Hindari Konflik Horizontal di Kendeng, Semua Pihak Diminta Taati Kesepakatan

Para petani berunjuk rasa menolak pabrik PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Rembang Jawa Tengah di depan Istana Merdeka Jakarta. (Foto: VOA/Andylala)

Pemerintah pusat diminta melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah Jawa Tengah dan pemerintah kabupaten Rembang untuk mentaati kesepakatan yang telah dicapai dengan warga pegunungan Kendeng tahun lalu, yaitu menunggu selesainya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebelum memulai pembangunan pabrik semen.

Sorotan tajam diarahkan pada pemerintah setelah salah seorang warga Kendeng yang berdemonstrasi dengan menyemen kaki mereka di depan Istana, meninggal dunia karena serangan jantung.

Presiden Joko Widodo telah menyampaikan belasungkawa dengan meninggalnya Patmi, salah seorang warga pegunungan Kendeng yang berdemonstrasi di depan Istana Kepresidenan sejak 17 Maret lalu dengan menyemen kakinya dan meninggal dunia Selasa dini hari (21/3) karena serangan jantung. Tetapi menurut Komnas Perempuan, insiden ini – termasuk demonstrasi dengan cara menyemen kaki yang dilakukan warga – bisa dihindari jika ada kesadaran untuk mewujudkan asas pemerintahan yang baik. Hal ini disampaikan anggota Komnas Perempuan Sri Nurherwati yang diwawancarai VOA melalui telepon Selasa siang.

“Saya sudah mengatakan pada KSP (Kepala Staf Presiden) harus ada mekanisme dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk tetap menciptakan pemerintah yang baik. KSP pastinya sudah mengkomunikasikan pada presiden bahwa ia punya kewenangan untuk melakukan hal itu dan saya pikir tim kepresidenan sudah cukup baik, hanya mereka bingung menjalani kesepakatan dengan masyarakat terkait KLHS itu, yang masih diproses dan belum bisa melakukan apapun. Jika presiden harus melakukan sesuatu, apa yang bisa dilakukan karena prosesnya masih menunggu KLHS. Pemerintah Jawa Tengah saja yang terburu-buru mengeluarkan ijin pembangunan," ujar Sri.

VOA: Tidakkah presiden bisa membatalkan SK gubernur itu?

"Tidak Mbak karena ranahnya berbeda. Tetapi barangkali bisa meluruskan supaya ada kepastian hukum, kesepakatan yang sudah dibuat bisa disepakati bersama demi mencapai pemerintah yang baik. Jalan tengahnya adalah pemerintah pusat dan daerah seharusnya berkoordinasi demi menjalankan asas pemerintahan yang baik. Pemerintah daerah seharusnya mentaati kesepakatan yang sudah dijalankan oleh masyarakat dan presiden soal KLHS dan masyarakat hanya meminta itu. Sepanjang tidak dilakukan maka asas pemerintahan yang baik tidak bisa diwujudkan,” imbuh Sri.

MA Kabulkan Permohonan PK Warga Kendeng, Gubernur Tetap Keluarkan Ijin Operasi

Berbekal adanya temuan baru atau novum, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali para petani Kendeng pada 5 Oktober 2016, dengan membatalkan obyek sengketa atau pabrik semen yang akan dibangun. Namun pada 23 Februari 2017 Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan ijin lingkungan baru – yang merupakan tambahan dari ijin lingkungan yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung – dan ijin operasi pertambangan bagi PT Semen Indonesia.

Warga dan petani Kendeng menilai ijin operasi baru itu telah melangkahi janji yang disampaikan Presiden Jokowi pada para petani bulan Agustus 2016 lalu, yaitu tidak akan ada aktivitas penambangan yang dilakukan hingga KLHS yang dilakukan pemerintah selesai, yang diperkirakan pada akhir Maret 2017 ini. Sejak 13 Maret 2017 pun puluhan petani datang ke Jakarta dan sebagian menyemen kaki mereka di depan Istana Kepresidenan.

Para petani Pegunungan Kendeng, Rembang Jawa Tengah berunjuk rasa menyemen kakinya di depan Istana Merdeka Jakarta.

Komnas Perempuan Kritisi Kondisi di Pegunungan Kendeng

Dalam pernyataan tertulis yang diterima VOA, Komnas Perempuan – yang sudah dua kali datang ke pegunungan Kendeng untuk melihat langsung kondisi masyarakat disana – menyatakan telah terjadi “praktek penambangan batu kapur dan rencana pendirian pabrik semen yang dilakukan di tiga kabupaten : Pati, Rembang dan Grobogan, yang berdampak serius pada perempuan.” Komnas Perempuan menilai partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan yang sejati telah tersingkir, stigma bahwa “perempuan pembela HAM sama dengan anti-pembangunan” semakin menguat, sementara konflik horizontal dan kriminalisasi warga pun tak terelakkan.

Dampak sosial akibat pembangunan pertambangan dan pabrik semen di pegunungan Kendeng yang mencakup sejumlah kabupaten juga tidak kecil.

Menurut Mohammad Sobirin, salah seorang demonstran dan sekaligus pendamping petani Kendeng dari Yayasan Desantara, selain pencemaran lingkungan dan matinya sumber mata air, keberadaan industri hiburan dan seks pun tak terhindarkan.

“Pertukaran uang di seputar industri tambang selalu dikaitkan dengan pendatang. Artinya pemenuhan kebutuhan pendatang, baik kebutuhan ekonomi maupun seks, menimbulkan industri baru. Berdiri pula pub-pub malam dan warung kopi yang menjadi kedok prostitusi. Selain itu pro dan kontra terhadap rencana pembangunan pabrik semen juga membuat desa-desa sekitarnya terbelah secara sosial, ada yang pro dan kontra,” kata Sobirin.

Aktivis Bantah Aksi Warga Kendeng Diprovokasi LSM

Sobirin – yang lahir di Grobogan dan dibesarkan di daerah itu – membantah suara-suara sumbang yang menyatakan aksi warga Kendeng di Jakarta itu diprovokasi oleh aktivis atau LSM.

“Pertama kali saya ingin menjelaskan bahwa aksi ini seringkali dituduh diprovokasi oleh teman-teman aktivis, karena ini aksi yang tidak lumrah dan pasti diprovokasi teman2 aktivis. Saya ingin menegaskan bahwa sejak aksi tahun 2016 lalu dimana warga Kendeng mulai berdemonstrasi dengan mencor kakinya, mereka melakukannya sendiri. Tahun lalu memang hanya dua hari. Hari pertama dipasung, dan hari kedua mereka ditemui Teten Masduki dari kantor kepresidenan. Tahun ini kami melakukan aksi ini lagi karena banyak pelanggaran yang terjadi di sekitar pembangunan pabrik semen, terutama di Rembang – Jawa Tengah. Juga untuk merespon rencana pembangunan di beberapa wilayah pegunungan Kendeng. Kali ini kami mengundang warga yang siap secara fisik dan mental untuk terlibat dan dicor kakinya. Selama aksi ada dokter dari Dompet Dhuafa dan RS Islam yang mendampingi kami sejak tanggal 13 Maret lalu. Setiap peserta aksi dicek kesehatannya setiap hari," tambah Sobirin.

VOA: Ada suara sumbang yang mengatakan mengapa harus minta pertanggungjawaban presiden atas kematian Ibu Padmi, bukankah seharusnya koordinator aksi yang bertanggungjawab?

"Jika ada yang bersuara demikian, saya akan mengatakan kalau presiden bisa menegakkan kesepakatan tentang KLHS maka tidak perlu ada rakyat Indoensia yang mengecor kaki di depan istana. Yang menjadi persoalan adalah ketika sudah dibentuk tim dan kami menyepakati dengan presiden, pemerintah Jawa Tengah dan pabrik semen tetap menjalankan aktivitas seolah-olah tidak ada KLHS. Ini tidak fair. Kami diminta bersabar menunggu proses KLHS, tetapi ada kegiatan yang tetap berlangsung dengan seijin pemerintah daerah,” tambahnya.

Hindari Meruncingnya Konflik Horizontal, Komnas Perempuan Minta Semua Pihak Taati Kesepakatan

Untuk menghindari meruncingnya konflik horizontal dan jatuhnya korban yang tidak perlu, Komnas Perempuan meminta semua pihak terutama pemerintah propinsi Jawa Tengah, pemerintah kabupaten Rembang, PT Semen Indonesia dan warga untuk mentaati kesepakatan yang sudah dicapai dengan presiden, dan menunggu proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sedang berjalan sesuai mandat UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. KLHS diharapan dilakukan secara independen dan transparan, dengan melibatkan warga – khususnya perempuan.

Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia juga diminta menahan diri untuk tidak melakukan tindakan sebagai ijin yang telah dikeluarkan. [em/ds]