Sekelompok mahasiswa Papua menyampaikan penolakan, ketika Gubernur Papua dan Gubernur Jawa Timur datang untuk berdialog dengan mereka, di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, pasca insiden tanggal 16 Agustus lalu. Insiden itu diwarnai dengan ucapan-ucapan bernuansa rasial, yang memicu demonstrasi di beberapa daerah.
Teriakan menyuruh pulang, hujatan, hingga tuntutan untuk memerdekakan Papua menggema ketika rombongan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, tiba di Jalan Kalasan, Surabaya, Selasa petang (27/8) untuk berdialog dengan mahasiwa asal Papua. Poster-poster bertulisakan “Siapa Saja Yang Datang Kami Tolak”, serta spanduk bertuliskan “Referendum”, menyambut kedatangan dua pejabat ini.
Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Luki Hermawan mengatakan, penolakan mahasiswa di asrama Jalan Kalasan dikarenakan kurang baiknya komunikasi yang terjalin. Ditambahkannya, akan ada penjadwalan ulang pertemuan utusan Gubernur Papua dengan mahasiswa di asrama itu.
“Bukan tidak berhasil, ini ada terjadi miss komunikasi yang mana adanya tidak sesuai dengan apa yang, tadinya harusnya Bapak Gubernur (Papua) saja (yang datang), namun tadi rombongan terlalu banyak sehingga ada miskomunikasi,” kata Irjen Pol.Luki Hermawan.
Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Pertemuan keduanya merupakan upaya meredam ketegangan dan demonstrasi di beberapa daerah, pasca insiden anggal 16 Agustus di asrama Jalan Kalasan, Surabaya.
BACA JUGA: Perwakilan Pendeta Papua Temui Gubernur Jawa TimurLukas Enembe mengatakan, pertemuannya dengan Khofifah untuk menitipkan anak-anak Papua yang sedang belajar di Jawa Timur.
“Kita hanya sampaikan, jaga anak-anak saya di Surabaya, itu saja. Kita ini kan negara kesatuan, perbedaan kita 400 lebih suku itu salah satu orang Papua, tolong jaga anak-anak saya yang datang untuk cari ilmu di sini,” jelas Lukas Enembe.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sebelumnya telah meminta maaf secara langsung kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, dan menegaskan peristiwa rasial yang terjadi tidak mewakili masyarakat Jawa Timur. Khofifah memastikan bahwa anak-anak Papua akan mendapatkan perlindungan dan rasa nyaman untuk belajar dan beraktivitas di Jawa Timur.
“Bahwa anak-anak kami yang ada di Jawa Timur haruslah mereka merasa aman, mereka merasa nyaman, mereka terlindungi, siapapun mereka, pada saat mereka mencari ilmu, pada saat mereka bekerja, pada saat mereka berkunjung dan seterusnya,” kata Khofifah Indar Parawansa.
Pakar politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi mengatakan, konflik yang melibatkan mahasiswa Papua dan sejumlah kelompok masyarakat di Jawa Timur bisa jadi karena adanya kepentingan politik tertentu. Semua pihak diminta bertindak bijaksana dan dewasa menyikapi hal ini, sehingga penyelesaian konflik secara damai dan berkeadilan dapat terlaksana.
“Sering kali dalam setiap konflik, kepentingan-kepentingan politik itu mungkin terjadi, tapi kepentingan-kepentingan politik yang mencoba memanfaatkan persoalan seperti ini, itu kan bisa diredam ketika masing-masing pihak itu memiliki kearifan, memiliki kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang dewasa. Dan cara yang bijaksana dan dewasa itu adalah dengan saling menghormati. Dalam setiap kebijakan yang diambil, itu juga memperhatikan rasa keadilan yang terusik dari masing-masing pihak,” jelas Airlangga Pribadi.
Airlangga Pribadi mengajak semua pihak untuk kembali pada kesadaran mengenai keanekaragaman yang ada di Indonesia, yang harus disikapi dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.
“Memang kesadaran bahwa Indonesia ini adalah plural, berbhinneka, ini menjadi sangat penting, dan pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini adalah masing-masing pihak itu bisa memperkuat semangat toleransi, pluralisme, dan menahan diri untuk bersikap lebih arif terhadap persoalan yang ada,” jelas Airlangga Pribadi. [pr/em]