Generasi Muda Korsel Dukung Unifikasi

"The Arch of Reunification", simbol harapan untuk untuk bersatunya kembali dua negara Korea, di Pyongyang, Korea Utara, 11 September 2018. (Foto: dok).

Lebih dari separuh mahasiswa Korea Selatan kini memiliki pandangan positif mengenai unifikasi Korea, demikian hasil sebuah jajak pendapat baru yang dilakukan Komite Unifikasi dan Hubungan Luar Negeri di Majelis Nasional. Survei itu dilakukan pada awal November, melibatkan lebih dari 1.000 mahasiswa di berbagai penjuru negara itu.

Hasil survei menunjukkan 52,8 persen responden menjawab bahwa “unifikasi diperlukan.” Angka tersebut lebih dari dua kali lipat daripada yang menyatakan menentangnya, 26,1 persen.

Salah satu penjelasan mengenai hasil survei itu, kata peneliti Park Ju-hwa di Korea Institute for National Unification (KINU), mungkin karena pendekatan Korea Utara yang lebih bersahabat terhadap Seoul dan jangkauannya ke komunitas global.

Lebih jauh, “hingga pertemuan puncak belakangan ini, orang tidak memiliki kesempatan melihat pemimpin Korea Utara,” kata Jeon Young-sun, profesor di Humanities Research Institute, Konkuk University.

Park juga mengatakan tidak adanya uji coba nuklir atau misil tahun lalu, ditambah lagi dengan pertemuan yang banyak mendapat sorotan antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un “mungkin membawa perubahan dalam pikiran orang-orang muda.”

Sementara itu direktur Youth and Future, Jeong Hyun-gon menambahkan fokus global terhadap pembicaraan dengan Pyongyang membantu membuat para mahasiswa itu menjadi lebih tertarik pada masalah tersebut dibandingkan dengan sebelumnya.

Data survei lebih jauh menunjukkan 42,1 persen responden beralih dari semula berpandangan negatif menjadi positif mengenai Korea Utara setelah KTT Pyongyang.

Ini lebih tinggi delapan kali lipat dibandingkan mereka yang beralih pandangan sebaliknya, yakni lima persen, dan para responden menyatakan alasan untuk mengupayakan unifikasi adalah “pertumbuhan ekonomi” (33,3 persen) dan “menyingkirkan ancaman perang” (28,7 persen). [uh]