Hidupkan Kembali Kesepakatan Iran, AS Tak Optimis atau Pesimis

Juru bicara Deplu AS Ned Price

Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan tim perunding Amerika “tidak optimis atau pesimis” dalam perundingan putaran berikutnya di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir dengan Iran.

Para pihak dalam kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, sejak April lalu telah beberapa kali melangsungkan pertemuan di Wina untuk mencapai perjanjian guna mengajak Amerika kembali menyepakati kesepakatan nuklir itu setelah pemerintah Trump menarik diri secara sepihak. Jika tercapai maka Iran akan kembali mematuhi perjanjian itu dengan imbalan pencabutan sanksi-sanksi.

Uni Eropa sedang melakukan koordinasi tentang hal itu dan perwakilannya menyuarakan nada optimis, dengan mengatakan ia yakin perjanjian itu akan tercapai dalam perundingan putaran berikutnya.

Wakil Sekjen EEAS Enrique Mora mengatakan, “Perundingan putaran keenam jelas akan menjadi yang terakhir.”

Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price, ketika menjawab pertanyaan wartawan, mengatakan ia lebih hati-hati menyikapi hal itu.

“Kami tidak optimis atau pesimis soal ini, kami memiliki pandangan yang jernih. Kamis memahami dengan jelas taruhan perundingan ini, kami sangat jelas tentang tujuan kami, dan pada akhirya tujuan kami adalah untuk memastikan bahwa Iran – sekali lagi – tunduk pada verifikasi dan pemantauan rejim yang paling ketat yang pernah dirundingkan.”

Presiden Iran Hassan Rouhani

Presiden Iran Hassan Rouhani berpandangan lebih optimis, dengan mengatakan masalah utama negaranya dengan Amerika telah diselesaikan, dan yang tersisa hanya apa yang disebutnya sebagai “masalah kecil.”

Tetapi analis keamanan dan kebijakan luar negeri di Center for American Progress Brian Katulis mengatakan pandangan itu mungkin lebih bersifat untuk menyenangkan.

“Saya pikir mungkin ini sedikit pembicaraan yang menyenangkan untuk menutupi fakta bahwa ada ketidakpercayaan yang nyata. Maksud saya, mereka mencoba melakukan pembicaraan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir itu. Ada juga ketidakpastian soal siapa yang akan memimpin Iran ketika masa jabatan Rouhani habis. Jadi singkatnya, karena kediktatoran Iran dipimpin oleh pemerintah otoriter, pemimpin tertinggi Khamenei. Tidak banyak pilihan bagi rakyat Iran dalam pilpres ini,” ulasnya.

BACA JUGA: Rouhani: Masalah Utama Iran-AS Terselesaikan dalam Perundingan

Katulis mengatakan ada beberapa masalah pelik yang perlu diselesaikan sebelum menghidupkan kembali perjanjian nuklir itu.

“Poin penting lainnya adalah bahwa pemerintahan Biden telah menggunakan frasa 'kesepakatan yang lebih lama dan kuat.' Saya pikir ini adalah tujuan jangka panjang, bukan tujuan pembicaraan langsung sekarang ini. Tapi ada masalah luar biasa tentang akses pada fasilitas-fasilitas militer. Beberapa minggu terakhir ini Badan Energi Atom Internasional IAEA telah menyampaikan keprihatinan tentang informasi baru soal kegiatan Iran pada masa lalu,” tambahnya.

Selain pemilu di Iran bulan ini, sejumlah pakar juga memperhatikan upaya pembentukan pemerintahan koalisi baru di Israel – tanpa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di pucuk pimpinan – sebagai salah satu faktor dalam perundingan nuklir Iran di Wina ini. Tetapi Katulis yakin hal ini tidak akan berdampak besar karena ada tentangan di seluruh spektrum politik di Israel terhadap upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran. [em/lt]