Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 dengan tuan rumah Italia dimulai pada Sabtu (30/10) di Ibu Kota Italia, Roma. Para pemimpin ekonomi utama dunia mendiskusikan sejumlah masalah yang menjadi perhatian bersama, termasuk pemulihan pandemi dan perubahan iklim.
Karpet merah digelar di gedung pusat konvensi Roma, “La Nuvola,” ketika Perdana Menteri Italia Mario Draghi menyambut Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, dan para pemimpin lain di tengah protokol ketat COVID-19.
BACA JUGA: Jokowi Dorong Penguatan Arsitektur Kesehatan Global di KTT G20KTT yang digelar selama akhir pekan itu merupakan pertemuan tatap muka pertama dalam dua tahun, menyusul KTT virtual yang diselenggarakan Arab Saudi. Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador, absen dalam pertemuan kali ini dan memilih hadir secara virtual dengan alasan kekhawatiran kondisi pandemi dalam negeri.
Pajak Minimum Global
Pada hari pertama, para pemimpin G-20 menyuarakan dukungan mereka terhadap kesepakatan pajak minimum perusahaan. Kesepakatan itu disetujui oleh para menteri keuangan dari 136 negara awal bulan ini, setelah negosiasi selama empat tahun dipimpin oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).
Kesepakatan itu akan mendorong perombakan aturan pajak internasional secara besar-besaran. Berdasarkan kesepakatan itu, negara-negara akan menerapkan tarif minimum pajak perusahaan global sebesar 15 persen bagi perusahaan dengan pendapatan tahunan sebesar lebih dari $870 juta. Sementara, perusahaan-perusahaan multinasional besar wajib membayar pajak di tempat mereka beroperasi, bukan hanya di mana kantor pusat mereka berada.
“Presiden menekankan pentingnya kesepakatan bersejarah ini selama masa intervensinya,” ungkap seorang pejabat pemerintahan Biden.
BACA JUGA: Biden akan Bertemu Macron untuk Pertama Kali Sejak Sengketa Kapal Selam“Para anggota G-20 berhak merayakan kesepakatan ini,” ujar Matthew Goodman, wakil presiden senior bidang ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington. Pertanyaannya, seberapa cepat dan apakah para anggota G-20 dapat menerapkan kesepakatan itu dalam kerangka kebijakan domestik negara masing-masing.
“Sejujurnya, hal itu cukup menantang untuk dilakukan di AS dan beberapa negara lain,” kata Goodman.
Tanggapan dan Pencegahan Pandemi
Pada Jumat (29/10), para menteri keuangan dan menteri kesehatan negara anggota G-20 menerbitkan komunike berkomitmen untuk mengendalikan pandemi secara global sesegera mungkin; dan memperkuat upaya kolektif untuk mempersiapkan; mencegah, mendeteksi, dan menanggapi pandemi di masa depan. Komunike tersebut mengatakan bahwa G-20 akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memajukan target vaksinasi global setidaknya 40 persen populasi di seluruh negara pada akhir 2021 dan 70 persen pada pertengahan 2022, seperti rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Para menteri mengumumkan formasi sebuah panel baru untuk meningkatkan respons dunia terhadap pandemi-pandemi lain di masa depan, tanpa merinci sumber pendanaan bagi gugus tugas tersebut. Mereka tidak mencapai kesepakatan soal mekanisme pembiayaan terpisah yang diusulkan AS dan Indonesia untuk persiapan menghadapi pandemi di masa depan.
“Kami tidak mengharapkan langsung menemukan produk akhir dari mekanisme pembiayaan ataupun produk akhir dari gugus tugas atau dewan yang akan beroperasi sebagai semacam badan koordinasi global ke depan,” ungkap Penasihan Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, kepada VOA di pesawat Air Force One dalam perjalanan menuju Roma, Kamis (28/10). “Harapannya adalah menyatakan niat di dalam komunike, bahwa kita akan bekerja menuju dua target tersebut.”
Perubahan Iklim
Pada Minggu (31/10), para pemimpin G-20 akan mengalihkan fokus pada isu perubahan iklim. Dari Roma, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, menyebut pertemuan itu sebagai kesempatan untuk “mematangkan segala hal” sebelum menghadiri konferensi perubahan iklim PBB atau COP26 di Glasgow, persis setelah KTT G-20 usai.
“Ada risiko besar bahwa pertemuan di Glasgow tidak akan berjalan sesuai harapan,” kata Guterres. “Kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) –komitmen resmi berbagai pemerintahan – saat ini masih tetap akan menuntun dunia pada kenaikan suhu bumi yang berbahaya, sebesar 2,7 derajat Celcius,” ungkapnya, merujuk pada janji yang dibuat berbagai negara pada Perjanjian Iklim Paris 015, untuk membatasi pemanasan global pada angka 2 derajat Celcius, meski idealnya 1,5 derajat Celcius.
Negara-negara diperkirakan akan mengumumkan lebih banyak janji pengurangan emisi karbon untuk bisa mencapai target emisi nol karbon pada pertengahan abad ini. Akan tetapi, beberapa pengamat merasa skeptis terhadap komitmen-komitmen sukarela yang diajukan tanpa mekanisme penegakan itu.
“Akan ada janji-janji. Itu skenario terbaik seperti yang kita lihat di Paris,” kata Dalibor Rohac dari American Enterprise Institute.
BACA JUGA: Jelang COP26, Jokowi Tegaskan Komitmen Indonesia Atasi Krisis IklimRohac menambahkan, untuk membuat kemajuan dalam menghadapi perubahan iklim, dunia memerlukan aksi nyata. “Ketimbang melanjutkan kebiasaan mencari solusi multilateral berskala "Big Bang" (masif) menciptakan kebijakan domestik yang baik, yang mempercepat dekarbonisasi.”
Masalah utama yang harus diperhatikan adalah apakah seluruh anggota G-20 dapat menyepakati isu penggunaan batu bara. PBB telah meminta negara-negara kaya untuk menghentikan penggunaan batu bara pada 2030, tetapi para menteri lingkungan negara-negara G-20 gagal menyepakati kerangka waktu.
Guterres juga menyerukan agar negara-negara kaya menegakkan komitmen untuk menyediakan dana untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi dampak perubahan iklim. Berdasarkan Perjanjian Iklim Paris pada 2015, negara-negara kaya berjanji menyediakan dana iklim minimum $100 miliar per tahun kepada negara-negara berpendapatan rendah. Banyak dari dana tersebut belum terealisasi. [rd/ft]