Inisiator Women Crisis Center (WCC) Pasundan, Durebang Karmila, menilai gereja memiliki potensi yang besar untuk menangani dan memulihkan korban kekerasan seksual. Ia beralasan gereja memiliki organisasi dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk melakukan hal tersebut. Salah satu upaya pemulihan yang dapat dilakukan yaitu dengan membuka layanan pengaduan dan terapi psikologis bagi korban.
"Sebenarnya sangat potensial untuk melakukan pemulihan di komunitas gereja. Bahkan bukan hanya pemulihan untuk anggota komunitas gereja sendiri, tapi buat masyarakat juga," jelas Karmila dalam diskusi online "Mengukur Komitmen Gereja-gereja dalam Menangani Kekerasan Seksual", Kamis (9/7).
Karmila menambahkan pemulihan bagi korban kekerasan di gereja penting dilakukan. Sebab, berdasarkan kegiatan berbagi pengalaman antar perempuan yang menjadi pendeta dan fungsionaris di Gereja Kristen Pasundan (GKP) pada 2004, sebagian besar pernah mengalami kekerasan atau mendengar pengalaman orang lain. Kondisi ini kemudian mendorong kesepakatan pembangunan layanan khusus kasus kekerasan terhadap perempuan hingga terbentuknya WCC Pasundan Durenbang pada 2013.
Salah satu tantangan yang dihadapi pada awal pendirian WCC Pasundan Durenbang, yaitu kecurigaan Kristenisasi yang menimbulkan tekanan bagi pengelola. Selain itu, aparat penegak hukum yang menyalahkan korban juga turut memperburuk kondisi korban.
Sementara itu, Wakil Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Reformis Dunia, Sylvana Maria Apituley, mengatakan telah banyak muncul inisiatif untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan di gereja-gereja Indonesia. Di mana sebagian besar inisiatif tersebut muncul di Pertemuan Raya Perempuan Gereja, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Di samping itu, juga muncul intervensi-intervensi dalam bentuk program PGI untuk kesetaraan gender. Semisal program upah kerja yang adil bagi pendeta perempuan dan laki-laki.
"Gereja juga diminta mendedikasikan anggaran yang responsif gender agar-agar program kesetaraan dan keadilan gender dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dibiayai gereja. Karena sejumlah riset mengatakan keuangan gereja lebih banyak didedikasikan untuk ritual," jelas Sylvana Maria.
Kendati demikian, Sylvana mengatakan tidak semua gereja telah memiliki kesadaran gender. Karena itu, perlu mendorong perspektif baru tentang gender dalam berbagai sendi kehidupan gereja.
Senada Komisioner Komnas Perempuan Rainy Maryke Hutabarat mendorong gereja agar mempromosikan tafsir-tafsir kitab suci berspektif keadilan gender. Ia beralasan teks-teks kitab suci tidak luput dari pesan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sehingga perlu ditafsir ulang. Apalagi, dalam konteks Indonesia, agama atau kitab suci merupakan sumber nilai hidup masyarakat termasuk pandangan terhadap hubungan perempuan dan laki-laki.
"Kita harus akui, agama-agama, teksnya tidak lepas dari kekerasan terhadap perempuan. Jadi kultur patriarki berakar pada agama maupun lembaga agama itu sendiri," jelas Rainy.
Rainy juga mendorong lembaga agama untuk membangun rumah aman di sinode atau jemaat untuk memutus mata rantai kekerasan. Termasuk menyediakan tenaga konselor, pendamping korban dan konseling bagi korban kekerasan.
Your browser doesn’t support HTML5
Komnas Perempuan mencatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2019 meningkat dibanding 2018, yaitu sebanyak 406.178 kasus. Komnas Perempuan juga menyoroti kekerasan terhadap anak perempuan yang melonjak menjadi 2.341 kasus dibanding tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan disabilitas dibandingkan tahun lalu naik sebanyak 47 persen. [sm/ab]