Kisah tentang Luweng dan perburuan anggota PKI sudah didengar Amiruddin, warga Gunungkidul, Yogyakarta, sejak kecil. Luweng adalah sebutan masyarakat setempat untuk lubang serupa sumur besar, yang di dasarnya mengalir sungai bawah tanah atau menyimpan air. Namun, terkait PKI ini, luweng tidak hanya menyimpan air, tetapi juga kisah kematian puluhan, ratusan, bahkan bisa jadi ribuan simpatisan partai itu, dalam tragedi 1965.
Sesudah peristiwa 1 Oktober, tentara melakukan operasi besar-besaran di Sumatera, Jawa, Bali dan daerah lain, begitu pula di Gunungkidul. Dalam operasi di rumah-rumah anggota PKI itu, tentara menemukan sejumlah dokumen.
“Dalam dokumen dari kampung sebelah itu, ada dua nama yang jadi target pembunuhan, satu orang polisi dan satu lagi Syamiyo Abdul Aziz, itu bapak saya. Setelah ditangkapi, menurut cerita yang disampaikan para orang tua, anggota PKI lalu dieksekusi dan mayatnya dimasukkan ke luweng-luweng yang ada di banyak tempat di Gunungkidul ini,” kata Amiruddin.
Syamiyo Abdul Aziz adalah tokoh Muhammadiyah terkemuka di kawasan Karangmojo, Gunungkidul. Jadi, sangat wajar jika dia menjadi salah satu tokoh agama yang akan dibunuh PKI, menurut dokumen yang ditemukan tentara itu.
Di media sosial, kisah seperti diceritakan Udin itu selalu muncul kembali menjelang 1 Oktober. Pro-kontra hadir tentang siapa yang biadab dalam cukilan sejarah itu, peran masing-masing pihak, sampai yang tak pernah habis dikupas, yaitu soal pemutaran film G30S/PKI. Acara nonton bersama kadang juga digelar, untuk membangkitkan ingatan kolektif masyarakat sekaligus menghadirkan kembali gambaran kekejaman PKI, terutama lewat adegan yang menyertakan silet.
Perlu Keseimbangan Narasi
Nampaknya, pro-kontra itu memang harus diterima sebagai kenyataan yang terus berulang setiap akhir September. Peneliti sejarah 1965 yang juga doktor alumnus Universiteit Leiden, Grace Leksana, mengatakan masyarakat akan terus hidup dalam dua versi sejarah itu.
“Memang kita akan terus hidup di dalam dua narasi ini. Rasanya tidak mungkin salah satu akan hilang. Pasti dua narasi ini akan terus berkembang, dan terus berjalan bersama-sama dan dia yang membentuk masyarakat kita sekarang,” kata Grace.
Grace menyampaikan pendapat itu dalam diskusi daring 1965: "Sejarah yang Dikubur". Diskusi diselenggarakan Historia.id pada Selasa (29/9). Seperti juga riuh rendah di media sosial, perbincangan ini juga meramaikan tema bersama yang selalu muncul di akhir September, setiap tahun.
BACA JUGA: Hantu PKI dan Penyitaan Buku-Buku yang Terus BerlanjutDua narasi itu adalah tentang kekerasan yang terjadi setelah Oktober, dan peristiwa G30S/PKI sendiri. Pemerintah Orde Baru, sebagai pemegang narasi tunggal hingga 1998, telah memonopoli pengetahuan masyarakat tentang peristiwa tersebut. Monopoli itu dilakukan melalui pembuatan film, buku sejarah, sektor pendidikan hingga museum.
Grace memandang penting adanya penguatan narasi penyeimbang, yaitu tentang kekerasan yang muncul ketika itu. Selama ini, narasi itu hanya ada di ranah informal. Sebagian pihak merasa perlu mendesakkan narasi informal itu ke ranah formal, dalam arti diakui sebagai sejarah resmi. Namun, menurut Grace, langkah yang bisa diambil tidak hanya itu.
“Tantangannya, bagaimana menggulirkan semua yang infomal ini menjadi lebih luas. Karena setiap warga, saya yakin pasti ada cerita tentang ‘65. Ada cerita soal tempat, soal sungai, soal rumah, soal balai desa. Tempat-tempat kecil yang mengandung cerita yang tidak seformal dibuat negara lewat buku pelajaran. Ada cerita yang hidup di masyarakat,” kata Grace.
Jika kisah mengenai kekerasan ini memperoleh tempat lebih luas, kata Grace, dia yakin gaungnya akan sama besar dengan narasi utama yang selama ini disampaikan pemerintah.
Perspektif Kemanusiaan
John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada, turut berbicara dalam diskusi ini. Dia mengatakan peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun, dan sudah saatnya dibicarakan secara lebih terbuka. Mayoritas pelaku sejarah itu sudah tiada sehingga sulit sekali melakukan klarifikasi atas apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, kata John, dia juga tidak yakin proses hukum atau pengadilan terkait peristiwa ini bisa dilakukan.
John Roosa adalah penulis buku "Dalih Pembunuhan Massal" yang terbit pada 2008. Tahun ini, dia kembali menerbitkan buku terkait PKI, berjudul "Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia."
John mendorong ada proses klarifikasi sejarah Indonesia. Dalam konteks G30S/PKI, John menyambut baik apa yang sudah dilakukan empat tahun lalu, yaitu simposium nasional membedah tragedi 1965. Mengutip apa yang disampaikan penyelenggara simposium itu, Agus Widjojo, sudah saatnya bagi Indonesia untuk berbicara lebih terbuka, tidak takut dengan masa lalu dan menjadi bangsa besar.
Prinsip yang harus terus dipegang dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, menurut John, adalah perspektif kemanusiaan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dalam buku baru, saya menulis dari perspektif kemanusiaan tentang kejahatan. Ada banyak bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan, seperti penyiksaan. Tidak ada perspektif yang bisa membenarkan penyiksaan, penghilangan paksa. Dan, saya kira yang penting untuk mengingatkan kejahatan itu supaya tidak terulang lagi,” kata John.
John mengaku bisa memahami jika ada masyarakat yang tidak menyukai PKI. Namun, dia tidak bisa memahami perspektif yang membenarkan tindakan penyiksaan, penghilangan paksa, atau penahanan massal dalam jangka panjang.
“Itu semua tidak bisa ditolerir,” kata John.
Jangan Wariskan Dendam
Sementara dalam kesempatan berbeda, sejarawan UGM Dr. Sri Margana menyebut pemutaran film yang rutin dilakukan sebenarnya dapat diterima. Masyarakat Indonesia sudah cerdas, dan menerima informasi baru lebih banyak terkait perstiwa G30S/PKI. Karena itu, mereka bisa menilai mana yang benar dan tidak dari film itu. Justru bagi kaum milenial, film ini layak ditonton agar memahami mengapa terjadi pro-kontra di masyarakat.
“Saya sarankan yang belum pernah nonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap,” ujarnya.
Sri Margono menekankan, yang tidak perlu dilakukan adalah mewajibkan maupun melarang pemutaran film itu. Sejak reformasi, film ini memang sempat tidak ditayangkan di televisi karena dianggap ada beberapa bagian yang cacat fakta. Misalnya mengenai penyiksaan mengerikan di Lubang Buaya, yang menurut data visum dokter, tidak ditemukan buktinya.
Dia menambahkan, menjadikan peristiwa 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal baik agar persitiwa serupa tidak terulang. Namun, dia juga meminta masyarakat tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi penerus. [ns/ab]