritual dalam budaya Bali bahkan budaya Indonesia pada umumnya,” kata Zhihao Wang.
Zhihao Wang, usia 22, menekuni piano sejak usia lima tahun dan mulai menggubah musik dengan instrumen-instrumen Barat ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan untuk orkestra sekolah menengah atas. Ia kemudian meneruskan studinya di Eastman School of Music pada jurusan komposisi musik. Setelah tiga semester mempelajari alat musik tradisional Bali, ia mulai menciptakan komposisi gamelan berjudul “Kepelan.” Besarnya ketertarikan Wang membuatnya memutuskan menggunakan gamelan sebagai karya akhirnya, yang diberi nama “Entikan Gumi”.
“Proses komposisi Entikan Gumi lebih alami dan organik dibandingkan dengan saya membuat komposisi musik barat, yang setidaknya bagi saya lebih matematis tapi untuk gamelan langsung lahir dari lubuk hati saya, mengalir begitu saja, dalam bentuk notasi yang lalu saya tuangkan dalam kertas untuk dijadikan notasi,” jelas Zhihao Wang.
Ada pro dan kontra dalam penggunaan notasi untuk memainkan gamelan pada budaya tradisional Indonesia, di mana proses bermusik bersifat komunal, untuk mendengar, berkomunikasi verbal dan nonverbal satu sama lain.
Ellen Koskoff seorang etnomusikologis di Universitas Rochester dan pengarang buku "Music Cultures in the United States" menyimak komposisi “Entikan Gumi” ketika ditampikan. Ia memuji komposisinya dan penggunaan tiga konsep tradisional pada komposisi ini yaitu; bagian utama, tengah, dan akhir. Sebagai profesor jurusan musik, Ellen menjelaskan mengapa ia kukuh pada metode mengajarkan gamelan tanpa penggunaan notasi pada para mahasiswanya.
Your browser doesn’t support HTML5
“Saya ingin mereka memperoleh pengalaman yang benar-benar berbeda, anda benar akan lebih efisien, lebih mudah menuangkannya dalam notasi namun dalam pendapat saya akan menghancurkan proses belajar sebenarnya yang dihadapi mahasiswa ketika mereka menjumpai hal-hal yang sangat berbeda dan sulit lalu harus menyesuaikan diri. Jadi alasan saya mengajarkan ini adalah untuk memperkenalkan perbedaan ini," sebutnya.
Ethan (panggilan sehari-hari Zhihao Wang) memahami pro dan kontra notasi ini dan mencari jalan tengah untuk menyebarluaskan dan membagikan komposisi ciptaannya.
“Jika saya tidak mengajarkan komposisi ini di Estman, saya sudah pasti akan memberi para musisi ini notasi yang menjadi bagian mereka, hanya karena mereka tidak terbiasa belajar dengan cara yang biasanya dilakukan orang-orang Bali sebaliknya kalau saya di Bali sudah pasti mengajarkannya lebih ke cara tradisional yang saya kira akan lebih natural, umumnya untuk komposisi ini,” jelas Zhihao Wang.
Setelah menyelesaikan komposisi “Entikan Gumi” dan studi sarjananya di Eastman School of Music, Ethan mengatakan ia akan mendalami lebih jauh gamelan Bali. Ia sangat ingin segera berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali, untuk mengenal lebih jauh budaya dan unsur spiritual dalam gamelan dan tentu memainkan gamelan bersama musisi-musisi setempat tanpa notasi. [my/em]