Untuk mengatasi radikalisme di Indonesia, pemerintah menerapkan program deradikalisasi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menawarkan konsep lain, yaitu moderasi beragama.
Indonesia sebenarnya bangsa yang moderat. Salah satu faktornya adalah karena bangsa ini disusun oleh begitu banyak suku. Tidak mengherankan, konsensus nasional melahirkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut Pancasila sebagai titik temu semua ideolog, paham dan orientasi. Karena itulah, kata Haedar, sikap moderat penting bagi Indonesia.
“Modal dasar ini perlu menjadi kekuatan kita untuk merancang Indonesia dan keindonesiaan yang moderat, dengan cara yang moderat. Menghadapi yang radikal pun, kita lakukan dengan cara yang moderat, bukan dengan cara yang radikal,” ujar Haedar.
Pernyataan itu adalah bagian dari pidato Haedar ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/12). Pidato tersebut mengambil tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi. Hadir dalam acara ini sejumlah tokoh seperti Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko PMK Muhadjir Effendy, Mensesneg Pratikno, Mantan Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan sejumlah tokoh partai politik.
Radikalisme menjadi salah satu bahasan dalam pidato ini. Haedar melihat, istilah radikal selama ini telah mengalami kekeliruan penempatan. Istilah tersebut, ujarnya lagi, sebenarnya memiliki pengertian yang netral dalam khazanah ilmu pengetahuan. Karena penempatan yang keliru, radikalisme belakangan ditempelkan hanya kepada kalangan tertentu.
Selain mengkritisi pemakaian istilah radikal dan radikalisme, Haedar juga menilai upaya untuk mengatasi gejala itu kurang tepat. Selama ini, pemerintah menerapkan program deradikalisasi yang merupakan dekonstruksi terhadap radikalisasi itu sendiri.
Karena itulah, dia menawarkan konsep moderasi beragama sebagai strategi baru untuk melawan meningkatnya aksi kekerasan, karena kekeliruan tafsir terhadap ajaran agama.
Your browser doesn’t support HTML5
Ada tiga alasan yang dikemukakan Haedar terkait ini. Pertama, tindakan radikal terhadap radikalisme dalam jangka panjang akan melahirkan radikalisme baru. Dalam konteks ini, Haedar menawarkan moderasi sebagai jalan yang punya kekuatan untuk melawan segala bentuk radikalisme dan ekstrimisme. Alasan kedua, moderasi di Indonesia, kata Haedar, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari sikap penduduknya yang memang berwatak moderat. Ketiga, dalam konteks kehidupan kebangsaan, moderasi cocok karena sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi moderat.
“Pancasila menjadi titik tumpu, agar tetap di tengah dari segala tarik-menarik baik ke kanan maupun ke kiri,” tambah Haedar.
Radikalisme Tanpa Makna Sempit
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, setuju dengan penilaian Haedar Nashir tentang kekeliruan paham terkait istilah radikalisme.
“Bahwa ada juga radikalisme berpikir. Dia ingin mengubah sesuatu. Maka apabila radikalisme diartikan sebagai perubahan yang cepat dalam pemerintahan, reformasi adalah radikalisme. Kita semua ada di sini karena radikalisme,” kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla juga percaya pada gagasan Haedar Nashir mengenai moderasi, yang dinilainya akan mampu menghadirkan jalan tengah terbaik.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah sekaligus tokoh bangsa, Ahmad Syafii Maarif juga mengapreasiasi pemikiran Haedar.
“Kita semua berbahagia dan Haedar pendekatannya juga sangat imbang. Jadi radikalisme itu tidak dalam arti yang sempit, dimana-mana ada radikalisme. Tetapi segala bentuk radikalisme yang negatif itu harus ditiadakan, siapapun dan dari manapun datangnya,” kata Syafii Maarif.
Pada bagian lain pidatonya, Haedar juga menekankan bahwa khusus bagi umat Islam Indonesia, sangat penting untuk terus menembangkan moderasi Islam. Konsep itu berarti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Haedar tidak menampik kenyataan masih dijumpa keberagamaan ekstrem atau radikal-ekstrem di tubuh umat Islam, sehingga memerlukan moderasi.
Moderasi Beragama: Tren Dunia
Politikus PSI, Tsamara Amany mengaku menyukai sodoran pemikiran Haedar Nashir soal moderasi. Dia mengajak semua pihak untuk tidak menutup pemikiran atau anti terhadap pemikiran baru.
“Saya pikir yang dijelaskan Pak Haedar, pendekatan moderasi itu, justru akan lebih kuat dan akan bertahan lama di masyarakat Indonesia, juga untuk pendidikan. Dibanding pendekatan deradikalisasi, itu bisa jadi jalan tengah yang efektif untuk Indonesia ke depan,” ujar Tsamara yang turut menghadiri acara di Yogyakarta.
Respon positif juga disampaikan Menteri Agama, Fachrul Razi. Ditemui seusai pidato, dia menekankan bahwa moderasi telah menjadi bagian dari kampanye pemerintah selama ini. Tidak hanya di dalam negeri, ajakan untuk berpikir lebih moderat juga disampaikan kepada komunitas di luar negeri.
“Kemarin waktu saya ke Saudi Arabia, juga banyak cerita tentang moderasi. Dan sepertinya Saudi juga melakukan hal-hal yang mirip-mirip juga dengan yang kita lakukan di sini. Jadi kalau saya lihat, masalah moderasi beragama ini sudah menjadi program dunia Islam. Sepertinya begitu. Kalau tidak, memang kita akan sulit maju,” ujar Menteri Agama.
Fachrul Razi memberi contoh apa yang terjadi di Saudi saat ini, dengan pemahaman bahwa penguatan identitas keagamaan harus sejalan dengan identitas kebangsaan.
Haedar mencatat, Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin sangat tepat mengambil kebijakan konstruktif. Kebijakan itu adalah pengembangan moderasi beragama di Indonesia sebagai arus utama dalam kehidupan kebangsaan. Dia juga mengatakan, sejak 2004, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengkampayekan Islam Moderat sebagai perwajahan Islam Indonesia. Melalui wacana ini, Islam dipersepsikan sebagai ‘moderat’ dan ‘toleran’, serta inheren dengan demokrasi.
Sejauh ini, ujar Haedar, dua organisasi Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan NU telah menjadi kekuatan moderat sekaligus mewakili sipil Islam yang kuat. Keduanya memainkan peran penting dalam mereproduksi norma-norma demokrasi dan menegakkan komitmen resmi negara terhadap pluralisme agama.
Pada masyarakat yang mampu beragama dengan moderat, radikalisme dalam bentuk kekerasan akibat kekeliruan tafsir atas ajaran agama itu sendiri, otomatis akan dapat diatasi. [ns/lt]