Filipina mengatakan bahwa mereka tidak berencana memberi akses lebih banyak kepada Amerika Serikat untuk pangkalan militer negara itu. Filipina membatasi jumlah lokasinya, yakni total sembilan lokasi pangkalan militer, yang ada saat ini.
Sembilan akses lokasi pangkalan itu merupakan hasil peningkatan hampir dua kali lipat dari pada tahun lalu melalui Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Disempurnakan (EDCA).
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menegaskan bahwa keputusan negara itu untuk menambah jumlah pangkalan asing tahun lalu merupakan bentuk tanggapan terhadap tindakan agresif oleh China di Laut China Selatan.
“(Penambahan sebelumnya) merupakan reaksi terhadap apa yang terjadi di Laut China Selatan, terhadap tindakan agresif yang harus kami hadapi. Tembakan meriam air dan laser, tabrakan, dihalanginya kapal kami, nelayan-nelayan kami, dipasangnya penghalang di Scarborough Shoal. Ini adalah reaksi terhadap hal tersebut,” ujar Marcos kepada para koresponden asing di Manila, Senin (15/4).
Your browser doesn’t support HTML5
Tindakan itu lantas dianggap sebagai upaya provokasi oleh China. Negara itu menganggap Filipina telah “menyulut api” dengan mengizinkan AS mengakses lebih banyak pangkalan di dekat lokasi yang berpotensi terjadi konfllik.
Tiga dari empat lokasi terbaru yang diberikan kepada militer AS menghadap ke utara menuju Taiwan, dan satu lokasi lainnya berada di dekat Kepulauan Spratly di Laut China Selatan di mana sering terjadi ketegangan maritim. Beijing berpendapat bahwa lokasi-lokasi itu memberi keuntungan bagi AS jika terjadi konflik.
Dalam pertemuan tiga pihak yang baru pertama kali dilakukan minggu lalu, Presiden AS Joe Biden menjadi tuan rumah bagi Marcos dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan meminta Kongres untuk menambah dana 128 juta dolar AS untuk proyek-proyek infrastruktur di lokasi pangkalan yang ada saat ini. Biden juga menegaskan kembali komitmen yang “sangat kuat” untuk membela sekutu-sekutunya di Pasifik. [ti/ka]