Grace Natalie, Ketua Umum PSI berpidato hanya beberapa jam setelah hasil hitung cepat memberi sinyal mereka tak mampu melewati ambang batas parlemen.
Your browser doesn’t support HTML5
“Menurut quick count, PSI mendapat 2%. Dengan perolehan itu PSI tidak akan berada di Senayan lima tahun ke depan. Kami telah berjuang dengan apa yang kami bisa. Tidak, kami tak akan menyalahkan siapa-siapa. Kader kami, pengurus PSI, caleg kami, telah bekerja keras siang dan malam meyakinkan rakyat. Tapi inilah keputusan rakyat melalui mekanisme demokrasi yang harus kami terima dan hormati,” kata Grace.
Selain menghargai keputusan pemilih, Grace juga menekankan bahwa mereka tidak menyesal dengan hasil tersebut. Mereka telah membangun partai dengan setiap tetes keringat dan air mata. Sebuah perjuangan yang luar biasa oleh anak-anak muda di PSI, kata mantan jurnalis televisi ini.
Dengan pemilih milenial hampir separuh dari jumlah pemilik suara, kegagalan PSI ini tentu saja patut dipertanyakan. Partai ini merupakan satu-satunya yang mengidentikkan diri sebagai partai anak muda.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, M. Atiatul Muqtadir mencoba menawarkan jawaban atas kegagalan itu. Menurut aktivis yang akrab dipanggil Fatur ini, PSI tenggelam di tengah perebutan suara oleh dua pasangan calon selama proses kampanye. PDI P dan Gerindra, sebagai partai jauh lebih banyak disebut dibanding partai lain sepanjang kontestasi. Selain itu, kedua paslon juga memiliki jaring sendiri untuk menarik dukungan anak muda.
“Masing-masing calon memiliki tim yang berisikan anak muda sendiri. Di 02 ada Gerakan Milenial Indonesia, di 01 ada Kita Satu Jokowi. Di arus utama itu, PSI juga bersaing dengan kelompok anak muda ini. Walaupun basisnya bukan partai, tetapi efeknya mengena ke partai yang mengidentikkan diri dengan anak muda,” kata Fatur.
Selain gagal masuk ke arus utama untuk memperoleh manfaat dari kontestasi paslon 01 dan 02, di tataran wacana PSI juga dinilai tidak menarik. Partai ini dengan tegas memberi arah kebijakannya, misalnya dalam isu korupsi dan anti Perda Syariah. Tetapi kedua isu itu nampaknya tidak menarik bagi anak muda. Dalam kasus Perda Syariah, kata Fatur, posisinya justru merugikan. PSI ditinggalkan oleh anak muda yang setuju Perda Syariah, tetapi gagal menggaet dukungan anak muda yang tidak setuju.
“Dia menentang Perda Syariah tetapi mendukung calon wakil presiden yang memproduksi aturan Syariah. Ada inkonsistensi di sana yang dilihat oleh anak muda,” tambah Fatur.
PSI, kata Fatur, juga kekurangan figur. Untuk memperkuat gagasan yang dikampanyekan, partai ini membutuhkan figur penggerak di belakangnya. Meski ramai dengan perjuangan demokrasi, feminisme dan penegakan HAM, PSI tidak didukung aktivis muda yang punya nama dan rekam jejak dalam isu-isu itu. Akibatnya, pemilih muda yang kritis melihat, PSI menggunakan isu tersebut hanya untuk kepentingan elektoral, dan bukan perjuangan yang sesungguhnya.
PT Sigi Kaca Pariwara, yang memonitor periklanan di Indonesia mencatat, PSI memasang iklan paling banyak di televisi dengan 1.277 iklan. Jumlah yang harus dibayarkan adalah Rp 42,84 miliar.
Namun, menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Cipto, semua iklan itu menjadi tidak berarti karena beberapa kesalahan mendasar yang dilakukan PSI.
Bambang menilai, sejak awal berdiri, PSI memang sudah hadir untuk mendukung tokoh tertentu, dalam hal ini Jokowi. Masalahnya, tujuan itu tidak didasari oleh ideologi yang kuat. PSI juga dinilai tidak memiliki visi yang jelas, mengenai untuk apa partai itu dibentuk. Bambang mencoba membandingkan kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia mengatakan, Kedua partai itu memiliki akar yang sangat kuat di lingkungan pemilih dan kemudian mampu tumbuh.
“PSI menganggap ada peluang besar suara kalangan milenial, mereka merekrut pengurus anak muda Muhammadiyah, NU dan lainya. Tetapi mereka salah strategi, karena tidak didukung oleh tokoh-tokoh yang memahami persoalan partai di Indonesia,” kata Bambang.
Kelompok milenial yang menjadi sumber suara pun turut digarap oleh partai-partai lain. Sementara isu-isu yang digaungkan PSI, justru kontradiktif dengan keyakinan dan prioritas sebagian pemilih. Akhirnya, tidak ada kelompok pemilih yang benar-benar bisa dibidik oleh PSI. Menurut Bambang, ini adalah upaya bunuh diri partai, dan dia sudah melihat itu sejak awal.
“Saya kira masalahnya, apa yang ada di dalam hati dan pikiran anak-anak muda saat ini masih bercampur dengan kekuatan tradisional yang masih sangat kuat di Indonesia dan belum banyak berubah. Jadi, walaupun mereka memakai jilbab, membawa handphone, naik mobil mewah, jalan-jalan ke ke Amerika atau Jepang, tetapi mereka punya akar yang sangat kuat. Hanya sedikit yang betul-betul bisa dibilang sekuler,” ujar Bambang.
Karena persoalan ideologi masih kuat, Bambang menyarankan PSI mengambil posisi lebih jelas. Partai tidak bisa ada di kanan dan kiri pada saat bersamaan. Posisi PSI saat ini, dinilai Bambang seperti gado-gado yang tidak jelas rasanya. PSI yang saat ini ada, tambahnya, lebih dekat ke kubu nasionalis. Karena itu, partai ini harus belajar untuk berbicara dengan sudut pandang kaum nasionalis dan tidak sekali-kali mengambil isu-isu keagamaan.
“Mereka ini salah kamar saja, seperti main bola tapi lapangannya keliru. Susun kembali visinya, pelajari apa yang salah dan kurang, barangkali masih bisa diperbaiki. Indonesia itu unik, PSI harus paham betul. Saya kira, perolehan suara kali ini hanya karena mereka belum paham saja,” tambah Bambang. [ns/ab]