Greenpeace: Indonesia Berpotensi Jadi Pencemar Karbon Terbesar

  • Fathiyah Wardah

Seorang pria mendayung perahu di Sungai Siak, mementos asap tipis akibat kebakaran hutan di kota Pekanbaru, Riau province, Indonesia (5/10).

Luasnya kebakaran hutan dan lahan di sebagian Indonesia sejak awal Juli hingga kini membuat organisasi lingkungan hidup Greenpeace memperkirakan Indonesia bakal menjadi salah satu pencemar karbon terbesar di dunia pada 2015.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Bustar Maitar kepada VOA mengatakan apabila kebakaran hutan ini tidak segera berhenti setidaknya sampai akhir tahun ini maka kemungkinan besar Indonesia bisa menjadi salah satu negara pencemar karbon terbesar di dunia.

Berdasarkan data World Resources Institute (WRI), emisi akibat kebakaran hutan dan lahan tahun ini telah mencapai 1.043 juta ton ekuivalen, atau sudah lebih tinggi dari emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh Jerman dan Belanda pada tahun 2013.

Sementara jika dibandingkan dengan angka emisi nasional tahun 2015 yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlahnya sudah mencapai 1.636 juta ton Co2.

Menurut Greenpeace Indonesia, emisi kebakaran hutan dan lahan di sebagian Indonesia sejak Juli – September 2015 sudah mencapai 63,7 persen dari angka emisi nasional itu, dimana 18 persen lainnya mencakup emisi akibat kebakaran gambut.

Dengan kondisi seperti itu , menurut Bustar target pengurangan emisi 29 persen atau 41 persen pada tahun 2030, sebagaimana yang dijanjikan pemerintah Indonesia, sulit tercapai. Masalah emisi ini diperkirakan akan menjadi isu yang dipertanyakan dunia internasional dalam Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Paris akhir tahun nanti.

“Saat ini emisi yang terjadi akibat kebakaran hutan sampai hari ini kita sudah menyamai emisi negara Jerman pada 2013 dan itu artinya sudah sangat besar sekali,” kata Bustar Maitar.

Bustar Maitar menambahkan sebenarnya penyelesaian kebakaran hutan tidak bisa dilihat dari aspek pemadamannya saja tetapi juga aspek pemicu kebakaran yang terjadi setiap tahun itu.

Ironisnya, kata Bustar pemicu kebakaran yang notabene perusahaan-perusahaan sawit dan kertas, masih diperbolehkan membuka lahan. Padahal selama bertahun-tahun diketahui, pembukaan hutan dan lahan gambut itu merupakan sumber kebakaran hutan. Tata pengelolaan hutan yang masih tumpang tindih itu menyulitkan proses pengawasan dan tindakan hukum terhadap para pelaku.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi paru-paru dunia, untuk itu pemerintah Indonesia sebenarnya harus benar-benar menjaganya. Meski banyak negara memberikan bantuan untuk memadamkan kebakaran, tanggungjawab terbesar tetap ada di tangan pemerintah Indonesia.

“Paling tidak emisi level yang ada sekarang 2015 itu dimasukan dalam perhitungan baru untuk mencapai target pengurangan emisi 29 itu. Soal bantuan, namanya juga bantuan artinya dibantu tapi effort yang paling besar harus datang dari Indonesia,” lanjutnya.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei mengakui bahwa emisi karbon Indonesia akan tinggi akibat kebakaran hutan ini. Pemerintah ujar Willem,sudah berusaha keras memadamkan api dan mengatasi dampak yang ditimbulkan, tetapi pergerakan angin yang sangat kencang, tingkat kekeringan dan gelombang El-Nino justru semakin menambah titik api dan kabut asap.

“Kita sudah berhasil memadamkan area tetapi kebakaran baru terjadi karena api menjalar di bawah permukaan, di bawah permukaan karena daratannya begitu panas karena temperatur, percikan api bisa terbakar. Apa yang kita lakukan untuk isolasi jadi di tepian itu kita siram air yang dicampur dengan bahan kimia. Lalu kita buat sekat bakar, ditepi pohonnya kita tebang semua supaya tidak merambat lalu kita lapisi lagi dengan kanal blocking jadi kanal yang lebarnya 3-4 meter diisi dengan air supaya apinya tidak melonjat. Itupun masih melonjat karena angin,” kata Willem Rampangilei.

Willem menambahkan meski membantu, tetapi bantuan yang ditawarkan negara-negara tetangga tidak terlalu signifikan. Pesawat bantuan dari Malaysia dan Australia untuk memadamkan kebakaran itu sudah ditarik. Bantuan itu hanya untuk 5-6 hari saja. Hingga kini hanya ada pesawat dari Singapura yang bertahan.

Mengingat titik api di sebagian Sumatera, Kalimantan dan kini ke Maluku dan Papua, terus bertambah maka pemerintah menyewa 10 pesawat dari Rusia, Australia, Kanada dan Amerika. Willem berharap ke-10 pesawat itu akan tiba dalam satu atau dua minggu ini. [fw/eis]