Gerakan Literasi, Cara Efektif Lawan Hoaks dan Penyalahgunaan Teknologi Kecerdasan Jelang Pemilu 2024

  • Petrus Riski

Pelajar di Surabaya memanfaatkan perangkat teknologi untuk membuat konten positif di media sosial. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Memasuki tahun politik 2023 dan menjelang Pemilu 2024, beragam berita bohong sudah mulai merebak di media sosial. Pakar mengatakan rendahnya literasi digital masyarakat menjadi salah satu penyebab penyebaran hoaks. Kemajuan teknologi belum dimaknai dan dimanfaatkan untuk kebaikan.

Dalam tahun politik menjelang Pemilu 2024 sudah banyak ditemukan berita-berita yang berkaitan dengan tokoh maupun isu politik. Di antara berita yang beredar, banyak ditemukan kabar bohong atau hoaks yang mengarah pada ujaran kebencian.

Dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Frida Kusumastuti, menyebut berita hoaks yang beredar saat ini sebagai informasi yang tidak sehat. Menurut Frida, fakta dan kebenaran merupakan syarat utama informasi sehat. Selain itu, keberagaman informasi yang beredar juga dapat menjadi indikator informasi sehat.

“Ada indikasi sudah mulai tidak sehat. Yang pertama, realitas itu menjadi dibangun jauh dari fakta, dari kebenaran. Kemudian yang kedua, ada informasi yang seragam, sehingga masyarakat tidak mendapatkan pandangan yang beragam atau diversitas dari konten itu tidak bisa didapatkan. Itu mengganggu sekali sehingga view masyarakat hanya terkotakkan pada satu jalur itu. Itu juga tidak sehat ya, karena informasi yang sehat itu juga harus beragam,” katanya.

Fasilitator dari Mafindo mengajak pelajar di Surabaya membuat konten positif untuk media sosial. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Kemajuan teknologi juga menghadirkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yang tidak hanya dapat membantu kerja manusia, tetapi juga disalahgunakan untuk memproduksi konten hoaks. Frida mengatakan keberadaan kecerdasan buatan hendaknya menjadi alat bantu dalam hal positif, bukan dijadikan sebagai alat pemecah belah kesatuan bangsa.

“AI itu kan kenapa berpotensi untuk disalahgunakan? Karena mudah, cepat. Kalau dulu kan mahal ya, sekarang dengan android, dengan IOS, orang menjadi mudah mendapatkan atau mengakses platform atau aplikasi AI sehingga orang bisa menggunakan itu semau-maunya… tapi sebenarnya AI itu sangat membantu pekerjaan manusia sebenarnya. Tapi sebagai suplemen ya, bukan sebagai sumber utama," papar Frida.

Upaya mendeteksi berita hoaks, baik yang dibuat oleh teknologi maupun secara sederhana, harus disikapi melalui gerakan literasi di masyarakat. Frida menekankan pentingnya edukasi dan pembekalan di masyarakat, untuk mendeteksi konten-konten palsu, bohong, dan fitnah, yang dibuat dengan mengandalkan bantuan perangkat teknologi.

Kegiatan sosialisasi gerakan antihoaks di media sosial oleh Mafindo Mojokerto. (Foto: Courtesy/Mafindo Mojokerto)

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer, mengatakan keberadaan kecerdasan buatan hendaknya ditanggapi sebagai sebuah alat bantu untuk menghasilkan karya jurnalistik yang lebih baik. Namun, cara kerja jurnalis sesuai kode etik tidak boleh ditinggalkan, demi menjaga kualitas serta integritas media sebagai produsen berita.

Merebaknya kecerdasan buatan, kata Eben, sebenarnya menjadi tantangan bagi masyarakat untuk bijak menggunakannya. Dalam produksi berita di media massa, jurnalis, kata Eben, tetap harus melakukan verifikasi meski memanfaatkan kecerdasan buatan.

“Kalau kita melihat saat ini, AI itu sendiri masih terus berkembang. Dia masih bisa salah, dia tidak 100 persen akurat. Maka sebenarnya tugas jurnalis itu tetap, dia melakukan verifikasi. Tidak hanya terhadap realita, tetapi dia juga verifikasi terhadap apa yang disampaikan oleh AI, misalkan," kata Eben.

BACA JUGA: Polemik Ijazah Jokowi: Kedengkian yang Harus Disudahi

Menyikapi banjir informasi yang cenderung tidak sehat, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO) berkolaborasi dengan 30 kelompok masyarakat menginisiasi deklarasi Paguyuban Ekosistem Informasi Sehat (PESAT) di Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.

Gerakan bersama seluruh elemen masyarakat ini menurut Koordinator PESAT Wilayah Jawa Timur, Yohanes Adven Sarbani, bertujuan untuk menghadapi ancaman hoaks, ujaran kebencian, yang dikhawatirkan semakin banyak beredar pada tahun politik mendekati Pemilu 2024.

Adven menambahkan, gerakan bersama ini akan menjadi kekuatan untuk mengedukasi dan mendesak pemilik platform media sosial untuk terlibat dengan mencegah derasnya arus hoaks serta ujaran kebencian.

Yohanes Adven Sarbani, Koordinator Wilayah PESAT Jawa Timur, bersama para pihak menandatangani deklarasi PESAT, sebagai gerakan menghadirkan informasi sehat jelang Pemilu 2024. (Foto: Petrus Riski/VOA)

“Terutama kita menghadapi ancaman hoaks, ujaran kebencian, yang kita khawatirkan juga akan banyak beredar ketika menyambut tahun politik ini. Walaupun memang tingkat literasi masyarakat Jawa Timur lumayan baik, tapi kita juga mengantisipasi jangan sampai gara-gara perbedaan kepentingan politik, kepentingan pemilu dan lain sebagainya, itu menyebabkan perpecahan," katanya.

"Kita harapkan walaupun memang berbeda pandangan politik, dan lain sebagainya, tapi kita harapkan tetap ada persaudaraan, keakraban," pungkas Adven. [pr/lt]