Koalisi pemerintahan Israel pada hari Senin (20/3) mengajukan revisi elemen penting dalam perombakan sistem peradilan negara itu, dengan harapan dapat menghapus kekhawatiran di dalam dan luar negeri terkait demokrasi Israel.
Negara itu menghadapi gelombang unjuk rasa selama 11 minggu berturut-turut untuk memprotes rancangan undang-undang reformasi peradilan, yang tengah dibahas di parlemen dan akan memberi kekuasaan yang lebih besar terhadap politisi ketimbang pengadilan.
RUU yang akan mengubah cara pemilihan hakim di Israel telah diubah setelah pemungutan suara pascapembacaan pertama, kata Partai Likud pimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (20/3), dengan alasan hal itu akan menciptakan keseimbangan yang lebih baik dalam sistem pengadilan.
Versi baru RUU tersebut, yang diklaim telah didukung seluruh anggota partai itu, akan menempatkan lebih banyak anggota parlemen dan anggota lembaga peradilan ke panel penunjukan hakim, dibandingkan apa yang tercantum pada versi sebelumnya.
Penentang RUU itu telah menuduh Netanyahu, yang sedang disidang dalam kasus korupsi yang ia sangkal, mencoba memanfaatkan reformasi tersebut untuk membatalkan kemungkinan vonis yang akan dihadapinya. Sang perdana menteri menolak tuduhan itu.
Partai Likud yang berhaluan kanan membela versi baru RUU itu, yang disebutnya “tidak akan membiarkan koalisi ataupun oposisi mengambil alih pengadilan, namun memastikan keberagaman dalam pemilihan para hakim.”
Ketua oposisi, Yair Lapid, mengatakan bahwa versi baru RUU itu merupakan “kebohongan” dan tidak mewakili bentuk kompromi.
“Jika perubahan dalam komite pemilihan hakim disahkan, maka hal itu sama saja dengan upaya pengambilalihan sistem pengadilan secara agresif dan berbahaya oleh para politisi yang bengis,” kata Lapid dalam sebuah pernyataan.
RUU yang sudah direvisi itu harus lolos terlebih dahulu dalam pemungutan suara komite hukum parlemen sebelum dibacakan untuk kedua, ketiga dan terakhir kalinya di sidang paripurna.
Dalam sambungan telepon dengan Netanyahu pada Minggu (19/3), Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyuarakan dukungannya terhadap sebuah bentuk “kompromi” dan menekankan pentingnya “sistem check and balances yang murni,” kata Gedung Putih.
Koalisi Netanyahu, yang dilantik akhir tahun lalu dan mencakup partai Yahudi ultra-Ortodoks dan partai-partai sayap kanan ekstrem, mengklaim reformasi sistem peradilan Israel diperlukan untuk membatasi jangkauan lembaga hukum.
Kritikus mengatakan bahwa reformasi yang mencakup kewenangan anggota parlemen untuk mengesampingkan keputusan Mahkamah Agung dan mencegah hakim membatalkan undang-undang tersebut mengancam demokrasi Israel dengan melemahkan mekanisme check and balances, atau pembagian kekuasaan.
Partai-partai koalisi, dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis pada Senin (20/3), mengatakan mereka berencana memfinalisasi RUU pemilihan hakim dalam beberapa minggu ke depan, sebelum parlemen memasuki masa reses bulan depan.
RUU lain yang termasuk ke dalam upaya reformasi baru akan dibahas kembali pada sesi musim panas nanti, untuk membuka “dialog yang sesungguhnya” dengan pihak oposisi, menurut pernyataan tersebut. [rd/jm]