Kaum perempuan pada saat ini memang masih rentan dalam segala hal. Dari sisi pekerjaan, masih banyak sekali hak-hak pekerja perempuan yang tidak dipenuhi, baik untuk pekerjaan formal maupun untuk pekerjaan informal.
Dian Septi Trisnanti dari Departemen Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengatakan posisi pekerja perempuan makin tersudutkan karena ada beberapa ranah pekerjaan yang didominasi pekerja perempuan yang belum terlindungi baik itu oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun hukum, sehingga hak pekerja perempuan semakin tertindas.
Pelanggaran umumnya terjadi pada buruh perempuan yang bekerja di sektor padat karya, ujar Dian. Berdasarkan penelitian Never Okay terhadap 1.240 responden di 34 provinsi, sekitar 44% buruh perempuan Indonesia mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dimana 89,84% dalam bentuk pelecehan lisan, sekitar 87,98% pelecehan fisik, dan sekitar 70,65% pelecehan isyarat. Pelecehan seksual juga menimpa pekerja lelaki yaitu sebesar 40%.
Lebih jauh Dian menjelaskan, sampai saat ini pekerja perempuan juga kerap dieksploitasi secara fisik, karena ada ranah pekerjaan seperti di bidang media yang mensyaratkan penerimaan perempuan yang harus berparas menarik dan cantik. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan hanya sekedar menjadi “aksesoris” semata, dan menjadikan tingkat diskriminasi semakin tinggi.
Your browser doesn’t support HTML5
“Karena UU ketenagakerjaan nomor 13 itu lebih condong pekerjaan di bidang manufaktur, tapi pekerjaan informal seperti pekerja rumah tangga, buruh migran itu belum terakomodir, juga pekerja di industri media dan kreatif, kita tahu menuju industri 4.0 itu banyak jenis pekerjaan baru yang makin fleksibel, bisa dengan bekerja dimana saja. Ini tidak terlindungi. Belum lagi fungsi kerja di manufaktur seperti cuti haid, cuti hamil/melahirkan lalu juga di media bagaimana tubuh perempuan menjadi objek misalnya ada syarat harus cantik, berpenampilan menarik dengan tinggi dan berat badan tertentu, itu menunjukkan bahwa hak-hak pekerja perempuan belum banyak diakomodir termasuk tentang kekerasan seksual di tempat kerja,” ungkapnya kepada VOA.
Ditambahkannya, komposisi pekerja perempuan dan laki-laki juga masih timpang. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2018, jumlah angkatan tenaga kerja perempuan hanya 55,44% dibanding dengan angkatan pekerja lelaki yang berjumlah 83,01%. Meski prosentase angkatan kerja perempuan meningkat 0,04% dari tahun sebelumnya, namun tetap masih belum setara dengan jumlah angkatan pekerja lelaki. Hal itu menyebabkan mayoritas perempuan tidak berpenghasilan dan menyumbang sebagian besar angka kemiskinan di Indonesia.
Dian menjelaskan, pengawasan pemerintah yaitu Dinas Ketenagakerjaan masih sangat buruk sehingga kejadian yang tidak diinginkan kepada pekerja perempuan terus berulang. Seharusnya, kata Dian, pemerintah bisa bekerja sama dengan serikat pekerja yang ada disetiap perusahaan untuk bersama-sama mengawasi agar UU dan perlindungan hukum bisa berjalan dengan efektif.
Pihaknya berharap, kedepan pemerintah bisa lebih memihak kepada pekerja perempuan dalam hal membuat kebijakan. Namun ia meragukan hal itu dapat terjadi, pasalnya masih rendahnya keterwakilan perempuan baik di dalam lingkup pemerintahan maupun anggota dewan menjadikan wakil rakyat perempuan pun seolah tidak kuasa menyuarakan suara perempuan di Indonesia dengan dominannya kaum laki-laki.
“Cuma persoalannya adalah saluran keterwakilan perempuan ini kadang terputus karena seberapa kuatkah perempuan yang ada dalam pemerintahan, di anggota dewan denqan berhadap-hadapan dengan kultur patriarki, maskulinitas, yang ada didalam pemerintahan, yang tentu saja perspektifnya tidak berpihak kepada perempuan, apakah teman-teman perempuan di pemerintahan cukup punya perspektif perempuan, nah itu tantangannya, selama ini kan saluran keterwakilan perempuan ini putus, kaya lemah didalam gimana supaya hak-hak perempuan terwakili, contohnya RUU P-KS,” jelasnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohanna Yembise mengatakan pemerintah sangat concern terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan. Pihaknya, kata Yohanna juga kerap mengunjungi perusahaan yang didominasi oleh pekerja perempuan guna melihat apa saja permasalahan yang ada dilapangan. Selanjutnya, permasalahan ini juga Yohanna terus koordinasikan dengan pihak Kementerian Ketenagakerjaan agar terus dilakukan perbaikan. Kedepan, pemerintah juga berencana untuk melakukan revisi UU Ketenagakerjaan. Meski tidak secara spesifik menjelaskan revisi apa yang akan dilakukan, namun Yohanna memastikan revisi ini akan berpihak kepada pekerja perempuan.
“Itu saya komunikasikan dengan Menaker untuk kalau bisa melihat kasus-kasus yang terjadi dilapangan termasuk wanita yang mereka cuti haid, atau cuti melahirkan dan lain-lain, mereka dengan kondisi hamil tetap dikasih kesempatan untuk bekerja namun diprioritaskan termasuk juga ya masalah gaji saya pikir itu menjadi perhatian utama kita. Memang dalam UU sudah ada semua sudah punya hak sama di negara ini, tidak ada beda . Saya mengharapkan kebijakan kedepan lebih responsif gender, mungkin kita mengevaluasi kembali lagi UU tenaga kerja, mungkin ada hal-hal lain yang belum di perhatikan sesuai dengan situasi-situasi kekinian ini dan itu bisa dilihat bagaimana harmonisasi UU bisa dilakukan sehingga hak-hak perempuan tetap diperhatikan,” papar Yohanna.
Merespon fenomena ini, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri akui bahwa pengawasan di lapangan terkait upah, masih kurang sehingga masih banyak perusahaan yang melanggar. Menurutnya perlu penguatan pengawasan di lapangan agar hal tersebut tidak terulang lagi.
Selain itu, Hanif mengatakan bahwa pekerja perempuan kerap dihadapkan pada pilihan yang sulit yaitu antara bekerja dan mengurus rumah tangga serta keluarga. Jam kerja di setiap perusahaan yang kurang fleksibel menjadikan kaum perempuan mempunyai beban yang berat dibandingkan dengan laki-laki. Ia berniat membuat kebijakan yang memihak pekerja perempuan terkait jam kerja, sehingga angkatan tenaga kerja perempuan bisa bertambah.
“Satu hal yang saya pikirkan, tapi ini baru pikiran saya ya, satunya saya pengen mendorong partisipasi angkatan pekerja perempuan ini bisa meningkat, sekarang ini kan kisarannya sekitar 50an persen, dibandingkan laki-laki yang diatas 70 persen, salah satu penyebabnya mungkin ini analisis saya adalah karena jam kerja yang boleh dibilang kurang fleksible atau kaku, karena orang hanya bisa kerja di aturannya kan 8 jam per hari dan 40 jam per minggu sehingga perempuan selalu menghadapi dilema, antara ruang publik dengan keluarga, antara dia bekerja atau dengan ngurus keluarga, padahal pasti kalau ditanya kan rata-rata ya maunya kalau bisa dua-duanya, jam kerja yang kaku ini memungkinkan tidak kedua-duanya, jadi boleh jadi kedepan untuk di reform,” tegas Hanif. [gi/em]