Biasanya, kompleks sekolah milik Yayasan Pendidikan Terpadu Muliama selalu sepi setelah jam sekolah usai. Namun, kini ada daya tarik baru yang membuat siswa sekolah itu datang di sore hari: sebuah perpustakaan.
Elius Tom Elopore, guru di sekolah itu juga punya kesibukan baru, yaitu melayani siswa-siswanya yang ingin membaca buku. Melihat anak-anak yang antusias, Elius yakin apa yang mereka koleksi saat ini akan habis terbaca dalam jangka tak terlalu lama.
“Kami membutuhkan semakin banyak lagi, yang ada ini tidak cukup. Kami membutuhkan buku lebih banyak lagi,” kata dia kepada VOA.
Tidak hanya bagi sekolah di mana dia mengabdi, semangat membaca itu juga ingin dia tularkan ke banyak sekolah lain di wilayah pegunungan itu.
“Saya sangat sekali membutuhkan buku. Bantuan-bantuan dari mana untuk didatangkan ke Papua, khususnya di Papua Pegunungan. Dari sini, kami akan bagikan ke teman-teman lain di pelosok yang membutuhkan buku ini,” ujar Elius.
Muliama adalah distrik kecil di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari Kota Wamena. Kata Elius, ada jalan penghubung antara kedua wilayah. Dari Wamena, kendaraan bermotor bisa sampai ke Muliama. Namun, masih banyak juga yang menempuh jarak itu dengan berjalan kaki.
Dia mengabdi sebagai guru honorer di sekolah milik gereja itu, dan mengajar baik di SD, SMP, maupun SMA. Setelah bertahun-tahun, baru kali inilah sekolah tersebut secara khusus memiliki sebuah bangunan tersendiri, yang mereka sebut sebagai perpustakaan.
“Anak-anak sudah mulai bisa baca, bisa menulis. Itu bukan hanya karena sekolah saja tapi lewat perpustaakan ini. Mereka bisa baca, mereka bisa dapat ilmu yang baik. Ini adalah perkembangan yang sedang terjadi. Sudah bagus,” paparnya.
Karena berbagai keterbatasan, perpustakaan itu dibuka hanya tiga hari saja dalam sepekan. Para siswa bisa membaca ketika jam istirahat sekolah. Jika masih kurang, sore hari mereka bisa kembali ke kompleks sekolah untuk memuaskan minat bacanya.
Karena minat membaca yang tinggi itulah, Elius berulang kali mengatakan, mereka membutuhkan lebih banyak buku.
“Supaya bisa dikunjungi anak-anak lagi, jadi kami membutuhkan buku-buku lebih banyak lagi. Selain itu, ada beberapa sekolah lain yang juga bisa dibagikan buku,” kata Elius.
Yayasan Hano Wene
Buku-buku di perpustakaan yang dikelola Elius tentu tak datang dengan sendirinya. Buku-buku itu dikumpulkan oleh Yayasan Hano Wene, yang diprakarsai sejumlah anak muda Papua. Yayasan yang berdiri sejak 2017 di Jayapura itu, bahkan mengumpulkan buku dari luar Papua, sebelum mengirimkannya ke berbagai pelosok.
Pada pegiat di lembaga ini yakin, anak-anak Papua, yang kini rajin membaca karena hadirnya bahan pustaka itu, tinggal di pulau dengan kekayaan alam yang luar biasa. Sayangnya, mereka belum mampu mengelola secara mandiri potensi itu, salah satunya karena kendala sumber daya manusia.
Neas Wanimbo, pendiri Yayasan Hano Wene yakin, pendidikan merupakan solusi.
“Karena saya percaya, hanya melalui pendidikan yang bisa mengubah cara berpikir, mengubah pola hidup, sehingga kuncinya adalah pendidikan,” kata dia.
Hano Wene, dalam kosa kata asli di sekitar Wamena, bermakna kabar baik. Yayasan ini dirintis Neas dan sejumlah kawannya, karena ingin menyebarkan kabar baik ke pedalaman Papua. Pengiriman buku-buku dan pendirian perpustakaan adalah salah satu program utama, tetapi lembaga ini berkiprah di sektor pendidikan secara umum.
“Kita punya sumber daya manusia masih sangat tertinggal jauh, dan program-program seperti ini yang sangat dibutuhkan saat ini di Papua. Saat ini di Papua banyak pembangunan, banyak proyek, banyak investasi. Namun semua itu dikelola dan dikerjakan oleh orang luar Papua, dan orang papua sendiri tersingkirkan karena tidak punya skill,” kata dia ketika ditanya mengapa merasa perlu mendirikan Hano Wene dan berkiprah di sektor pendidikan.
Buku berperan penting di sektor pendidikan, yang pada gilirannya mampu memperbaiki sumber daya manusia di Papua. Oleh karena itu, Hano Wene meyakini peningkatan literasi di pedalaman Papua sangat penting dilakukan.
BACA JUGA: Lebih 600 Ribu Anak Papua Tak Sekolah, Apa yang Salah?Buku yang dikirimkan jenisnya beragam, mulai buku paket pelajaran sekolah, buku anak-anak, buku dongeng, buku cerita, hingga alat tulis. Penyebarannya cukup merata, mulai dari Lanny Jaya, Yahukimo, Wamena, Mamberamo, Kaimana, Raja Ampat, hingga Manokwari. Pihak penerima bukan hanya sekolah umum, tetapi juga pesantren, sekolah alkitab, hingga komunitas warga.
“Kalau pendonor mau membantu di bidang kesehatan, kami juga salurkan ke sekolah yang anak-anaknya kurang gizi. Bisa juga alat kebersihan. Kami membuat program, sesuai kebutuhan sekolah atau kampung disana,” papar Neas.
Bantuan datang dari pihak perorangan, komunitas, organisasi, hingga perusahaan. Yang belum memberikan dukungan, justru pemerintah.
Medan Penuh Tantangan
Mengirimkan bantuan di Papua tentu penuh tantangan. Salah satu yang berat adalah kondisi geografis.
“Kadang, tempat yang mau kita bantu itu sangat jauh sekali. Jadi harus kita bawa jalan kaki buku-buku tersebut,” papar Neas sambil menambahkan, bahwa penguasaan bahasa suku lokal dan pendekatan budaya juga sangat penting.
Rommy Dumbery, aktivis di Hano Wene berbagi cerita tentang bagaimana susahnya menjangkau pedalaman Papua untuk melaksanakan misi mereka.
“Dari Jayapura, kami menggunakan kapal perintis, kapal feri. Dari Jayapura kita tempuh waktu 1,5 hari dan satu malam (36 jam-red). Paginya baru kita tiba di pelabuhan. Kebetulan tempat yang kita pergi di bagian muara, dan bagian itu jaraknya jauh dari ibu kota kabupaten Mamberamo Raya,” kata Rommy.
“Tiba di sana, kita gunakan perahu kole-kole dengan motor jonson, letak geografis di sana juga sangat sulit. Kita lewati anak sungai kecil, baru tiba di tepat tujuan. Tiga jam naik perahu kecil,” tambah dia.
Perahu kole-kole adalah perahu berukuran kecil yang dibuat dari batang pohon, biasanya pohon ketapang, dan hanya memuat sekitar 4 orang. Motor jonson, yang disebut Rommy, adalah penggerak baling-baling kecil di bagian belakang, untuk mendorong. Kebanyakan perahu kole-kole digerakkan menggunakan dayung.
Kendala lain, kata Rommy, adalah karena anak-anak sungai itu hanya bisa dilewati ketika arus pasang. Ketika surut, perahu tak bisa lewat karena sisa batang pohon di dasar sungai menjadi hambatan. Karena itulah, perjalanan ke pedalaman tidak pernah bisa dipastikan durasinya.
Rommy sendiri menghabiskan masa kecil di wilayah pedalaman itu. Dia masih ingat betul, betapa sulitnya transportasi di masa lalu, karena kapal kadang hanya berlayar satu bulan sekali. Karena itulah, dia menghargai besarnya pengorbanan para guru yang mau mengajar di Mamberamo.
“Guru-guru yang mengajar di sana sangat luar biasa. Mereka bisa korbankan waktu, tenaga, keluarga tinggal di kota untuk mereka tinggal disana. Mengajar dengan perahu dayung dan juga fasilitas yang seadanya saja,” ujar Rommy mengenang para pengajar di masa kecilnya di Mamberamo.
Pemekaran daerah memungkinkan perbaikan kondisi, tetapi tidak bermakna semua persoalan selesai.
“Antusias anak-anak disana sangat bagus untuk bisa menerima pelajaran. Cuma kita ketinggalan dengan hal-hal ini, jaringan, kemudian fasilitas, buku dan lain-lain,” kata dia.
Butuh Dukungan Semua Pihak
Bagi akademisi Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule, prakarsa baik untuk mengirimkan buku ke pedalaman Papua ini, membutuhkan lingkungan yang mendukung agar hasilnya maksimal.
BACA JUGA: Wisata Relawan, Liburan Sambil Berdayakan Komunitas Setempat“Persyaratan dasar bagi minat baca di Papua agar bisa berkembang adalah memastikan sekolah itu berjalan dengan baik. Syarat sekolah berjalan dengan baik, adalah kehadiran guru,” kata Agus kepada VOA.
Agus menegaskan, minat baca adalah hasil dari berfungsinya sekolah atau lembaga pendidikan dengan baik. Di sisi lain, statistik dari hasil penelitian UNICEF beberapa waktu lalu di Papua mencatat, angka kemangkiran atau ketidakhadiran guru di provinsi ini cukup tinggi, di atas 30 persen. Angka kemangkiran kepala sekolah lebih tinggi dari itu.
“Dengan kata lain, sekolah-sekolah itu tidak bisa berjalan baik karena sebagian guru tidak bekerja dengan baik,” kata Agus.
Alasannya adalah ketika guru tidak hadir untuk anak-anak di sekolah, tidak ada yang memimpin mereka untuk belajar. Melihat kondisi yang ada, sulit membayangkan inisiatif membaca, tanpa arahan dari guru-guru di sekolah Papua. Karena itu Agus meyakini, persyaratan utama meningkatkan minat baca, adalah berfungsinya sekolah.
Karena itulah, dukungan guru dan sekolah terhadap prakarsa Hano Wene semacam ini, menjadi sangat penting.
Agus juga mendorong kerja sama erat dengan lembaga gereja di Papua, agar program peningkatan minat baca lebih berhasil. Di tempat terpencil di mana pun di Papua, kata Agus, pasti ada gereja dengan pendeta dan keluarganya yang tinggal disana. Pendeta dan keluarganya bisa dipastikan bisa membaca, dan karena itu bisa berperan penting untuk mendorong minat baca di pedalaman.
Kendala geografis juga bisa diatasi melalui kerja sama dengan gereja semacam ini.
Dukungan lain yang diharapkan lebih besar, seharusnya datang dari pemerintah daerah. Agus menilai, pemerintah harus melibatkan anak-anak muda, seperti yang aktif di Hano Wene, untuk mengejar target di sektor pendidikan.
Mau atau tidak, kata dia, pemerintah daerah harus mengakui bahwa pendidikan yang dicita-citakan masih jauh dari harapan.
“Kalau tujuan pendidikan itu salah satunya adalah literasi, baik baca-tulis, numerik dan lain sebagianya, maka mendukung kegiatan anak-anak muda ini, menjadi sangat penting,” tambah Agus.
Dukungan itu antara lain bisa dilakukan dengan memastikan distribusi buku, dari wilayah perkotaan ke pedalaman. Jika dibutuhkan, pemerintah daerah di Papua bisa menganggarkan bantuan keuangan untuk membantu program anak-anak muda semacam ini.
Selain itu, kata Agus, pemerintah perlu juga melakukan pendataan, wilayah mana saja yang sudah tercukupi kebutuhan bukunya, dan mana yang belum. Dengan data semacam itu, pemerintah daerah bisa mendorong lebih banyak anak muda untuk bergerak mengatasi kesenjangan literasi. [ns/ft]