GKR Hemas Gugat Dualisme DPD ke Mahkamah Konstitusi

GKR Hemas (tengah) bersama Irmanputra Sidin (kanan) di Jakarta, Selasa (8/1/2019). (Foto: VOA/Ahmad Bhagaskoro)

Polemik dualisme kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berlanjut ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota nonaktif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara terkait dualisme kepemimpinan DPD ke Mahkamah Konstitusi. Dualisme tersebut yaitu antara kepemimpinan GKR Hemas dan Farouk Muhammad DPD RI periode 2014-2019, melawan DPD RI periode 2017-2019 di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang dan Nono Sampono. Menurut Hemas, langkah hukum tersebut mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo.

"Jadi ini mendapat sambutan yang cukup baik dari Presiden. Dan juga tadi setelah memahami semua yang disampaikan Bapak Irmanputra Sidin secara hukumnya. Bapak Presiden merestui saya maju ke Mahkamah Konstitusi," tutur GKR Hemas di Jakarta, Selasa (8/1).

GKR Hemas menambahkan pemberhentian sementara dirinya oleh Badan Kehormatan sebagai anggota DPD RI dengan alasan sering tidak hadir dalam rapat-rapat DPD juga tidak berdasar. Ia beralasan ketidakhadirannya dilengkapi dengan surat tertulis. Di samping itu, langkah tersebut dilakukan karena Hemas tidak mengakui kepemimpinan Oesman Sapta dan kawan-kawan.

Kuasa hukum GKR Hemas Irmanputra Sidin menambahkan pemberhentian sementara GKR Hemas bertentangan dengan Pasal 313 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Dalam pasal tersebut dijelaskan, anggota DPD dapat diberhentikan sementara jika menjadi terdakwa tindak pidana dengan ancaman penjara minimal 5 tahun.

Hemas, kata dia, juga ingin melaksanakan putusan Mahkamah Agung tahun 2017 yang menjelaskan masa jabatan pimpinan DPD dari 2014 sampai dengan 2019, bukan periode 2017-2019. Karena itu, Iman berharap MK segera memutus sengketa ini agar jelas kepemimpinan DPD.

"Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk menentukan lembaga yang terkloning ini, mana yang sah dan berwenang melakukan kewenangan konstitusional DPD. Sebab kalau tidak seperti itu, pengambil alihan kekuasaan atau kewenangan itu bisa terjadi pada lembaga kepresidenan atau lembaga manapun," jelas Irmanputra Sidin.

Irmanputra Sidin khawatir dualisme kepemimpinan DPD akan mempengaruhi produk-produk hukum yang dibuat DPD bersama DPR dan pemerintah.

OSO Siap Hadapi Gugatan Sengketa Kelembagaan

Oesman Sapta Odang, Ketua DPD RI periode 2017-2019 (Courtesy: Facebook).

Menanggapi itu, kuasa hukum Oesman Sapta Odang (OSO), Herman Kadir mengatakan siap menghadapi gugatan sengketa kelembagaan yang diajukan oleh kubu GKR Hemas. Kendati demikian, ia menilai MK semestinya menolak pengajuan sengketa kelembagaan tersebut karena tidak ada dasar hukumnya.

"Kami sudah mempersiapkan jawaban untuk itu. Terus terang Mahkamah Konstitusi tidak ada kewenangan untuk mengadili ini. Kalau antar lembaga negara memang diatur dalam Undang-undang. Tapi kalau persoalan jabatan internal DPD yang dipersoalkan, itu keliru kalau MK mempersoalkan," jelas Herman Kadir, Rabu (9/11).

Sementara itu Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis menghormati keputusan GKR Hemas yang mengajukan sengketa kelembagaan DPD ke Mahkamah Konstitusi. Namun, ia kurang sependapat dengan istilah dualisme kepemimpinan DPD. Sebab, menurutnya, kepemimpinannya bersama OSO dan Nono telah diambil sumpah sejak 14 April 2017 lalu. Darmayanti tetap berharap GKR Hemas mau menyelesaikan persoalan ini secara internal yakni melalui Badan Kehormatan DPD.

DPD Dilanda Polemik Sejak 2017

Polemik pemotongan jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun bermula ketika DPD menyetujui perubahan Tata Tertib (Tatib) DPD Nomor 1 Tahun 2017. Tatib ini berakibat masa jabatan GKR Hemas dan 2 pimpinan DPD lainnya berakhir per 1 April 2017.

Tatib ini kemudian dibatalkan MA, namun Sidang Paripurna DPD kembali mengubah tentang masa jabatan ini menjadi Tatib DPD No 3 Tahun 2017. Hingga pada 4 April 2017, terpilih 3 pimpinan DPD periode 2017-2019 yakni Oesman Sapta Odang, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis. (Ab/em)