Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Chicago bekerja sama dengan Field Museum dan Friends of Gamelan, mempersembahkan konser gamelan beberapa waktu lalu. Konser tersebut diberi tema Harmonious Tapestry of Indonesian Gamelan, Bridging Nations in Celebration of Indonesia-U.S. Relationship. (“Rangkaian Harmoni Gamelan Indonesia, Menjembatani Kedua Bangsa dalam Perayaan Hubungan Indonesia-AS”).
Gending Ladrang Babar Layar mengalun merdu bukan dari konservatori di tanah Jawa, melainkan dari Main Hall (Aula Utama) Field Museum di kota Chicago, Illinois, AS pada tanggal 27 Oktober lalu. Selain serangkaian gending-gending Jawa, konser itu juga menampilkan ensambel gamelan Bali dengan sederet lagu, termasuk lagu Hujan Mas yang dimainkan pada gamelan gong Kebyar.
Perayaan 75 Tahun Hubungan Bilateral RI-AS
Konser gamelan Jawa dan gamelan Bali yang memanjakan telinga dan indera artistik para penonton itu menyoroti ikatan budaya Indonesia-AS, dan diselenggarakan sebagai bagian dalam perayaan 75 tahun hubungan bilateral kedua negara. Alunan musik gamelan itu bisa dinikmati penonton berkat kolaborasi antara para pengrawit dari Friends of the Gamelan (FROG) Chicago dan para pemain Indonesia, utamanya dari KJRI Chicago. Permainan yang memukau oleh para pengrawit pada konser itu juga mengiringi gerakan indah para penari yang membawakan tari Bali dan Jawa.
Friends of the Gamelan atau “Sahabat Gamelan” didirikan pada tahun 1980 sebagai ensambel komunitas gamelan Jawa dengan tujuan memberikan pengajaran dan pertunjukan musik gamelan. Ensambel tari dan musik gamelan Bali, Chicago Balinese Gamelan, didirikan pada tahun 2017. Pada tahun 2023, kedua grup tersebut bergabung.
Pentas tari dan musik gamelan di Chicago ini tepat karena di kota ini pula musik gamelan pertama kali diperkenalkan di bumi Amerika, tepatnya pada perhelatan World’s Fair (“Pameran Dunia”) tahun 1893. Konon, gamelan yang dipamerkan hampir 132 tahun lalu itu hingga kini masih tersimpan di Field Museum.
Dua sosok utama dalam konser di Chicago tersebut adalah Alex Yoffe, pakar gamelan Jawa, tetapi lancar memainkan gamelan Bali, dan Claire Fassnacht, penari dan musisi gamelan Bali yang juga menguasai permainan gamelan Jawa. Mereka aktif dalam kepengurusan dan kegiatan FROG: Alex sebagai pimpinan dan Claire sebagai direktur artistik.
Kisah kedua insan ini terkait erat dengan pendalaman budaya dan gairah untuk meresapinya, serta misi bersama untuk turut membina hubungan antara Indonesia dan AS.
Claire belajar dan mementaskan gamelan dan tari sejak 2010, mulanya dengan bimbingan I Dewa Ketut Alit Adnyana ketika ia menjadi mahasiswa di Lawrence University di Appleton, Wisconsin. Pada 2015, ia memperoleh Dharmasiswa, beasiswa satu tahun yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, setelah belajar di konservatori musik dan tari di Institut Seni Indonesia, Denpasar, Bali.
Claire mendirikan ansambel Chicago Balinese Gamelan dan dengan bimbingan Nyoman Mahartayasa dan I Ketut Gede Asnawa, grup ini berkembang pesat. Claire sendiri telah mementaskan musik dan tari Bali dan Jawa di seluruh AS.
Alex adalah seorang musisi dan guru gamelan Jawa yang menyelesaikan gelarnya dalam komposisi musik di Perguruan Tinggi Seni Pertunjukan Chicago (Chicago College of Performing Arts/CCPA) di Roosevelt University in Chicago, Illinois. Ia melanjutkan studi gamelan secara intensif di Institut Seni Indonesia di Surakarta (ISI Surakarta), setelah mendapat beasiswa Dharmasiswa yang sepenuhnya didanai oleh pemerintah Indonesia.
Alex telah tampil dan mengajar gamelan di seluruh AS, termasuk bersama Gamelan Laras Tentrem (Boston), Gamelan Kusuma Laras (Kota New York), Gamelan Sari Raras Irama (Buffalo, New York), serta di sejumlah universitas dan perguruan tinggi lainnya di AS.
Harmoni Lintas Budaya
Jalan hidup Alex dan Claire bertemu melalui bentuk seni yang di Amerika boleh dikatakan tidak biasa namun memikat: musik gamelan. Alex, seorang pemain perkusi, memimpin Friends of the Gamelan. Claire, istrinya, bekerja di Museum Seni terkemuka di Chicago. Bersama-sama, mereka telah menemukan harmoni lintas budaya dan mengabdikan hidup untuk memperkenalkan kerumitan ritme dan suara gamelan yang memikat kepada khalayak Amerika.
Kecintaan mereka pada gamelan bermula sejak masa kuliah. Claire mengenang pertemuan pertamanya dengan bentuk seni ini saat kuliah.
“Ketika saya masih menjadi mahasiswa di perguruan tinggi pada tahun 2010, saya ikut kelas gamelan sama guru Dewa Ketut Alit Adnyana di Lawrence University. Saya menyukai musiknya, saya mengerti musiknya dengan cepat, itu tidak seperti apapun lainnya,” ujar Claire.
Di bawah bimbingan I Dewa Ketut Alit Adnyana, Claire dengan cepat jatuh cinta dengan genre musik yang dinamis itu. Semangatnya semakin dalam saat ia belajar di Bali selama musim panas, di mana pertunjukan yang semarak dan pembelajaran yang berpusat pada masyarakat membenamkannya dalam seni dan budaya di pulau itu.
Sementara itu, Alex yang selama ini menjadi dosen gamelan di Northern Illinois University di kota DeKalb, Illinois, mengaku bahwa kiprah dan kecintaannya pada gamelan dimulai dengan satu momen kekaguman.
“Waktu saya mahasiswa di sekolah tinggi, saya mendengar musik gamelan untuk pertama kali. Ya, saya merasa itu yang paling baik dan suaranya paling indah,” ungkapnya.
Alex kemudian mulai belajar gamelan, pertama di Chicago, dan kemudian di ISI Surakarta di mana dia berguru dengan para musisi gamelan Jawa yang disegani, baik di Indonesia maupun di AS.
“Saya belajar gamelan Jawa dari Pak Midiyanto, Pak Wakidi Dwidjomartono, dan Pak Darsono Hadiraharjo,” imbuhnya. Di Surakarta pula, Alex mengasah keterampilannya dan mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan budaya setempat.
Kolaborasi Berkembang Menjadi Romansa
Kecintaan Alex dan Claire pada gamelan mempertemukan mereka. Claire menghadiri kelas-kelas di Old Town School of Folk Music di Chicago – sekolah seni komunitas nirlaba terbesar di AS – tempat Alex mengajar gamelan Jawa. Meskipun sudah mahir dalam gamelan Bali, Claire berusaha memahami gaya musik Jawa yang lebih meditatif dan halus. Kolaborasi mereka berkembang menjadi romansa, dan hasrat bersama pasangan itu menjadi landasan hidup mereka bersama.
Meskipun spesialisasi mereka berbeda—Alex dengan gamelan Jawa dan Claire dengan gamelan Bali—mereka telah menemukan harmoni yang menjembatani kedua gaya tersebut. “Ini seperti menggabungkan dua genre,” kata Alex.
“Bali dinamis dan dramatis, sedangkan Jawa halus dan tenang. Bersama-sama, keduanya menciptakan keseimbangan,” sambung Claire.
Filosofi ini meluas ke pekerjaan mereka sebagai pendidik dan pemain, di mana mereka ingin menyajikan gamelan sebagai bentuk seni yang kohesif, terlepas dari perbedaan daerah asalnya.
Dari Tari Bali “Pendet” Hingga Gending Klasik Jawa “Bondet Mataraman”
Baik Claire maupun Alex mengatakan bahwa konser kolaboratif mereka di Field Museum cukup mendapat perhatian dan apresiasi penonton. “Field Museum di Chicago adalah salah satu museum terbaik. Untuk melakukan pertunjukan di sana sungguh luar biasa. Terima kasih Konsulat Jenderal Indonesia di Chicago dan Field Museum untuk kesempatan itu. Ensambel Gamelan Bali bermain tari Pendet, Tabuh Hujan Mas, Kosalia Arini, dan Topeng Keras,” ungkapnya.
Claire mengatakan sebagian besar penonton baru pertama kali melihat gamelan, atau orang-orang yang tidak mengetahui bahwa Chicago memiliki grup gamelan. “Penonton sangat menikmatinya. Mereka mengajukan banyak pertanyaan kepada para pemain dan mengambil foto-foto.”
Alex menambahkan bahwa pentas di Field Museum itu juga contoh kolaborasi yang sangat baik antara Friends of the Gamelan dengan KJRI Chicago.
“Konsulat merayakan 75 tahun hubungan diplomatik sama Amerika Serikat. Mereka minta Friends of the Gamelan – grup gamelan Jawa dan grup gamelan Bali ikut pentas di sana. Gamelan Jawa main gending Ketawang Parikan, Ladrang Babar Layar, tari Gunung Sari, dan gending Bondet Mataraman. Juga banyak orang dari konsulat ikut main gamelan Jawa di pentas itu. Baik sekali. Ya pentasnya berhasil dan banyak orang di Field Museum mendengar dan melihat gamelan di sana.”
Tumbuhkan Pemahaman dan Apresiasi tentang Budaya Indonesia
Alex dan Claire mengaku bahwa misi mereka lebih dari sekadar pertunjukan. Tujuan mereka adalah untuk menumbuhkan pemahaman dan apresiasi yang lebih dalam tentang budaya Indonesia di antara para penonton Amerika. “Ketika orang-orang menemukan budaya atau musik baru, hal itu memicu rasa ingin tahu,” jelas Alex. “Mereka mungkin ingin mempelajari lebih lanjut atau bahkan mengunjungi Indonesia.”
Claire menggemakan sentimen itu, dengan menekankan kekuatan gamelan sebagai pemersatu karena sifatnya yang sangat komunal. “Ketika Anda bermain, Anda menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Itu adalah metafora yang indah untuk pertukaran budaya—gamelan menyatukan orang-orang.”
Your browser doesn’t support HTML5
Rasa kebersamaan ini meluas ke latihan dan kelas mereka, tempat orang Indonesia dan Amerika berkumpul. Percakapan secara alamiah melayang di luar musik, menggali topik-topik seperti tradisi, bahasa, kehidupan sehari-hari, dan berita terkini tentang Indonesia. Melalui interaksi ini, pemahaman bersama yang lebih mendalam pun terjalin.
Ke depan, Alex dan Claire bercita-cita untuk memperluas jangkauan dan menginspirasi lebih banyak orang untuk mempelajari gamelan, baik dengan menghadiri pertunjukan, mengikuti kelas, atau berkunjung ke Indonesia. “Orang Amerika ikut dengan ensambel gamelan atau menonton gamelan karena itu indah. Ketika kita melihat keindahan, kita ingin mengerti. Selama latihan gamelan atau pentas gamelan, kita bertemu orang-orang Indonesia di Amerika. Dan kami mengajukan pertanyaan dan berbicara tentang budaya, tentang bahasa, dan tentang kehidupan, dan kita saling mengerti lebih baik,” pungkas Claire Fassnacht. [lt/ka]