Israel Serang Gaza Setelah Bunuh Pemimpin Senior Hamas

Asap mengepul selama pengeboman Israel terhadap Khan Yunis dari Rafah di Jalur Gaza selatan pada awal 3 Januari 2024. (Foto: AFP)

Israel melancarkan serangan udara baru, Rabu (3/1), di Jalur Gaza. Sementara itu militer Israel mengatakan pihaknya dalam kesiagaan tinggi terhadap serangan oleh kelompok militan Lebanon Hizbullah, setelah serangan drone yang menewaskan seorang pemimpin senior Hamas di Beirut.

Hamas dan para pejabat keamanan di kawasan itu mengaitkan serangan yang menewaskan Saleh al-Arouri itu dengan drone Israel.

Hizbullah - seperti halnya Hamas, adalah kelompok militan dukungan Iran yang ditetapkan sebagai organisasi teror oleh AS -telah menembakkan roket-roket melintasi perbatasan utara Israel sejak perang Israel-Hamas berkobar pada Oktober lalu.

Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dijadwalkan berpidato pada Rabu (3/1) sore.

Saleh Arouri setibanya di Kota Gaza dari Kairo, Mesir, Kamis, 2 Agustus 2018. (Foto: via AP)

Arouri adalah pejabat senior di politbiro Hamas dan salah seorang pendiri sayap militernya, Brigade Qassam, yang melancarkan serangan maut mengejutkan di Israel pada 7 Oktober. AS tahun lalu menawarkan $5 juta untuk informasi mengenai Arouri sebagai bagian dari program Imbalan bagi Keadilan.

Militer Israel menolak mengomentari laporan tersebut. Namun, serangan semacam itu akan sejalan dengan tekad Yerusalem untuk membunuh para pemimpin utama Hamas ketika perang dengan Hamas di Gaza berlangsung mendekati tiga bulan.

“Hal terpenting untuk dikatakan malam ini adalah kami fokus dan tetap berfokus untuk memerangi Hamas,” kata juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari ketika ditanya mengenai tewasnya Arouri.

Asap mengepul dari apartemen yang hancur saat pekerja pertahanan sipil mencari korban yang selamat menyusul ledakan besar di pinggiran selatan Beirut Dahiyeh, Lebanon, Selasa, 2 Januari 2024. (Foto: AP)

Arouri memimpin keberadaan Hamas di Tepi Barat yang diduduki Israel. PM Israel Benjamin Netanyahu telah mengancam akan membunuhnya bahkan sebelum kelompok militan itu menyerbu Israel Selatan dalam serangan Oktober lalu.

Kantor berita pemerintah Lebanon melaporkan bahwa empat orang tewas dalam serangan terhadap kantor Hamas di kawasan permukiman padat di pinggiran selatan ibu kota Lebanon itu.

Dalam sebuah pernyataan, Hizbullah mengatakan, “kejahatan ini tidak akan dibiarkan begitu saja atau tanpa dihukum,” dan menyebutnya sebagai “perkembangan berbahaya selama perang.”

Hizbullah, yang ditetapkan AS sebagai organisasi teroris, telah meluncurkan serangan terhadap Israel sejak perang melawan Hamas dimulai pada Oktober lalu.

Israel telah memperingatkan bahwa jika Hizbullah tidak mundur, perang besar-besaran terhadap Lebanon akan terjadi. Hamas dan Hizbullah sama-sama didukung oleh Iran, yang sekutu-sekutu militannya di Suriah, Irak dan Yaman juga melancarkan serangan jarak jauh terhadap Israel.

BACA JUGA: Pejabat Senior Hamas dan 2 Lainnya Tewas dalam Ledakan di Beirut

Pemerintahan pascaperang

Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh pada Selasa (2/1) mengatakan dalam pidato di televisi bahwa ia terbuka bagi pemerintahan tunggal Palestina untuk memimpin Gaza yang dilanda perang, yang telah diperintah Hamas, dan Tepi Barat yang diduduki Israel, di mana Otoritas Palestina menjalankan beberapa kegiatan pemerintahan.

Sikap Haniyeh ini serupa dengan sikap AS, yang mendukung kontrol penuh atas Gaza dan Tepi Barat oleh Otoritas Palestina, sikap yang ditentang Netanyahu. Pemimpin Israel itu mengatakan negara Yahudi tersebut harus mengontrol “keamanan menyeluruh” di Gaza setelah perang, tetapi tidak jelas persisnya bagaimana itu akan dilakukan.

AS telah menekankan bahwa Palestina harus menjadi bagian dari pemerintahan pascaperang, tetapi peran Otoritas Palestina yang diakui internasional pada masa mendatang masih belum jelas.

Kampanye Israel untuk menumpas Hamas telah menyebabkan sebagian besar daerah di Jalur Gaza hancur. Kementerian Kesehatan di Gaza yang dipimpin Hamas mengatakan ofensif Israel telah menewaskan lebih dari 22 ribu orang. Kementerian itu tidak membedakan antara militan dan warga sipil, namun mengatakan 70% dari mereka yang tewas adalah perempuan dan anak-anak. [uh/ka]