Polusi dari industri perkapalan, minyak dan gas di Laut Arktik mempercepat pencairan es di wilayah tersebut.
Polusi lokal di Laut Arktik dari industri perkapalan dan minyak dan gas, yang telah berkembang di wilayah tersebut karena mencairnya es di laut akibat pemanasan global, dapat mempercepat pencairan tersebut, ujar para ahli.
Program PBB untuk lingkungan (UNEP) menyatakan bahwa ada kebutuhan yang mendesak untuk menghitung risiko polutan lokal seperti jelaga, atau “karbon hitam,” di Arktik. Jelaga mengeruhkan es, membuatnya menyerap lebih banyak panas matahari dan mempercepat pencairan.
Perusahaan-perusahaan seperti Shell, yang minggu ini tidak lagi melanjutkan upaya untuk mencari minyak tahun ini di Laut Chukchi karena musim dingin semakin dekat, Exxon atau Statoil mengatakan bahwa mereka menggunakan teknologi paling bersih yang tersedia.
Namun risiko-risiko bahkan sekecil apapun jumlah polusi di Samudera Arktik,
dikeluarkan dekat es dan disebarkan oleh angin, tidak pernah dievaluasi secara penuh.
“Banyak isu yang membutuhkan evaluasi yang mendesak,” ujar Nick Nuttall, juru bicara UNEP yang berbasis di Nairobi, mengacu pada masalah-masalah seperti gas yang menyala atau bahan bakar yang digunakan oleh kapal-kapal di Arktik.
“Ironinya adalah seiring pencairan es…manusia akan terus mencari sumber daya alam yang akan memicu pencairan lebih lanjut,” ujarnya. Sejumlah besar jelaga di Arktik berasal dari sumber-sumber yang jaraknya jauh, seperti kebakaran hutan atau industri.
Ukuran es di Samudera Arktik telah menciut musim panas ini ke ukuran terkecil sejak data satelit mulai merekamnya di 1970an, melebihi ukuran terkecil pada 2007.
Pencairan tersebut merupakan bagian dari kemunduran jangka panjang yang oleh panel PBB disebabkan oleh pemanasan global karena ulah manusia, akibat penggunaan bahan bakar fosil.
“Kami berusaha mendapatkan dokumentasi yang lebih baik dari risiko-risiko karena karbon hitam di Arktik,” ujar Lars-Otto Reiersen, kepala Program Pengawasan dan Evaluasi Arktik (AMAP), bagian dari Dewan Arktik.
Sebuah laporan dari AMAP tahun lalu mengatakan bahwa “peraturan produksi karbon hitam dari semua sumber, terutama yang dihasilkan secara lokal dari aktivis-aktivis di Arktik, dibutuhkan pada semua skala.”
400 Lapangan
Lebih dari 400 lapangan minyak dan gas di wilayah Arktik dikembangkan pada 2007, menutur AMAP, kebanyakan di Siberia Barat di Rusia dan di Alaska. Sebagian besar dari minyak dan gas yang belum ditemukan sekarang diperkirakan ada di laut lepas.
Jelaga merupakan masalah tambahan bagi para perencana, menambah risiko seperti ledakan minyak dan kecelakaan kapal. Organisasi PBB mengenai Maritim Internasional mencoba mengerjakan “Kode Kutub” baru yang mungkin mengetatkan semuanya, dari gas buang sampai standar lambung kapal.
Tetap saja, untuk perkapalan, penggunaan rute Arktik barangkali tidak begitu merusak terkait pemanasan global, termasuk jelaga, karena ada jalan pintas antara beberapa pelabuhan di Atlantik dan Pasifik. Artinya kapal-kapal membakar bahan bakar lebih sedikit pada rute tersebut.
“Kami sedang meneliti dampak bersih rute Arktik dibandingkan dengan Kanal Suez,” ujar Jan Fuglestvedt dari Pusat Riset Iklim dan Lingkungan Internasional di Oslo.
Pada 2009, Grup Beluga yang berbasis di Bremen berlayar dari Korea Selatan ke Rotterdam melintasi Arktik, atau mengurangi jarak 4.000 mil laut jika mengambil rute Suez. Tahun ini, misalnya, sebuah kapal pemecah es menjadi kapal pertama Tiongkok yang melintasi samudera tersebut.
Sebuah studi mengindikasikan bahwa penggunaan yang meningkat dari rute Arktik mungkin membatasi gas buang karbon dioksida untuk perkapalan global sebanyak 2,9 juta ton per tahun pada 2050, atau 0,1 persen, dibandingkan dengan Kanal Suez.
“Jika rute Arktik benar-benar terbuka saat itu, barangkali hal itu akan mengurangi emisi karbon sedikit dalam skala global,” ujar Leif Ingolf Eide, penulis penelitian tersebut dari grup pengelolaan risiko Norwegia, DnV. Penelitian tersebut tidak menganalisa jelaga, ujarnya.
Pada sebuah laporan yang dikeluarkan 2011, UNEP memperkirakan bahwa pengurangan global terhadap jelaga, metana dan ozon akan memperlambat pemanasan global sebanyak 0,5 derajat Celsius. Hal ini juga akan melindungi kesehatan manusia dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Hampir 200 negara telah setuju untuk membatasi perubahan iklim menjadi di bawah 2 derajat Celsius di atas sebelum era industri, melihatnya sebagai ambang batas perubahan berbahaya seperti lebih banyak kekeringan, banjir atau meningkatnya permukaan laut. (Reuters/Alister Doyle)
Program PBB untuk lingkungan (UNEP) menyatakan bahwa ada kebutuhan yang mendesak untuk menghitung risiko polutan lokal seperti jelaga, atau “karbon hitam,” di Arktik. Jelaga mengeruhkan es, membuatnya menyerap lebih banyak panas matahari dan mempercepat pencairan.
Perusahaan-perusahaan seperti Shell, yang minggu ini tidak lagi melanjutkan upaya untuk mencari minyak tahun ini di Laut Chukchi karena musim dingin semakin dekat, Exxon atau Statoil mengatakan bahwa mereka menggunakan teknologi paling bersih yang tersedia.
Namun risiko-risiko bahkan sekecil apapun jumlah polusi di Samudera Arktik,
dikeluarkan dekat es dan disebarkan oleh angin, tidak pernah dievaluasi secara penuh.
“Banyak isu yang membutuhkan evaluasi yang mendesak,” ujar Nick Nuttall, juru bicara UNEP yang berbasis di Nairobi, mengacu pada masalah-masalah seperti gas yang menyala atau bahan bakar yang digunakan oleh kapal-kapal di Arktik.
“Ironinya adalah seiring pencairan es…manusia akan terus mencari sumber daya alam yang akan memicu pencairan lebih lanjut,” ujarnya. Sejumlah besar jelaga di Arktik berasal dari sumber-sumber yang jaraknya jauh, seperti kebakaran hutan atau industri.
Ukuran es di Samudera Arktik telah menciut musim panas ini ke ukuran terkecil sejak data satelit mulai merekamnya di 1970an, melebihi ukuran terkecil pada 2007.
Pencairan tersebut merupakan bagian dari kemunduran jangka panjang yang oleh panel PBB disebabkan oleh pemanasan global karena ulah manusia, akibat penggunaan bahan bakar fosil.
“Kami berusaha mendapatkan dokumentasi yang lebih baik dari risiko-risiko karena karbon hitam di Arktik,” ujar Lars-Otto Reiersen, kepala Program Pengawasan dan Evaluasi Arktik (AMAP), bagian dari Dewan Arktik.
Sebuah laporan dari AMAP tahun lalu mengatakan bahwa “peraturan produksi karbon hitam dari semua sumber, terutama yang dihasilkan secara lokal dari aktivis-aktivis di Arktik, dibutuhkan pada semua skala.”
400 Lapangan
Lebih dari 400 lapangan minyak dan gas di wilayah Arktik dikembangkan pada 2007, menutur AMAP, kebanyakan di Siberia Barat di Rusia dan di Alaska. Sebagian besar dari minyak dan gas yang belum ditemukan sekarang diperkirakan ada di laut lepas.
Jelaga merupakan masalah tambahan bagi para perencana, menambah risiko seperti ledakan minyak dan kecelakaan kapal. Organisasi PBB mengenai Maritim Internasional mencoba mengerjakan “Kode Kutub” baru yang mungkin mengetatkan semuanya, dari gas buang sampai standar lambung kapal.
Tetap saja, untuk perkapalan, penggunaan rute Arktik barangkali tidak begitu merusak terkait pemanasan global, termasuk jelaga, karena ada jalan pintas antara beberapa pelabuhan di Atlantik dan Pasifik. Artinya kapal-kapal membakar bahan bakar lebih sedikit pada rute tersebut.
“Kami sedang meneliti dampak bersih rute Arktik dibandingkan dengan Kanal Suez,” ujar Jan Fuglestvedt dari Pusat Riset Iklim dan Lingkungan Internasional di Oslo.
Pada 2009, Grup Beluga yang berbasis di Bremen berlayar dari Korea Selatan ke Rotterdam melintasi Arktik, atau mengurangi jarak 4.000 mil laut jika mengambil rute Suez. Tahun ini, misalnya, sebuah kapal pemecah es menjadi kapal pertama Tiongkok yang melintasi samudera tersebut.
Sebuah studi mengindikasikan bahwa penggunaan yang meningkat dari rute Arktik mungkin membatasi gas buang karbon dioksida untuk perkapalan global sebanyak 2,9 juta ton per tahun pada 2050, atau 0,1 persen, dibandingkan dengan Kanal Suez.
“Jika rute Arktik benar-benar terbuka saat itu, barangkali hal itu akan mengurangi emisi karbon sedikit dalam skala global,” ujar Leif Ingolf Eide, penulis penelitian tersebut dari grup pengelolaan risiko Norwegia, DnV. Penelitian tersebut tidak menganalisa jelaga, ujarnya.
Pada sebuah laporan yang dikeluarkan 2011, UNEP memperkirakan bahwa pengurangan global terhadap jelaga, metana dan ozon akan memperlambat pemanasan global sebanyak 0,5 derajat Celsius. Hal ini juga akan melindungi kesehatan manusia dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Hampir 200 negara telah setuju untuk membatasi perubahan iklim menjadi di bawah 2 derajat Celsius di atas sebelum era industri, melihatnya sebagai ambang batas perubahan berbahaya seperti lebih banyak kekeringan, banjir atau meningkatnya permukaan laut. (Reuters/Alister Doyle)