Geolog dari Universitas Negeri Papua, Dr David Victor Mamengko, meminta ada perubahan kebijakan pembangunan wilayah di Papua karena gempa yang berulang di kawasan itu. Dia mengatakan, sejak ratusan tahun, masyarakat lokal sudah memahami potensi gempa karena tinggal di atas sesar yang terus bergerak.
Di Manokwari misalnya, masyarakat adat membangun rumah kayu yang disebut dengan rumah kaki seribu.
“Sesar itu membuat local people punya local wisdom, adalah membangun rumah kaki seribu. Jadi salah satu yang saya amati, berdasarkan fenomena, kenapa orang Arfak dalam hal ini, membangun rumahnya itu dengan banyak sekali kaki,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Kota Jayapura, Ibu Kota Papua diguncang gempa berkekuatan magnitudo 5,4 pada Kamis (9/2) pukul 13.28 WIT. Pusat gempa berada di darat, sekitar 9 kilometer barat daya Jayapura dengan kedalaman 10 kilometer di bawah permukaan bumi. Guncangan gempa dirasakan skala MMI V di Kota Jayapura, skala III-IV di Kabupaten Keerom, dan skala III di Kabupaten Jayapura.
Rumah Kaki Seribu
Dalam kajian keilmuan yang berbeda, tentu bisa melahirkan kesimpulan yang berbeda pula. Misalnya, rumah kaki seribu dinilai sebagai upaya untuk menghindar dari serangan binatang buas.
Melihat kondisi geologi dan geografi di Arfak, David menyimpulkan bahwa rumah kaki seribu adalah bentuk kearifan lokal masyarakat asli Papua. Rumah tradisional itu sebenarnya didesain untuk menghindari serangan binatang buas, tapi juga bisa melindungi penghuni saat gempa.
“Rumah kaki seribu adalah rumah yang menurut saya resisten terhadap kemungkinan-kemungkinan dinamika atau kerusakan yang disebabkan kegempaan,” kata David lagi.
David menguraikan, pemerintah kolonial Belanda memperhatikan fenomena semacam itu ketika mengembangkan kota-kota di Indonesia. Tampaknya, Belanda melihat sejarah seratusan tahun, dan memproyeksikan kondisi pada seratus tahun ke depan. Karena itulah, jika didata, kota-kota yang dibangun Belanda sangat memperhatikan faktor kegempaan dan risiko lain yang menyertainya.
“Belanda tidak membangun Padang, yang dibangun adalah Bukittingi. Belanda tidak membangun Palu, tetapi membangun Donggala. Tidak membangun Nabire, tetapi memilih membangun Paniai,” kata David.
“Menurut saya, faktor yang ditentukan oleh Belanda adalah, pertama dia melihat kondisi-kondisi kegempaan tadi. Kondisi kebencanaan menjadi faktor dalam penentuan pola ruang,” tambahnya.
Karena itulah, David berpendapat perlu ada revisi atau kajian yang lebih dalam terkait penentuan pola ruang, khususnya dalam hal ini di Papua. Tidak serta-merta, tanah yang datar dapat langsung dipilih sebagai lokasi pembangunan.
Penentuan kebijakan tata ruang sangat penting melibatkan geolog yang memahami potensi bahaya satu kawasan.
Harus Perhatikan Building Code
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono juga bersuara sama terkait ini.
“Perlu diyakinkan ke depan bahwa kawasan permukiman Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Keerom, perlu memperhatikan bangunan yang tahan gempa, yang mengacu pada building code, terkait dengan sumber gempa di tempat tersebut,” ujarnya dalam pernyataan resmi BMKG pada 9 Februari 2023.
Daryono menjelaskan, wilayah Jayapura dan Keerom merupakan wilayah kawasan seismik aktif dan kompleks. Kondisi ini tercermin dari perbedaan mekanisme sumber gempa antara gempa yang terjadi pada 2 Januari 2023 dan gempa terakhir pada 9 Februari 2023.
Gempa yang terjadi awal Januari, merupakan gempa kerak dangkal dengan mekanisme turun atau normal fault. Sedangkan pada gempa terakhir, juga terjadi di kerak dangkal, tetapi merupakan pergeseran sesar .
BACA JUGA: Gempa 5,2 SR di Papua, Sedikitnya 4 Tewas“Kita melihat, memang banyak sekali aktivitas gempa yang tejadi dan itu menunjukkan batuan di daerah tersebut sangat brittle (rapuh.red), dan itu merupakan daerah yang rapuh sehingga gempa-gempa mudah terjadi,” papar Daryono lagi.
Data BMKG menunjukkan dari 2 Januari 2023 hingga 11 Februari 2023 telah terjadi gempa bumi di wilayah sekitar Kota Jayapura sebanyak 1.174 kali. Sebanyak 172 kejadian di antaranya guncangannya dirasakan oleh warga.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia juga mengingatkan, gempa tidak menimbulkan korban jiwa. Bangunan yang roboh justru penyebab munculnya korban, dan karena itu konsentrasi penanggulangan korban harus diberikan pada peningkatan kualitas bangunan agar tahan gempa.
“Untuk mengantisipasi, solusinya adalah masyarakat membangun bangunan yang strukturnya kuat, memiliki besi tulangan standar. Atau kalau belum bisa menyediakan bangunan tersebut, bisa dibangun bangunan ramah gempa, dengan bahan ringan seperti kayu, namun dengan desain yang menarik,” kata Daryono.
Kepala BMKG Profesor Dwikorita Karnawati menguatkan pendapat bahwa kawasan Jayapura dan sekitarnya berada di atas batuan yang rapuh.
“Kita melihat, kedalaman gempa bumi inikan relatif dangkal, 10 kilometer. Di mana pada kedalaman tersebut, litifikasi atau pembentukan batuan itu tidak sekompak pada kedalaman yang puluhan kilometer atau ratusan kolometer,” kata Dwikorita dalam kesempatan sama.
Pada kedalaman tersebut, kondisi batuan relatif lebih rapuh, dibandingkan batuan di lapisan dalam. Karenanya sangat mudah mengalami getaran. Gempa yang terjadi pada 9 Februari, diyakini dipengaruhi oleh pergerakan sesar yang terjadi pada gempa sebelumnya, yaitu pada awal Januari 2023 lalu.
Inspeksi Bangunan Dilakukan
Dalam konferensi pers pada Sabtu (11/2), Penjabat Wali Kota Jayapura, Frans Pekey, meminta masyarakat untuk tidak panik dan takut, terutama terkait dengan kerusakan bangunan yang ada.
“Kami juga sedang mendata secara detil, untuk memastikan berapa kerusakannya, khususnya bangunan dan gedung,” ujar Frans.
“Dan karena itu saya juga minta kepada dinas terkait untuk segera memastikan, gedung ini aman atau tidak, rumah ini aman atau tidak, supaya kita memberi kepastian dan menurunkan kepanikan masyarakat,” tambahnya.
Setiap instansi pemerintah, lanjut Frans, memiliki tim teknis yang memastikan kelayakan bangunan. Jika gedung-gedung pemerintah dinyatakan layak, pelayanan bagi masyarakat tidak akan terganggu. Sementara ini, banyak warga, termasuk aparat pemerintah sendiri, yang takut masuk ke gedung perkantoran karena khawatir terhadap dampak gempa.
Data Dampak BNPB
Sejauh ini, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan bangunan rumah yang tercatat adalah 15 rumah rusak berat, 1 rumah rusak sedang dan 28 rumah rusak ringan.
“Selain itu 1 kafetaria roboh dan tenggelam, 5 gedung perkantoran rusak, RSUD Kota Jayapura rusak, 1 masjid, 2 gereja, 1 hotel dan 1 supermarket turut terdampak,” kata Abdul Muhari, Ph.D, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.
Berdasarkan data BNPB, saat ini jumlah pengungsi tercatat 2.136 jiwa yang tersebar di 15 titik di Kota Jayapura, antara lain di kantor Dinas Tenaga kerja, kompleks CV Thomas dan di kantor Bank Tabungan Negara (BTN).
Jayapura juga membutuhkan sejumlah bantuan mendesak, seperti genset listrik, tenda, kasur lipat, makanan siap saji, selimut, tikar dan air mineral. [ns/ft]