Gletser di Hindu Kush Himalaya dapat kehilangan hingga 75 persen volumenya pada akhir abad ini karena pemanasan global. Mencairnya gletser tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan banjir dan kekurangan air bagi 240 juta orang yang tinggal di wilayah pegunungan, menurut studi terbaru.
Sebuah tim ilmuwan internasional menemukan bahwa hilangnya es di wilayah tersebut, rumah bagi puncak Everest dan K2 yang terkenal, semakin cepat. Selama 2010-an, gletser tersebut diperkirakan akan meruntuhkan es sebanyak 65 persen lebih cepat daripada yang terjadi pada dekade sebelumnya. Demikian penilaian International Center for Integrated Mountain Development (ICIMOD) yang berbasis di Kathmandu, sebuah otoritas ilmiah antar pemerintah di wilayah tersebut.
“Kami kehilangan gletser, dan kami kehilangannya dalam waktu 100 tahun,” kata Philippus Wester, seorang ilmuwan lingkungan dan peneliti ICIMOD yang merupakan penulis utama laporan tersebut.
Hindu Kush Himalaya membentang sepanjang 3.500 km melintasi sejumlah negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, China, India, Myanmar, Nepal, dan Pakistan.
Yak yang membawa peralatan pendakian kembali ke base camp setelah ekspedisi Gunung Everest dibatalkan di Kabupaten Solukhumbu 27 April 2014. (Foto: Reuters)
Pada tingkat pemanasan 1,5 derajat Celcius atau 2 derajat Celsius di atas suhu praindustri, gletser di seluruh wilayah akan kehilangan 30-50 persen volumenya pada 2100, kata laporan itu.
Namun di mana gletser akan mencair sangat tergantung pada lokasi. Pada pemanasan 3 derajat Celsius gletser di Himalaya Timur, yang mencakup Nepal dan Bhutan, akan kehilangan hingga 75 persen esnya. Namun jika pemanasan global mencapai 4 derajat Celsius, maka volume es yang mencair bisa mencapai 80 persen.
Para ilmuwan telah berjuang untuk menilai bagaimana perubahan iklim mempengaruhi Hindu Kush Himalaya. Tidak seperti Pegunungan Alpen Eropa dan Pegunungan Rocky Amerika Utara, kawasan ini tidak memiliki catatan sejarah panjang tentang pengukuran lapangan yang mengungkap apakah gletser meningkat atau menyusut.
Pada 2019, Amerika Serikat mendeklasifikasi citra satelit mata-mata dari gletser di kawasan itu sejak 1970, memberikan dasar ilmiah baru.
BACA JUGA: Penilaian Baru Iklim Global Bertujuan Mengukur Kemajuan
Kemajuan lebih lanjut dalam teknologi satelit dalam lima tahun terakhir, di samping upaya lapangan yang didukung, ikut mendukung pemahaman para ilmuwan tentang perubahan yang sedang berlangsung. Laporan tersebut mengacu pada data yang berjalan hingga Desember 2022.
Dengan pemahaman yang baru ditemukan ini muncul keprihatinan besar bagi orang-orang yang tinggal di Hindu Kush Himalaya.
Laporan tersebut menemukan aliran air di 12 lembah sungai di kawasan itu, termasuk Gangga, Indus, dan Mekong, kemungkinan akan mencapai puncaknya sekitar pertengahan abad, dengan konsekuensi bagi lebih dari 1,6 miliar orang yang bergantung pada pasokan ini.
Gunung Everest, puncak tertinggi dunia, dan puncak pegunungan Himalaya lainnya terlihat melalui jendela pesawat selama penerbangan gunung dari Kathmandu, Nepal, 15 Januari 2020. (Foto: REUTERS/Monika Deupala)
"Meskipun kedengarannya seperti kita akan memiliki lebih banyak air karena gletser mencair dengan kecepatan yang meningkat ... terlalu sering hal itu akan muncul sebagai banjir alih-alih aliran yang stabil," kata Wester. Melewati puncak air, persediaan pada akhirnya akan berkurang.
Mencairnya gletser juga menimbulkan bahaya bagi masyarakat yang tinggal di hilir. Kolam limpasan di danau dangkal, tertahan oleh bebatuan dan puing-puing. Risiko datang ketika danau meluap, menerobos penghalang alaminya dan mengirimkan semburan air yang mengalir deras ke lembah pegunungan.
Pemerintah berusaha untuk mempersiapkan perubahan ini. China bekerja untuk menopang pasokan air negara itu. Dan Pakistan memasang sistem peringatan dini terkait luapan banjir danau glasial. [ah/rs]