Organisasi HAM Human Rights Watch menuduh penanganan pasien sakit jiwa secara spritual yang umum dilakukan di Ghana tidak tepat dan merupakan pelanggaran HAM.
ACCRA, GHANA —
Di Ghana, penyakit jiwa atau gangguan mental umumnya dianggap masalah spiritual, dan tempat-tempat yang disebut “kamp doa” mengisi kekosongan akibat kurangnya fasilitas kesehatan mental. Tapi organisasi HAM internasional, Human Rights Watch, menuduh kamp-kamp itu tidak layak untuk menangani pasien dan melakukan pelanggaran.
Seorang pria yang kita sebut namanya Ali, telah dirantai ke pohon selama lima tahun ini, sejak keluarganya membawa Ali ke Jesus Divine Temple, kamp doa di wilayah selatan Ghana.
"Keluarga-keluarga, mereka datang dan meninggalkan saya di sini dan mereka pergi. Tidak ada yang datang memberi saya sesuatu. Bahkan pagi ini saya belum makan apa-apa,” ungkap Ali.
Banyak orang Ghana yang percaya bahwa gangguan mental disebabkan oleh kutukan atau kerasukan setan dan bahwa penderitaan tersebut sebaiknya dibawa ke kamp doa.
Seperti pengakuan Leo Baidoo, yang mengatakan dia adalah nabi yang ditugaskan Tuhan untuk menyembuhkan orang sakit dengan segala cara.
“Saya merantainya sebelum saya mampu menyembuhkannya. Saya tidak dapat melakukannya. Tapi menahannya di sini sampai Tuhan menyembuhkannya,”papar Baidoo.
Meskipun laporan terbaru Human Rights Watch secara luas mengutuk pengobatan pasien di kamp-kamp doa itu, Medi Ssengooba penulis utama laporan tersebut, mengatakan hanya ada beberapa alternatif.
“Ghana memiliki lebih dari 2 juta orang dengan gangguan mental. Lebih dari 600.000 di antaranya membutuhkan perawatan kesehatan mental yang kritis. Akses ke layanan kesehatan mental berbasis komunitas tidak ada dan banyak yang harus pergi ke kamp doa dan tinggal di sana sampai empat atau lima atau 10 tahun,” papar Ssengooba.
Dinas Kesehatan Ghana menyatakan hanya 2 persen pasien kesehatan mental yang menerima pengobatan dari 3 rumah sakit jiwa di negara itu.
Kepala bagian psikiatri dr. Akwasi Osei mengatakan semua itu akan berubah dengan pelaksanaan UU kesehatan mental yang baru disetujui, yang akan meningkatkan dana bagi rumah sakit baru dan layanan kesehatan mental berbasis komunitas. Tapi, tambahnya, kamp-kamp doa tidak akan hilang.
"Dasar keyakinan budaya kami sangat religius. Jadi orang percaya. Mereka akan pergi ke sana. Sekarang jika mereka akan pergi ke sana, tidak akan bijaksana untuk menekan mereka. Apa yang dapat kita lakukan adalah mengenali keberadaan mereka, melatih mereka, mengatur mereka, dan memantau mereka. Itulah yang dapat dilakukan menurut hukum," ungkap dr. Osei.
Human Rights Watch menyatakan bahwa menyetujui dan melaksanakan UU itu di Afrika adalah dua hal yang berbeda. Namun, suasana di Ghana optimistis ditengah ketidakpastian bagi penderita gangguan mental.
Seorang pria yang kita sebut namanya Ali, telah dirantai ke pohon selama lima tahun ini, sejak keluarganya membawa Ali ke Jesus Divine Temple, kamp doa di wilayah selatan Ghana.
"Keluarga-keluarga, mereka datang dan meninggalkan saya di sini dan mereka pergi. Tidak ada yang datang memberi saya sesuatu. Bahkan pagi ini saya belum makan apa-apa,” ungkap Ali.
Banyak orang Ghana yang percaya bahwa gangguan mental disebabkan oleh kutukan atau kerasukan setan dan bahwa penderitaan tersebut sebaiknya dibawa ke kamp doa.
Seperti pengakuan Leo Baidoo, yang mengatakan dia adalah nabi yang ditugaskan Tuhan untuk menyembuhkan orang sakit dengan segala cara.
“Saya merantainya sebelum saya mampu menyembuhkannya. Saya tidak dapat melakukannya. Tapi menahannya di sini sampai Tuhan menyembuhkannya,”papar Baidoo.
Meskipun laporan terbaru Human Rights Watch secara luas mengutuk pengobatan pasien di kamp-kamp doa itu, Medi Ssengooba penulis utama laporan tersebut, mengatakan hanya ada beberapa alternatif.
“Ghana memiliki lebih dari 2 juta orang dengan gangguan mental. Lebih dari 600.000 di antaranya membutuhkan perawatan kesehatan mental yang kritis. Akses ke layanan kesehatan mental berbasis komunitas tidak ada dan banyak yang harus pergi ke kamp doa dan tinggal di sana sampai empat atau lima atau 10 tahun,” papar Ssengooba.
Dinas Kesehatan Ghana menyatakan hanya 2 persen pasien kesehatan mental yang menerima pengobatan dari 3 rumah sakit jiwa di negara itu.
Kepala bagian psikiatri dr. Akwasi Osei mengatakan semua itu akan berubah dengan pelaksanaan UU kesehatan mental yang baru disetujui, yang akan meningkatkan dana bagi rumah sakit baru dan layanan kesehatan mental berbasis komunitas. Tapi, tambahnya, kamp-kamp doa tidak akan hilang.
"Dasar keyakinan budaya kami sangat religius. Jadi orang percaya. Mereka akan pergi ke sana. Sekarang jika mereka akan pergi ke sana, tidak akan bijaksana untuk menekan mereka. Apa yang dapat kita lakukan adalah mengenali keberadaan mereka, melatih mereka, mengatur mereka, dan memantau mereka. Itulah yang dapat dilakukan menurut hukum," ungkap dr. Osei.
Human Rights Watch menyatakan bahwa menyetujui dan melaksanakan UU itu di Afrika adalah dua hal yang berbeda. Namun, suasana di Ghana optimistis ditengah ketidakpastian bagi penderita gangguan mental.