Selama dua hari, 14-15 Desember 2022, Mujib Ridwan, siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Kulonprogo, DI Yogyakarta mengikuti perkemahan anak muda untuk pertanian. Dia belajar tentang gulma, hama, cara menanam, hingga perubahan iklim.
Namun, ketika VOA bertanya apakah setelah semua pelatihan itu, dia mantap menjadi petani usai lulus sekolah, Ridwan dengan tegas tetap mengatakan petani bukan pilihan utamanya.
“Itu pilihan nomor dua. Hasil alam itu juga kan tidak menentu bagaimana. Hasilnya sekarang itu memang bagus, tapi besok belum tahu. Jadinya, kerja dulu, baru cari yang di kebun lah,” kata Ridwan, Kamis (16/12).
Ayahnya adalah petani cengkih di perbukitan Menoreh, Kulonprogo yang dingin dan indah. Kebun itu sudah memberi hasil, karena cengkih adalah tanaman jangka panjang.
Namun, kata Ridwan, harga cengkih tidak menentu, kadang baik kadang jatuh. Karena itu pulalah, ayahnya sendiri meminta Ridwan untuk tidak memilih petani sebagai profesi utama.
“Bapak sudah bilang, kerja dulu kalau mau bertani besok untuk sambilan saja. Memang saat aku pikir, itu benar. Kerja dulu buat cari modal,” tambah Ridwan yang mengaku tetap membantu orang tuanya mengurus kebun dan merawat sapi.
Meski begitu, Ridwan mengaku dunia pertanian tetap punya daya tarik. Pertama dia datang ke pelatihan yang diselenggarakan SP Kinasih, kelompok perempuan tani lestari Karisma, dan Kader Hijau Muhammadiyah ini karena tugas sekolah. Namun, setelah mengikuti jalannya pelatihan, dia merasa cukup menyenangkan.
Jawaban kurang lebih sama datang dari Fia Juliani, siswa SMKN 1 Samigaluh, Kulonprogo, DI Yogyakarta.
Dia mengaku tertarik ikut berlatih menjadi petani untuk memperdalam ilmu tentang pertanian. Mungkin, ada kesempatan untuk menerapkannnya dalam kehidupan sehari hari, berbagi ilmu kepada teman sekolah atau bahkan orang tua. Dia juga senang bisa belajar semua tentang pertanian, khususnya terkait kewirausahaan.
BACA JUGA: Milenial: di Ladang Gemar 'Selfie', Tapi Ogah Jadi PetaniNamun, ketika ditanya apakah kelak dia ingin menjadi petani?
“Enggak tahu, saya masih bingung. Tetapi saya tertarik untuk belajar lebih jauh,” ujar Fia.
Mayoritas Petani Lansia
Herni Saraswati, pendiri kelompok perempuan tani lestari Karisma, yang menjadi salah satu pengisi pelatihan ini mengakui bahwa mengajak anak muda bertani bukan perkara gampang.
“Kalau saya mengundang pertanian untuk kaum muda, rata-rata dari yang diundang itu, kalau pengalaman saya biasanya hanya sekitar 40 persen yang datang. Jadi, saat ini kalau saya melihat, keinginan atau minat kaum muda untuk pertanian itu kurang,” ujarnya kepada VOA.
Sejumlah alasan menyertai, kata Herni, misalnya pandangan bahwa menjadi petani kurang bergengsi, pekerjaannya berkotor-kotor, dan butuh ketelatenan.
Herni mengenang pada era 60-an hingga 70-an, orang tua mengikutsertakan anak-anak mereka dalam pekerjaan pertanian sehari-hari. Ketika ekonomi membaik, para orang tua melepas kewajiban anak untuk turut bersama mereka di sawah atau ladang. Saat itu pulalah, generasi baru berjarak dengan pertanian, dan semakin sulit untuk terlibat dalam sektor ini.
Dampaknya bisa dilihat. Rata-rata petani di pedesaan ini sudah berumur, bahkan menjelang lanjut usia.
“Mayoritas petani sekarang lansia atau mereka yang dari keluarga muda. Tapi, yang muda ini jadi petani setelah mereka punya kebutuhan. Mereka rata-rata baru mau terjun ke pertanian karena didesak kebutuhan hidup,” kata Herni.
Golongan petani muda ini adalah mereka yang sebelumnya sudah bekerja kemudian kehilangan pekerjaan dan menggarap lahan warisan. Bisa juga, mereka memang tetap tinggal di desa selama ini, kemudian bekerja serabutan di luar pertanian. Mereka baru kembali turun ke sawah, karena tidak tersedia pekerjaan lain yang hasilnya cukup untuk kehidupan bersama keluarga.
Karena itulah, menurut Herni, gerakan bertani untuk milenial harus lebih diperbanyak.
“Gerakan ini harus dilakukan banyak pihak, kalau hanya segelintir saja tidak akan berhasil. Ini kan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, terhadap pangan yang sehat, pangan yang aman,” tandasnya.
Sebenarnya, Herni tidak berharap milenial yang tertarik pada pertanian untuk menjadi petani sepenuhnya. Jika memang tidak tertarik, dia bisa memanfaatkan ilmu dasar pertanian, setidaknya untuk bertani dalam skala kecil dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
BACA JUGA: Petani Milenial: Berwirausaha Perlu Ilmu, Tak Cukup Bermodal AdrenalinHerni mengingatkan, banyak persoalan akan muncul jika milenial tidak tertarik bertani. Tentu, yang paling besar adalah persoalan pangan, karena Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Selain itu, lahan-lahan warisan petani Lansia di desa-desa, akan cenderung dijual dan beralih fungsi, jika anak-anak mereka tidak mau menjadi petani.
Makin Tak Diminati
Abie Dhimas Alqoni Fatarrudin, dari Kader Hijau Muhammadiyah yang turut menyelenggarakan acara ini mengakui petani adalah profesi yang semakin tidak diminati anak muda. Ada pola pikir bahwa petani adalah profesi yang tidak ideal.
“Profesi yang dianggap ideal misalnya pekerja kantor, Pegawai Negeri Sipil, content creator ataupun pekerjaan lain yang dipandang lebih mengikuti perkembangan zaman dan menjanjikan secara sosial,” ujarnya.
Padahal, kata Abie, petani adalah jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Negara ini juga lama memproklamirkan dirinya sebagai negara agraris.
Sementara Aniati Tokomadoran dari SP Kinasih menyebut tantangan pertanian saat ini lebih kompleks lagi bagi anak muda. Dulu, petani mempraktikkan pola pertanian lestari, kini semakin bergerak ke pola pertanian mekanik berbasis industri dan kimiawi.
“Pola pertanian yang telah diadopsi sejak adanya program revolusi hijau pada Orde Baru ternyata memiliki dampak negatif yang berpotensi memiskinkan petani dan menyumbang kerusakan lingkungan, tak terkecuali krisis iklim,” tegasnya.
Karena inilah, sekaligus mengenalkan kembali dunia pertanian pada milenial, kegiatan ini juga menekankan perlunya penerapan konsep pertanian lestari.
“Agar makin banyak anak muda mengenal dan paham bertani secara lestari, sebagai dunia yang menarik dan menyenangkan. Lalu tumbuh kecintaan dan kesadaran bertani lestari untuk keberlanjutan lingkungan, di tengah krisis lingkungan dan krisis iklim,” tambahnya.
Targetkan Petani Milenial
Namun, di sisi lain, pemerintah mengklaim petani milenial adalah program prioritas di Kementerian Pertanian.
Berbicara di kampus institut pertanian Instiper Yogyakarta, Sabtu (10/12), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menguraikan bahwa pihaknya memberi perhatian khusus terhadap kelompok ini.
“Petani milenial yang sudah dilatih 120 ribu di seluruh Indonesia, yang ambil Kredit Usaha Rakyat (KUR), kurang lebih 40 ribuan, nilai total kreditnya Rp2,5 triliun,” kata Syahrul.
Program pelatihan itu menyasar anak muda yang ingin terjun ke sektor pelatihan, dan memberi mereka bantuan pendanaan, termasuk pendampingan.
Syahrul memberi contoh, petani muda di Bogor yang berhasil mengembangkan cabai dan petani muda lain yang menanam tanaman hias. Keduanya merambah pasar ekspor dan menjadi bukti, bahwa sektor pertanian sangat menjanjikan.
Kuncinya, kata Syahrul, adalah konsep smart farming untuk menghadapi tantangan global.
"Generasi milenial berpotensi menjadi wirausahawan muda pertanian, karena memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi atau fleksibel, kreatif, melek teknologi, empati dan mampu berpikir kritis,” ujar Syahrul.
Syahrul menambahkan, untuk mendorong generasi muda menjadi agripreneur atau pengusaha muda sektor pertanian, Kementerian Pertanian memfasilitasi bantuan modal usaha dan akses pasar, baik dalam negeri ataupun ekspor. Selain itu ada pula fasilitas pembiayaan dan perizinan, penyediaan prasarana dan sarana pertanian, serta peningkatan kapasitas dan pendampingan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Penguatan petani milenial dan digitalisasi diperlukan untuk mengubah pertanian tradisional menjadi modern agar lebih efisien, dapat memanfaatkan peluang dan mampu berkompetisi, serta memberi pendapatan yang menarik,” urainya.
Karena itu, tantangan petani milenial adalah penggunaan teknologi informasi berbasis internet, penerapan Internet of Things (IoT), robot construction, artificial intelligence dan otomatisasi mekanisasi pertanian.
Kementerian Pertanian berupaya mengajak 9,9 juta milenial untuk menjadi petani, dan menargetkan pada 2024 akan ada 2,5 juta petani milenial. Saat ini, data menunjukkan setidaknya sudah ada sekitar 221 ribu milenial yang berupaya menjadi petani. [ns/ab]