Freedom House: Demokrasi Menurun

Seorang individu memegang plakat yang bertuliskan 'For democracy' saat demonstrasi ekstremisme kanan dari Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) di Berlin, Jerman, 14 Januari 2024. (Foto: REUTERS/Annegret Hilse)

Laporan tahunan "Freedom House Nations in Transit", yang dirilis pada Kamis (11/4), menyatakan bahwa pemerintahan demokratis di negara-negara yang membentang dari Eropa Tengah hingga Asia Tengah mengalami penurunan selama 20 tahun berturut-turut.

Laporan tersebut yang mencakup tren-tren demokrasi, memaparkan pergeseran ke arah pemerintahan otoriter, dan "penyusunan ulang geopolitik" di kawasan. Penataan ulang tersebut memecah kawasan ini menjadi blok pro-demokrasi trans-Atlantik, dan blok otokratis dan anti-demokrasi.”

Prinsip-prinsip demokrasi mengalami kemunduran di 10 dari 29 negara di kawasan ini, kata laporan itu.

Laporan ini mengidentifikasi semakin dalamnya kekuasaan otoriter, meluasnya agresi otoriter, dan kebutuhan yang kuat akan kepemimpinan demokratis global untuk membendung ancaman-ancaman ini.

Terlepas dari tren tersebut, laporan ini menemukan bahwa sebagian besar negara demokrasi mempertahankan standar demokrasi di dalam negeri.

BACA JUGA: Biden Soroti Urgensi Membela Demokrasi

Laporan ini mencatat bagaimana Polandia – meskipun menghadapi kemunduran demokrasi – mampu mengubah arah dalam pemilihan umum Oktober lalu dengan tingkat partisipasi politik yang sangat tinggi. Kemampuan Polandia untuk pulih akan "sangat penting bagi masa depan kawasan yang lebih luas."

Temuan lainnya adalah bahwa rezim hibrida, yang dikenal memiliki ciri-ciri demokratis dan otokratis, berada di persimpangan jalan.

Ketika negara-negara di kawasan ini bergerak ke blok otokratis atau demokratis yang jelas, negara-negara dengan rezim hibrida dapat bergerak ke arah mana pun, dan pada 2024 dapat menjadi tahun yang menentukan, kata laporan itu.

Tahun 2024 ini akan menjadi tahun pemilihan umum terbesar dalam sejarah, dengan sekitar setengah populasi dunia di lebih dari 50 negara akan memilih kepala negara.

Tahun ini akan menjadi tahun pemilihan umum terbesar dalam sejarah, dengan sekitar setengah populasi dunia di lebih dari 50 negara akan pergi ke tempat pemungutan suara.

Mike Smeltzer, analis riset senior untuk laporan "Nations in Transit" dan salah satu dari dua penulis laporan tersebut, menggambarkan persimpangan jalan dalam sebuah webinar pada hari Kamis. Dia menggambarkan keberadaan tiga kubu: hibrida demokratisasi, hibrida otokratisasi, dan hibrida siklus.

BACA JUGA: HRW: Penindasan Meningkat di Asia pada Tahun 2023

Hibrida otokratisasi mencakup negara-negara seperti Serbia dan Georgia dan ditandai oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang "semakin dikuasai oleh partai-partai yang berkuasa dan disalahgunakan untuk kepentingan partisan atau pribadi," kata Smeltzer.

Hibrida demokratisasi, yang mencakup Ukraina dan Kosovo, memiliki "pluralisme politik yang lebih tulus dan... [telah] menunjukkan komitmen nyata terhadap reformasi dan penguatan lembaga-lembaga demokratis."

Smeltzer mengatakan pergeseran ke arah demokratisasi hibrida sering kali merupakan "hasil dari peristiwa katalisator eksternal seperti agresi dari kekuatan otoriter."

"Tidak ada yang lebih benar daripada di Ukraina," lanjutnya, dengan mencatat langkah-langkah yang diambilnya tahun lalu untuk meningkatkan efektivitas pengadilan dan badan-badan anti-korupsinya.

Laporan ini mendapati bahwa Ukraina adalah satu-satunya negara dari 11 rezim hibrida di wilayah tersebut yang berhasil meningkatkan demokrasinya. [em/ah]