Pada peringatan Hari Internasional Antihomofobia dan Transfobia tanggal 17 Mei, menyeruak sebuah pertanyaan: apakah bangsa Indonesia bangsa homofobik? Pertanyaan itu muncul menyusul pertikaian sengit antara para netizen di Indonesia dan Thailand terkait pasangan gay Thailand yang memposkan foto-foto pernikahan mereka di media sosial April lalu.
Orang-orang Indonesia sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah. Namun ternyata, di dunia siber atau media sosial, faktanya jauh berbeda. Paling tidak sebuah survei Microsoft yang belum lama ini dirilis menunjukkan, tingkat keberadaban digital netizen Indonesia berada di kelompok paling buruk.
Dari 32 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-29. Survei yang diberi nama Digital Civility Index 2020 ini merupakan survei tahunan dari Microsoft yang bertujuan "mempromosikan interaksi online yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih terhormat di antara semua orang". Belanda, Inggris dan Amerika Serikat berada di tiga posisi teratas, sementara Singapura satu-satunya negara Asia yang tergolong ramah di dunia digital dengan menempati posisi keempat.
Terkait homofobia, kasus pertikaian antara netizen Indonesia dan netizen Thailand, barangkali bisa menjadi potret hasil survei ini. Netizen Indonesia menggertak, melecehkan, dan mengancam pasangan sesama jenis di Thailand, Suriya Kertsang dan Suriya Manusonth, karena memposting foto pernikahan mereka pada 4 April di Facebook. Dalam satu pekan, akun Facebook pasangan itu telah mengumpulkan ratusan ribu komentar dan dibagikan puluhan ribu kali. Sebagian besar komentar dari pengguna Indonesia bersifat homofobia, meskipun mereka tidak mengenal pasangan itu secara pribadi.
Pelecehan di dunia maya sering dialami Amahl S. Azwar, seorang warga Bali yang secara terbuka mengaku dirinya gay dan aktif mengkampanyekan hak-hak kelompok LGBTQ. Pria ini bahkan mengatakan, ada satu komentar yang sulit dilupakan sewaktu ia menyampaikan pernyataannya di media sosial mengenai pemikiran seorang kandidat presiden yang tidak disetujui.
“Saya ini kan HIV positif, dan saya termasuk aktivis HIV di Indonesia. Saya mencantumkan status saya itu di profil saya. Saya dikatai-katai, ‘oh dia gay, HIV positif pula, semoga dia cepat-cepat mati gara-gara AIDS. Ini bukan ancaman kematian, tapi disumpahi sudah HIV positif berani ngomong pula.”
Pria yang tercatat sebagai kontributor surat kabar The Jakarta Post ini merupakan satu-satunya wartawan yang sempat mewawancarai secara langsung pasangan Thailand yang menjadi korban serangan netizen Indonesia itu.Merenungi pengalaman dirinya, dan pengalaman anggota komunitas LGBTQ, termasuk pasangan Thailand itu, Amahl menyatakan, “Sudah saatnya kita memikirkan kembali apakah kita benar-benar Bhinneka Tunggal Ika, karena kenyataannya tidak seperti itu. Kita sudah tidak se-Bhinneka Tunggal Ika seperti yang selama ini kita berusaha katakan pada diri kita sendiri.”
Ragil Mahardika, warga Indonesia yang tinggal di Jerman, juga sering mendapat respons buruk dari netizen Indonesia. Selebriti media sosial dan vlogger yang punya jutaan pengikut di TikTok, Instagram, Facebook dan YouTube itu mengaku tak asing dengan ujaran kebencian yang dilontarkan terhadap dirinya. Salah satu yang sulit dilupakan pria gay yang aktif memperjuangkan hak-hak LGBTQ adalah pernyataan seperti ini.
“Ini darahnya halal untuk dibunuh. Terus juga banyak yang bilang siapa yang ingin bunuh anak ini,” jelasnya.
Ragil yang menikah dengan pria Jerman mengatakan, tanggapan negatif juga terkadang datang dari sesama anggota LGBTQ.
“Aku juga menerima pernyataan kontra dari teman-teman di LGBTQ di Indonesia. Mereka bilang aku terlalu berani sehingga bisa memberi dampak negatif pada mereka karena sering dibicarakan di banyak media," lanjut Ragil.
Menurut Ragil, perilaku netizen Jerman berbeda dengan netizen Indonesia secara umum. Ujaran-ujaran bernada kebencian, apalagi bila menjurus ke masalah ras, agama, dan orientasi seksual, jarang terdengar di Jerman. Menurutnya, di negeri di mana ia tinggal sekarang, ujaran-ujaran seperti itu bisa berakhir di pengadilan dan dikenai sanksi hukum berat.
Your browser doesn’t support HTML5
Ragil dan Amahl sama-sama memprihatinkan kurang tegasnya sikap pemerintah Indonesia dalam melindungi hak-hak LGBT di ranah digital. Menurut mereka, perangkat hukumnya ada, namun pasal-pasalnya tidak tegas dan sering menimbulkan beragam penafsiran. Walhasil, pengaduan soal pelecehan terhadap kelompok minoritas ini tak pernah berakhir dengan penyelesaian.
Ragil mengatakan, ia memiliki harapan untuk masa depan komunitas LGBTQ di Indonesia. Pertama, dalam jangka pendek, dilahirkannya undang-undang yang ramah LGBTQ, sehingga warga komunitas itu mendapat perlakuan setara dengan komunitas heterokseksual. Kedua, dalam jangka panjang, Indonesia melegalkan pernikahan sesama jenis.
Terkait hasil survey Microsoft soal keberadaban digital netizen Indonesia, Firman Kurniawan, pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, menanggapinya secara hati-hati. Ia mengatakan, beberapa netizen Indonesia juga berbicara untuk membela pasangan Thailand dan bahkan meminta maaf atas nama bangsa. Tetapi jumlah mereka yang bersuara terlalu sedikit, sehingga suara mereka tenggelam oleh suara-suara yang tidak bersahabat dari mereka yang homofobik.
Pernyataan Firman ini mungkin benar, tapi juga menimbulkan pertanyaan: Di manakah orang-orang ini? Mengapa suara mereka tidak terdengar? Jika separuh orang Indonesia homofobik dan separuh lainnya tidak tetapi memilih bungkam, bukankah dunia akan tetap menganggap orang Indonesia homofobik secara keseluruhan? Persepsi ini tidak akan berubah bahkan jika rasionya menjadi, katakanlah, hanya lima persen homofobik, jika mayoritas 95 persen tetap diam setiap kali komunitas LGBTQ diserang.
Firman berteori, perilaku digital netizen Indonesia terkait erat dengan iklim kebebasan berbicara di Indonesia pada masa sebelumnya. Menurutnya, dulu, saluran-saluran berekspresi begitu terhambat sehingga banyak orang terpaksa menahan diri untuk tidak mengeluarkan pendapat mereka. Kini, ujar Firman, dengan terbuka lebarnya media sosial yang tidak disertai perangkat hukum yang memadai, orang-orang Indonesia seperti mendapat kesempatan mengekspresikan pendapat mereka secara blak-blakan tanpa memperhitungkan konsekuensi.
Terkait isu LGBTQ, Firman mengatakan, ujaran negatif para netizen Indonesia juga tidak lepas dari ajaran agama mereka, “Agama berperan sangat penting dalam membangun pandangan masyarakat Indonesia, tentang orientasi seksual, tentang ideologi-ideologi tertentu, termasuk menyikapi pasangan sejenis, gay, lesbian. Jadi tidak hanya mempengaruhi tapi juga penting dalam membentuk sikap masyarakat Indonesia terhadap orientasi seksual.”
Ia sendiri optimistis perilaku digital Indonesia berpeluang besar untuk diperbaiki. “Itu bisa diperbaiki selama budaya untuk berbicara, berdialog dan saling mendengarkan dibangun oleh semua pihak, termasuk pengguna media sosial di Indonesia.” [ab/uh]