Negara-negara besar dunia pada Senin (20/12) mengecam pemungutan suara legislatif yang diseleksi ketat di Hong Kong, dan mengatakan aturan Beijing mengurangi kursi yang dipilih secara langsung, serta mengontrol siapa yang bisa terpilih, telah mengikis demokrasi di wilayah yang merupakan bagian dari China tersebut.
China telah melakukan penindakan keras besar-besaran di Hong Kong sebagai tanggapan atas protes demokrasi besar dan sering disertai kekerasan pada dua tahun lalu.
BACA JUGA: Pemimpin Hong Kong Bicara Soal Buku Putih dan PemiluChina memberlakukan Undang-undang Keamanan Nasional di wilayah bekas jajahan Inggris itu di mana UU tersebut mengkriminalisasi sebagian besar penentang pemerintah yang pro terhadap Beijing dan memperkenalkan aturan politik yang menguji kesetiaan siapa pun yang mencalonkan diri maju sebagai pejabat publik.
Pemungutan suara publik pertama di bawah orde baru ini diadakan pada Minggu (19/12) untuk menentukan anggota badan legislatif kota, dengan jumlah partisipan yang tercatat cukup rendah. Jumlah perwakilan yang dipilih secara langsung dipangkas dari sebelumnya yang mencapai separuh anggota dewan menjadi 22 persen.
Data menunjukkan hanya sekitar 30 persen dari total pemilih yang memberikan suaranya dalam pemilu pada Minggu (19/12) tersebut. Angka itu merupakan tingkat partisipasi terendah baik dari periode sejak penyerahan kota tersebut ke China pada 1997 maupun pada era kolonial Inggris.
BACA JUGA: AS, Sekutu-sekutu Barat 'Sangat Prihatin' Atas Pemilu Hong KongJumlah pemilih pada pemilihan legislatif terakhir pada tahun 2016 mencapai 58 persen, sedangkan pemilihan dewan distrik 2019, ketika tokoh-tokoh pro-demokrasi menang telak, mencatat rekor 71 persen, demikian dilaporkan kantor berita AFP.
Para menteri luar negeri dari kelompok G7 dari negara-negara paling maju menyatakan "keprihatinan besar atas erosi elemen demokrasi" dalam sistem pemilihan Hong Kong setelah pemungutan suara tersebut. [my/jm]