Fabrikasi Teror, Ancaman Serius Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

  • Petrus Riski

Para pegiat hukum dan HAM di Jatim berdiskusi terkait maraknya teror terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (Foto: VOA/Petrus Riski).

Rentetan peristiwa teror terhadap rumah ibadah serta tokoh agama beberapa waktu terakhir, menjadi catatan penting pegiat hukum dan HAM di Jawa Timur. Pemerintah harus menangani isu ini secara serius, agar tidak berkembang menjadi upaya merongrong stabilitas keamanan dan kedamaian bangsa Indonesia.

Peristiwa penyerangan rumah ibadah serta tokoh agama yang terjadi di Indonesia mulai Desember 2017 hingga Februari 2018, harus menjadi perhatian dan penanganan serius pemerintah agar tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Data Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, selama tiga bulan terakhir telah terjadi 21 peristiwa penyerangan, di mana 15 peristiwa dilakukan oleh orang yang diduga mengalami gangguan kejiwaan.

Menurut Haidar Adam dari Pusat Studi Hukum dan HAM, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya, rentetan peristiwa teror yang terjadi memunculkan dugaan telah direncanakan karena adanya target sasaran yang jelas.

“Fabrikasi teror ini sebetulnya berasal dari fenomena yang terjadi, rentetan-rentetan yang terjadi, peristiwa-peristiwa yang terjadi, di mana kemudian di situ membentuk pola-pola tertentu. Pola-pola tertentu itu misalkan, kalau serangan itu dikatakan random, ternyata serangan itu terjadi dalam waktu yang berdekatan," kata Haidar Adam.

Baca juga: Kasus Perusakan dan Penyerangan Rumah Ibadah Diduga Terkait Kepentingan Politik

"Sasarannya ini jelas dan menyasar kelompok atau pemuka agama dan sebagainya. Yang artinya sebetulnya, kalau dilihat, penyerangnya itu adalah orang gila, tentu dia tidak akan memilih target. Dan kemudian akan menyasar siapa pun orang yang ada di dekatnya. Tapi ini kelihatannya dia sudah memiliki target-target tertentu. Dan ini, kalau di dalam pola semacam itu saya kira bukan pola yang random, tetapi ini sudah, mungkin bacaan saya adalah by design,” imbuhnya.

Haidar Adam mengatakan, banyak atau sedikitnya teror yang terjadi di suatu daerah tidak boleh dianggap sepele karena hal itu merupakan teror yang mengganggu kehidupan masyarakat, khususnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jawa Timur juga harus mewaspadai peristiwa itu, meskipun kecil kemungkinan terkait dengan isu Pilkada 2018.

“Misalkan, dibandingkan dengan Jawa Barat tentu saja lebih kecil, tetapi bukan berarti yang kecil itu bisa disepelekan, karena betapa pun di sini pernah terjadi beberapa kali kejadian yang kemudian menunjukkan bahwa tingkat toleransi, kemudian tingkat kerawanan dalam aspek kebebasan beragama berkeyakinan, itu juga dalam taraf yang memprihatinkan,” jelasnya.

Baca juga: Presiden Jokowi Tegaskan Tidak Ada Tempat Bagi Kelompok Intoleran

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur menyebutkan, indeks demokrasi di Jawa Timur tercatat 72,24 pada tahun 2016, atau turun dari tahun 2015 pada angka 76,90 atau kategori sedang. Kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti kasus Syiah Sampang dan munculnya peraturan di tingkat daerah mengenai Ahmadiyah, menjadi indikator bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Timur belum berjalan dengan baik.

Diungkapkan oleh Abdillah Baabud, dari Ahlul Bait Indonesia (ABI) Jawa Timur, maraknya ujaran kebencian dan persekusi terhadap kelompok minoritas yang dibiarkan oleh pemerintah, menjadikan angin segar bagi kelompok intoleran dan radikal untuk mengusik ideologi serta dasar negara Indonesia.

Your browser doesn’t support HTML5

Fabrikasi Teror, Ancaman Serius Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Pemerintah serta seluruh elemen bangsa harus bersama-sama melawan upaya merusak kerukunan hidup di Indonesia, dan menindak tegas siapa saja yang melanggar hukum termasuk dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Para penceramah yang melakukan hate speech ini, dalam rangka memprovokasi massa untuk katakanlah memberangus satu kelompok tertentu, minoritas tertentu, itu dibiarkan walau pun mereka sudah melapor, sudah menunjukkan bukti-bukti, dicuekin, dibiarkan, karena menurut mereka bahwa korbannya hanya kelompok kecil, dan mereka anggap ini hal biasa. Tapi ketika ini dibiarkan akhirnya mereka menjadi besar, dan saya katakan kualat. Nah, sekarang ini mereka menggunakan hal yang sama, hate speech, jualan 'tanda kutip' isu-isu agama, dan yang disasar sekarang ini adalah negara dan ideologi negara,” jelas Abdillah Baabud. [pr/lt]