Hakim Tunda Putusan soal Vonis Hukuman atas Trump dalam Kasus Uang Suap 

Mantan Presiden Donald Trump saat hadiri persidangan pidana atas tuduhan menutupi pembayaran uang tutup mulut di Pengadilan Pidana Manhattan, New York City, 30 Mei 2024.

Hakim menunda pengambilan keputusan apakah akan membatalkan vonis bersalah yang dijatuhkan terhadap Presiden-terpilih Donald Trump dalam kasus uang tutup mulut, akibat adanya putusan Mahkamah Agung AS terkait kekebalan hukum presiden.

Hakim New York Juan M. Merchan sebelumnya dijadwalkan mengambil keputusan itu pada hari Selasa, 12 November. Akan tetapi, ia memberi tahu pengacara Trump pada Selasa bahwa ia menunda putusan itu hingga 19 November mendatang.

Menurut sejumlah surat elektronik dalam berkas pengadilan, pengacara Trump Emil Bove meminta penundaan tersebut pada akhir pekan lalu, dengan alasan bahwa penundaan – dan pada akhirnya mengakhiri kasus tersebut sepenuhnya – “penting demi menghindari hambatan yang tidak konstitusional terhadap kemampuan Trump untuk memerintah.”

Para jaksa setuju dengan penundaan tersebut.

Trump kembali memenangkan kursi kepresidenan seminggu yang lalu, akan tetapi masalah hukum yang dihadapi Trump menjerat dirinya sebagai seorang mantan presiden, bukan sebagai presiden-terpilih.

Mei lalu, juri memutuskan bahwa Trump bersalah karena memalsukan catatan bisnis yang terkait dengan pembayaran uang sebesar $130 ribu (sekitar Rp2 miliar) kepada bintang porno Stormy Daniels pada tahun 2016. Uang itu dibayarkan untuk menutup mulut Daniels soal klaim bahwa ia pernah berhubungan seks dengan Trump.

BACA JUGA: Ditolak Ketiga Kalinya, Permintaan Trump untuk Ganti Hakim Kasus Uang Tutup Mulut

Trump menyangkal klaim tersebut dan mengaku tidak berbuat salah. Ia berkeras bahwa pendakwaannya bermotif politik dengan tujuan untuk merugikan kampanye pilpresnya.

Sekitar satu bulan lebih setelah vonis dijatuhkan, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa para mantan presiden tidak dapat dituntut secara hukum atas tindakan yang mereka ambil ketika menjabat presiden, dan jaksa tidak dapat mengutip tindakan-tindakan tersebut, bahkan untuk mendukung kasus yang murni berfokus pada tindakannya dalam kapasitas pribadi.

Pengacara Trump mengutip putusan MA AS tersebut untuk berargumen bahwa juri dalam kasus uang suap mempertimbangkan barang bukti yang seharusnya tidak boleh dihadirkan, seperti formulir pengungkapan kondisi keuangan kepresidenan Trump serta kesaksian dari beberapa pembantu Gedung Putih.

Para jaksa tidak setuju dan mengatakan bahwa bukti yang dipermasalahkan hanya “potongan kecil” dari kasus yang mereka bawa.

Vonis pidana terhadap Trump merupakan yang pertama kalinya terjadi kepada seroang mantan presiden di Amerika. Trump terancam hukuman berupa denda atau masa percobaan, hingga empat tahun penjara.

Kasus itu berpusat pada bagaimana Trump membayar uang pengganti kepada pengacara pribadinya atas pembayaran kepada Daniels.

Pengacara Trump Michael Cohen menalangi pembayaran itu. Ia kemudian menerima uang penggantinya melalui serangkaian pembayaran yang oleh perusahaan Trump dicatat sebagai biaya hukum. Trump, yang pada saat itu sudah menjabat sebagai presiden, menandatangani sendiri sebagian besar cek tersebut.

Para jaksa mengatakan bahwa pencatatan tersebut dimaksudkan untuk menutupi maksud pembayaran yang sesungguhnya, dan membantu upaya yang lebih besar agar pemilih tidak mengetahui klaim-klaim tidak terpuji yang meliputi politisi Partai Republik itu pada pencapresannya yang pertama kali.

Trump mengatakan bahwa Cohen telah secara sah dibayar atas jasa hukumnya, dan bahwa kisah soal Daniels ditutup-tutupi untuk menghindarkan keluarganya dari rasa malu, bukan untuk memengaruhi pemilih.

BACA JUGA: Mahkamah Agung AS Tolak Tunda Hukuman Trump dalam Kasus Uang Tutup Mulut

Trump merupakan seorang warga negara biasa yang maju sebagai capres, yang belum terpilih ataupun dilantik, ketika Cohen membayar Daniels pada bulan Oktober 2016. Ia telah menjadi presiden ketika membayarkan uang ganti kepada Cohen, dan Cohen bersaksi bahwa ia dan Trump membahas pengaturan pembayaran tersebut di kantor presiden, Gedung Putih.

Trump telah berusaha membatalkan putusan pengadilan itu selama berbulan-bulan dan kini dapat memanfaatkan statusnya sebagai presiden-terpilih untuk mengupayakannya. Meski ia diadili sebagai warga negara biasa, kembalinya Trump ke Gedung Putih Januari mendatang dapat mendorong pengadilan untuk bergerak dan menghindari pro-kontra karena menjatuhkan vonis hukuman terhadap seorang mantan sekaligus presiden-terpilih.

Sambil mendesak Merchan untuk membatalkan putusan bersalah, Trump juga berusaha mengalihkan kasus itu ke pengadilan federal. Sebelum pemilu, seorang hakim federal telah berulang kali menolak hal itu, tapi Trump telah mengajukan banding. [rd/ab]