Layaknya orang-orang di Arab Saudi, Asim al-Shammari terbiasa menyantap makanan berat untuk makan siang. Tetapi belum lama ini ia beralih ke makanan yang lebih ringan yang ia dapat dari, ia menyebutnya, ‘restoran diet’. Perubahan itu terpengaruh oleh dorongan antiobesitas Arab Saudi.
Dalam daftar Global Obesity Observatory, pemantau obesitas global, kerajaan itu berada pada urutan 17 peringkat prevalensi obesitas internasional. Arab Saudi berada tiga peringkat di bawah Amerika dan tetangga dekatnya, Qatar dan Kuwait. Tetapi agenda reformasi Visi 2030 yang dipelopori Putra Mahkota Mohammed bin Salman mencakup tujuan menurunkan obesitas dan diabetes pada akhir dekade ini.
Upaya tersebut terbantu oleh banyaknya restoran baru yang menawarkan alternatif yang lebih sehat untuk sebagian makanan tradisional Saudi, termasuk tempat Shammari, 28, seorang analis keuangan, berada. Ia menyantap sepiring ayam, nasi, dan wortel untuk menu makan siangnya baru-baru ini.
"Saya biasa makan burger, shawarma, atau kabsa ketika bekerja. Ini meningkatkan obesitas, terutama bekerja delapan jam dan kurang bergerak di kantor," kata Asim.
Selama puluhan tahun, orang Saudi menghabiskan banyak waktu luang di restoran dan pusat perbelanjaan. Makanan adalah sumber hiburan utama di kerajaan tertutup itu, di mana suhu udara yang panas membatasi aktivitas di luar ruang hampir sepanjang tahun.
Pada 2019, Kementerian Kesehatan mulai mewajibkan restoran memasukkan informasi kalori pada menu untuk mendorong pola makan sehat. Pilihan makanan cepat saji, dari waralaba favorit internasional seperti McDonald's hingga waralaba lokal seperti Albaik, tetap ada di mana-mana di kota-kota utama kerajaan itu, tetapi mereka mulai menghadapi persaingan yang lebih beragam.
BACA JUGA: Warga Yaman Sambut Ramadan dengan PrihatinBiasanya Saad al-Hader, 25, seorang dokter, membawa makanan dari rumah supaya tidak menyantap junk food. Kini, dengan menjamurnya restoran baru yang peduli kesehatan, hidupnya jadi lebih mudah. Kepada kantor berita AFP, sambil makan salmon dan kentang panggang, ia mengatakan: "Popularitas restoran-restoran ini, dan fakta bahwa mereka dekat dengan tempat kerja, membuat lebih mudah untuk tetap makan sehat."
Semakin banyak restoran menawarkan paket menu sehat. Mereka mengirim salad dan makanan lainnya ke rumah dan tempat kerja pelanggan. Salah satu paket tersebut menyediakan satu kali makan sehari selama sebulan dengan harga 450 riyal Saudi, sekitar $120, atau lebih dari Rp1,85 juta.
Basil Chehayeb, warga negara Lebanon yang mengelola restoran Reshape di ibu kota Saudi, Riyadh, mengatakan ia telah membuka dua cabang baru dalam 18 bulan ini untuk memenuhi permintaan. Restoran tersebut menyediakan makanan setiap hari kepada sekitar 500 pelanggan, yang sebagian besar adalah warga Saudi.
"Orang-orang Saudi sudah mengubah gaya hidup. Mereka kini datang ke klub-klub olahraga dan makan makanan sehat," katanya.
Upaya restoran dan bisnis sektor swasta lainnya mempromosikan makan sehat dibarengi intervensi lain yang juga peduli kesehatan.
Federasi Olahraga untuk Semua Saudi kini menyelenggarakan acara reguler seperti Riyadh Marathon, yang tahun ini menarik ribuan pelari ke jalan-jalan di Riyadh. Pemerintah juga sudah menyiapkan Sports Boulevard, jalur sepanjang 135 kilometer di ibu kota untuk berjalan kaki, bersepeda, dan menunggang kuda. Mulai tahun akademik ini, kementerian kesehatan Saudi telah melarang penjualan minuman ringan di sekolah.
Pesan itu tampaknya sampai, setidaknya di kalangan anak muda, kata konsultan kesehatan masyarakat Lamia al-Brahim.
"Obesitas adalah masalah kesehatan yang serius tetapi sekarang sangat tampak bahwa kesadaran kesehatan meningkat di kalangan generasi muda. Perubahan perilaku masyarakat membutuhkan waktu lama, dan upaya-upaya ini dimulai dari rumah, kemudian sekolah dan berikutnya badan-badan pemerintah," katanya. [ka/lt]