Salah satu upaya besar yang telah pemerintah canangkan dalam program transisi menuju energi bersih ialah menghentikan pengoperasian PLTU batu bara, sebuah ambisi besar yang mengundang pujian sekaligus keraguan dari berbagai pihak.
Ambisi tersebut hadir bukan tanpa risiko. Direktur eksekutif organisasi pengamat isu energi, Energy Watch, Mamit Setiawan mengingatkan bahwa perlu banyak pertimbangan dalam mengambil kebijakan untuk mencapai target tersebut. Hal itu mengingat karena Indonesia masih sangat bergantung pada sumber energi fosil, di mana sekitar 70 persen pembangkit yang beroperasi saat ini adalah PLTU.
Selain itu, Mamit mengatakan terdapat faktor teknis yang juga harus diperhitungkan dengan matang.
BACA JUGA: Inggris Setujui Tambang Batu Bara Baru Pertama dalam Beberapa Dekade, Picu Kemarahan“Pertama, pastinya dari sisi pendanaan. Kedua, saya melihat sampai sejauh ini belum ada EBT yang benar-benar bisa menggantikan posisi PLTU, dalam artian yang bisa menjadi base load,” kata Mamit dalam wawancara dengan VOA, Rabu (21/12), merujuk pada energi baru terbarukan (EBT).
Base load yang disebut Mamit adalah istilah untuk penopang beban dasar pembangkit listrik. Selama ini, salah satu sumber energi bersih yang cukup banyak dipakai pada pembangkit listrik di Indonesia adalah air dan panas bumi. Namun Mamit mengingatkan, kemampuan pasokan dari dua jenis pembangkit tersebut masih jauh di bawah PLTU.
Selain itu, kata Mamit, pendanaan juga bukan persoalan mudah, karena jumlah yang dibutuhkan dalam proses transisi energi tidaklah sedikit.
“Dari mana sumber pendanaannya? Dan jangan sampai juga nanti akan merugikan masyarakat, dalam hal ini terkait tarif dasar listrik. Juga dari sisi pemerintah, terkait beban subdisi yang akan meningkat,” tegasnya.
Tuntutan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan tidak berarti penolakan terhadap program transisi energi yang dicanangkan pemerintah. Mamit meyakini Indonesia membutuhkan lebih banyak waktu untuk dapat mencapai target dalam program transisi energinya. Selain itu, pertimbangan juga harus dilakukan menyeluruh dengan memperhatikan sejumlah faktor seperti sumber daya alam, kemampuan pembiayaan, sumber daya manusia dan kondisi ekonomi, ketika melangkah ke sumber energi baru terbarukan.
“PLN pasti siap untuk menuju ke transisi energi, hanya saja semua butuh proses dan perencanaan. Dan saya yakin, PLN sudah punya road map untuk menuju net zero emission pada 2060. Tinggal nanti kita kawal bagaimana agar proses ini bisa berjalan dengan baik,” ujar Mamit.
Ruang Bagi EBT
Berbicara dalam Indonesia Economic Outlook 2023 pada Selasa (20/12), Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo kembali menekankan pentingnya rencana memensiunkan dini PLTU.
“Kenapa ini penting? Karena dengan adanya pensiun dini ini, maka ada ruang untuk menambah energi baru terbarukan, masuk ke dalam ekosistem kelistrikan Indonesia,” tegasnya.
Pensiun dini PLTU, kata Darmawan, adalah langkah agresif menghadapi perubahan iklim yang sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan.
“Ada tambahan program pensiun dini PLTU sebesar 7 GW dari tahun ini sampai 2030. Given (this) condition, there is international funding, dan itulah fungsi dari Just Energy Transition Program,” imbuh Darmawan.
Urgensi untuk memensiunkan PLTU juga didorong oleh faktor emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor kelistrikan. Darmawan menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca dari sektor kelistrikan tercatat mencapai 280 juta ton tahun ini. Jika PLN menjalankan bisnis tanpa terobosan, maka angka tersebut akan mencapai 1 miliar ton pertahun pada 2060.
BACA JUGA: Strategi PLN Tekan Konsumsi Batubara Melalui Co-Firing PLTU Dinilai TepatKarena itulah, PLN menetapkan strategi bisnis, di antaranya dengan perencanaan penghapusan 13 GW PLTU, yang diharapkan dapat mencegah produksi emisi CO2 sekitar 1,8 miliar ton selama 25 tahun ke depan. Perusahaan plat merah ini juga akan mengganti PLTU dengan pembangkit EBT.
“Artinya sampai tahun 2030 kita membangun 51 persen penambahan kapasitas pembangkit itu berbasis pada energi baru terbarukan, atau 20,9 giga watt additional capacity of power plant, is going to be coming from the renewable energy,” tegasnya.
Darmawan memastikan bahwa semua kebijakan yang diambil oleh PLN murni berdasarkan kesadaran untuk menjaga lingkungan dan bukan karena adanya perjanjian internasional yang sudah disepakati.
Upaya memensiunkan dini PLTU sendiri menjadi salah satu perbincangan serius di Bali, di sela pertemuan puncak G20 pada November 2022 lalu. PLN membuka kesepakatan pertama dalam skema ini, dengan dukungan pendanaan Asian Development Bank (ADB) melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM).
Melalui kesepakatan yang ditandatangani pada 13 November, ADB sepakat membuka diskusi detail terkait upaya mempercepat pensiun PLTU Cirebon-1 yang berkapasitas 660 megawatt (MW) milik Cirebon Electric Power di Jawa Barat. ADB berharap, skema semacam ini menjadi model yang dapat ditiru dan diterapkan ke sejumlah pembangkit lain di Indonesia, dan juga di wilayah Asia Pasifik.
Butuh Perhitungan Matang
Saran untuk melakukan perhitungan lebih matang dalam memenuhi ambisi transisi energi juga disampaikan oleh pakar energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Tumiran. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2009-2019 ini mencatat, konsumsi energi Indonesia saat ini sekitar 1.025 KWH perkapita. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 5 hingga 6 persen, naiknya produktivitas akan berkorelasi juga dengan peningkatan konsumsi energi.
“Kalau kita memensiunkan dini PLTU, sementara nanti ke depan demand kita naik, itu pakai apa kita menutupnya yang berbasis base load, terutama untuk pulau Jawa. Pulau Jawa kita mau pakai energi terbarukan apa sebagai pengganti base load batubara,” ujarnya kepada VOA.
Membangun pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan sebagai pengganti batu bara saat ini bukan tugas yang mudah. Misalnya, pembangkit listrik tenaga air terkendala dalam pembangunan bendungan, karena kondisi sosial dan lingkungan yang semakin kompleks.
Your browser doesn’t support HTML5
Hitungan Tumiran, konsumsi yang saat ini berkisar 1.025 KWH perkapita itu, pada tahun 2050 dapat mencapai 5.000 KWH perkapita, dengan asumsi ekonomi yang terus tumbuh.
Dengan konsumsi sebesar itu, Indonesia akan membutuhkan pembangkit sebesar sekurangnya 300 sampai 350 giga watt. Jumlah kebutuhan itulah yang harus diperhitungkan PLN, karena angka tersebut tidak kecil. PLN dan pemerintah harus menghitung dengan cermat, sehingga keputusan yang dibuat betul-betul tepat, lanjut Tumiran.
Tumiran memberi contoh, China terus meningkatkan kapasitas PLTU mereka setiap tahun bertambah sekitar 50 giga watt sejak 2016.
“Dia sekarang sudah punya 1.200 gigawatt, dan dia enggak ada bicara retirement PLTU. Yang dia lakukan adalah komposisi kontribusi PLTU secara persentase turun, dengan akselerasi EBT,” urainya. [ns/rs]